Dalam situasi mencekam, Risa meminta bantuan kawan-kawan kecilnya, ketika Asih membawa Riri ke “dunianya.”
Sesuai ekspetasi saya Danur: I Can See The Ghost adalah film horor yang tidak menawarkan adegan mesum (yang kerap dipaksakan kebanyakan film horor Indonesia) terpenuhi. Karena diangkat dari novel Risa Sarasvati dengan judul Gerbang Danur, maka ceritanya orisinil, membumi. Dalam novel itu musisi indie asal Bandung itu menceritakan pengalaman dirinya sebagai anak indigo (punya indera keenam) berteman dengan hantu anak-anak Belanda yang meninggal pada masa pendudukan Jepang. Itu daya tarik pertama saya datang ke layar bioskop dan terpuaskan.
Sekalipun segmen Risa kecil berteman dengan ketiga temannya cukup singkat, bisa saya maklumi karena film genre horor untuk penonton Indonesia durasinya tidak bisa terlalu lama. Saya hampir tidak bisa membedakan mana yang Peter, mana yang William dan mana yang Jhansen. Kalau saja karakter ketiga hantu ini bisa ditampilkan lebih lama, memberikan lebih rasa “Risa” dalam film ini. Bagi saya tetap akan nikmat karena memberikan gizi yang lebih.
Catatan kedua, kerinduan saya melihat akting Shareefa Daanish sebagai “Hantu Jahat” terobati sudah. Danur adalah film kedua setelah Rumah Dara yang menampilkan Daanish sebagai ikon film horor. Keduanya beda. Dalam Danur, Daanish begitu dingin, kerap tampak kejam, hanya lewat tatapan mata, gestur tubuh dan ekspresi pucat wajahnya. Tanpa perlu banyak kata yang terlontar, Daanish berhasil menjadi Asih yang meneriakan kemarahannya ketika mati pada masa lalu. Sekalipun tidak terlalu jelas pada masa apa Asih meninggal. Saya benar-benar melihat Asih bukan Daanish dalam film ini.
Memilih Prilly Latuconsina sebagai Risa keputusan tepat. Prilly bukan artis kelas sinteron dalam Danur, tetapi berhasil menghidupkan Risa. Saya bisa merasakan keputusasaan Risa ketika harus memanggil ketiga temannya dengan piano. Begitu juga dengan Asha Kenyeri Bermudez sebagai Risa kecil cukup nyambung dengan Risa remaja, termasuk dalam berapa adegan bahwa Risa punya bakat musik lewat Risa kecil mengutak-ngatik syair “Boneka Abdi” dan permainan piano Risa remaja.
Tentu saja akting Inggris Wijanarko sebagai nenek yang tak berdaya juga patut diacungi jempol. Tidak mudah memerankan orang lumpuh tak berdaya, apalagi menyadari ada sosok hantu.
Dari cara bertutur, tidak bisa dipungkuri Alwi Suryadi, sang sutradara sepertinya mendapatkan pengaruh dari film horor Amerika Insidius atau film horor Jepang The Ring, dengan ikon Sadako. Memang sulit menciptakan adegan seram dan pengembaraan di dimensi lain, hingga sosok hantu kalau tidak dapat, tetap menggunakan referensi film horor lain. Untungnya Alwi masih mampu mengadaptasinya.
Adanya dialog dengan kosa kata Sunda lumayan bahwa ini latar belakang sosial budaya Risa Sasravati. Begitu juga pernak-pernik di rumah memberikan kesan peninggalan Kolonial Belanda. Saya ingin menggambarkan menonton Danur ibarat meneguk minuman cocktail cerita Risa yang diblender dengan bahan dari Horor Amerika dan Jepang.
Soundtrack-nya Risa Sarasvati mengaransemen lagi “Story of Peter”, lagu yang mempopulerkannya sebagai penyanyi indie cukup brilian dan memberikan nilai lebih dari film ini, juga dari segi marketing.
Dari segi marketing, permintaan Risa untuk mengosongkan lima bangku di setiap bioskop, membuat rasa penasaran. Hasilnya dalam empat hari penayangan, angka di atas 600 ribu penonton sudah dicapai. Bukan tidak mungkin dalam seminggu angka satu juta bisa ditembus suatu pencapaian yang baik bagi film horor Indonesia, yang rata-rata anjlok dalam lima tahun terakhir ini. Sebagai catatan Film bergenre horor Jelangkung dirilis awal 2001 membukukan penonton sekitar 1,3 juta. Apakah Danur mampu melampauinya? Juga bukan hal yang tidak mungkin.
Mudah-mudahan Danur adalah awal baik dari Film Horor Indonesia.