Sejak ditayangkan pada 8 Februari yang lalu hingga kini Surga yang Tak Dirindukan 2 memperoleh penonton 1,5 juta atau kira-kira sama dengan sekuel pertamanya. Strategi memilih tanggal tayang tempat, cerita yang kuat dengan pemeran yang kondang, membuat film yang diangkat dari novel karya Asma Nadia ini untuk sementara menempati box office 2017. Hingga sekarang film besutan Hanung Bramantyo itu masih tayang di sejumlah layar. Jumlah penonton saya kira terus bertambah. Angka dua juta mungkin sulit diraih, tetapi bukan tidak mungkin. Apalagi ditambah penonton di Malaysia.
Sudah cukup banyak yang mengulas film ini, tetapi saya tetap merasa perlu untuk memberi catatan pada film ini. Jadi saya tidak memberikan review untuk film ini.
Pertama, poligami adalah soal yang peka untuk film religi Islam. Sangat menarik karena Surga yang Tak Dirindukan1 & 2 diangkat dari seorang penulis perempuan. Pada sekuel pertama Asma Nadia memilih kompromi, tokoh Meirose meninggalkan Prasetyo-Arini sambil menitipkan Akbar.
Pada sekuel kedua, melalui adegan kilas balik Meirose mengambil kembali akbar dan pergi ke luar negeri. Pasangan Prasetyo-Arini (masing-masing diperankan oleh Fedi Nuril dan Laudya Cynthia Bella) kembali bertemu Meirose di Budapest ketika Akbar sudah besar. Diceritakan Arini menderita kanker rahim stadium empat dan meminta Meirose untuk tetap menjadi istri dari Prasetyo agar bisa menjadi ibu dari Nadya. Niat ini didukung oleh putrinya, namun tidak oleh Prasetyo yang diam-diam sudah menyiapkan surat cerai. Begitu juga dengan Meirose yang sudah punya tautan hati lainnya dokter Syarief (Reza Rahadian) yang kebetulan dokter yang merawat Arini. Meirose juga menyiapkan surat permintaan cerai.
Sepintas sebetulnya sikap Asma Nadia ambigu bagi saya, tetapi akhir cerita membuat saya bisa memahami apa yang menjadi “ideologi” penulis novel ini. Sebetulnya ending sekuel kedua sangat sebangun dengan sekuel pertamanya.
Kedua, Asma Nadia tidak menempatkan posisi perempuan hanya sebagai ibu rumah tanggal. Baginya laki-laki tetap menjadi imam dalam rumah tangga, tetapi perempuan tetap mempunyai ruang untuk berekspresi. Dalam Surga yang tak Dirindukan 1 dan 2, Arini adalah Guru TK dan penulsi cerita anak-anak. Sikap Asma Nadia konsisten pada cerita yang lain, seperti Assalamulaikum Beijing di mana tokoh perempuannya seorang wartawati. Asma Nadia mungkin bukan seorang feminis, tetapi seorang yang sejalan emansipasi perempuan.
Ketiga, Asma Nadia kerap menjadikan luar negeri sebagai setting ceritanya. Berbeda dengan Hanum Rais yang jelas menjadikan dirinya sendiri yang kebetulan ikut suami belajar bertugas di Eropa dan Amerika Serikat, Asma Nadia mengajak pembacanya-kalau diangkat ke layar lebar penonton- bertamasya dan dipertemukan dengan komunitas muslim di negeri yang dijadikan tempat setting lewat tokoh-tokohnya. Kalau dalam Assalamulaikum Beijing, Asma Nadia memperkenalkan masyarakat Suku Hui di Tiongkok yang sudah menganut Islam sejak abad ke 7, maka dalam Surga yang Tak Dirindukan 2 pada minoritas muslim di Budapest.
Di satu sisi bagi saya Asma Nadia memberikan wawasan tentang umat muslim di negara lain, sekaligus juga bahwa globalisasi adalah keniscayaan. Syarief adalah orang Indonesia menjadi tenaga ahli di luar negeri bukanlah hal yang tidak mungkin, karena kasus Arcanda yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini sudah menjadi bukti. Arini penulis buku anak-anak yang menjadi favorit di Budapest dan juga manajernya yang orang Malaysia juga bisa diterima.
Persoalannya film Indonesia yang mengambil setting luar negeri menjadi begitu dominan, menular ke drama romantis remaja. Tidak semua film memberikan penjelasan mengapa tokoh-tokohnya harus berada di luar negeri.
Keempat, Departemen kasting ciamik. Ini kelebihan Hanung Bramantyo mampu mengarahkan bintangnya dengan baik. Fedy Nuril bermain lebih baik dibanding sekuel pertamanya. Wajahnya yang terkesan gagap bertemu Meirose atau kegamangannya menolong korban kecelakaan karena khawatir terulangnya kasus Meirose menarik. Adegan yang menjadi prolog film ini merupakan salah satu adegan yang menghidupkan film.
Laudya Cynthia Bella berhasil mempertahankan karakter Arini. Emosinya turun naik. Begitu juga Raline Shah. Aktingnya ketika memergoki Prasetyo makan tengah malam menjadi adegan favorit saya. Begitu manusiawi. Reza Rahadian tentu tidak diragukan lagi. Tokoh Syarief menjadi favorit saya dalam film ini. Sikap laki-laki ini bijaksana dan tidak egois. Kedua kawan Prasetyo memberikan nuansa komedi dengan manajernya membuat film ini menjadi hidup dan tidak membosankan.
Kelima, pemilihan soundtrack filmini juga tepat. Lagi-lagi Melly Goeslaw patut diacungkan jempol. Pemilihan Krisdayanti juga jitu membuat lagu yang dinyanyikan kerap saya dengar di kantor, karena seorang rekan begitu tersentuh. Lirik lagunya cukup memberikan calon penonton menebak isi filmnya. Lagu kedua dinyanyikan berduet Laudya Cynthia Bella dan Wafda juga tidak buruk, tetapi tidak sedahsyat Krisdayanti. Hanya saja ketergantungan pada Melly Goeslaw rasanya tidak sehat bagi perfilman kita di masa mendatang.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H