Dear Kompasianer. Ketika Pengelola Kompasiana meminta ikut berbagi cerita tentang film Indonesia yang membekas hingga kini, salah satu di antaranya saya menyebut “Gie”. Ketika dirilis pada Juli 2014, saya sampai tiga kali (dalam dua pekan) menonton film tentang kisah seorang aktivis mahasiswa 1960-an, yang mati muda dan kebetulan adalah kakak kelas saya di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang Fakultas Ilmu Budaya).
Jumlah penonton film garapan Riri Riza tidak terlalu banyak berkisar 350 ribu. Tetapi yang menarik ada empat kelompok penonton yang kebetulan berada di Bioskop Metropole pada hari pertama film ini ditayangkan. Saya menonton pada pertunjukkan pukul tujuh malam.
Kelompok pertama, diwakili seorang bapak keturunan Tionghoa mengajak anaknya yang masih tujuh tahun. Tadinya bapak itu mau menonton film Fantastic Four. Tetapi begitu melihat poster “Gie”, saya juga melihat, dia ikut menatap.”Akhirnya ada juga film tentang orang Tionghoa yang baik, ya?Kamu suka?” Lalu saya jawab: “Iya, dia di jurusan sejarah UI, satu jurusan dengan saya. Saya juga hobi menulis catatan harian sejak masih SMP.”
Sentimentil.
Bapak keturunan Tionghoa itu lalu ikut mengantri karcis dan berkata kepada anaknya: “Fantastic Four-nya nanti saja. Ini film penting buat kamu.” Saya tersentuh mendengarnya.
Di dalam bioskop, saya duduk di sebelah seorang anak muda seusia saya waktu itu 30 tahunan. Ada adegan ketika Gie berkumpul dengan rekannya Herman Lantang. “Herman Lantang itu kuliah di mana, ya?” saya iseng bertanya. “Jurusan Antropologi.” jawabnya. Dia sama seperti saya menonton “Gie” karena almamater. Pemuda itu alumni Universitas Indonesia. Ini kelompok kedua.
Romantis historis.
Di depan kami ada beberapa pemuda juga yang tak hentinya berceloteh ketika film bercerita periode 1966. Terdengar ucapan mereka: Wah, waktu kita bergerak 1998 sama serunya yaa..!! Ah, ini penonton kelompok ketiga aktivis.
Penonton kelompok keempat? Dua cewek ABG sama ributnya berceloteh dengan penonton yang aktivis. Hanya saja yang mereka jadi tema ngerumpi, “Nicholas Saputra mau jadi Tionghoa, pun juga guuuanteng!!” cetus salah seorang di antara mereka spontan.
Penonton yang belum bisa move on dari “Ada Apa dengan Cinta?”
Ceritanya tentang kehidupan Gie sejak masih SMP hingga dia meninggal di Gunung Semeru. Masa remaja diperankan oleh Jonathan Mulia tak jauh beda seperti yang dituangkan Soe Hok Gie dalam “Catatan Seorang Demonstran”. Peralihan lewat adegan pendakian Pangrango memunculkan Nicholas Saputra. Berapa episode, seperti konflik internal antar kelompok mahasiswa di kampus, hobi naik gunung, gerakan mahasiswa 1966 hingga kekecewaan Soe Hok Gie digambarkan dengan baik. Setelah “Pengkihanatan G 30 S PKI”, inilah film kedua yang saya tonton berkisah periode peralihan Orde Lama ke Orde Baru.