Alkisah pelaut muslim dari daratan China pada era Dinasti Sung pada 1178 lebih dahulu menemukan Amerika daripada Christopher Columbus (1492) berdasarkan sumber di antara sebuah peta China. Nama Mu Lan Pi yang disebut dalam sumber itu adalah kawasan yang diyakini sebagai San Francisco, Amerika Serikat. Prolog berupa narasi dengan ilustrasi dan animasi sejarah membuka Bulan Terbelah di Langit Amerika 2 dengan brilian.
Cerita melompat pada Juli 1975 ke Kota Shadian Provinsi Yunan China, tentara pembebasan rakyat (TPR) atau tentara merah digambarkan melakukan pembantaian dan perburuan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai anti Revolusi Kebudayaan yang dilancarkan Mao Zhedong. Salah seorang yang dicari adalah Hu Fei, seorang aktivis muslim dari Suku Hui. Hu Fei terpaksa hanya bisa menyelamatkan tiga anaknya karena kapal yang membawa para pelarian ini ke Amerika hanya memuat empat orang.
Saya melakukan crosscheck terhadap sejumlah sumber. Faktanya memang pembantaian terhadap muslimin Suku Hui ini tercatat dalam sejarah terjadi pada 3 Juli 1975 pukul tiga dini hari. Di antaranya, Dillon ( 2013, halaman 166 ) menyebutkan sekitar 900 muslimin Suku Hui tewas dan 600 luka-luka. Itu artinya Hanum Salsabiela Rais si penulis skenario melakukan riset dengan cermat.
Cerita terus bergulir pada 1998 Ibrahim “Abe” Husein melamar Julia Collins (Rianti Cartwright) namun ditolak ibunya Hyacinth Collins (Ira Wibowo) sementara ayahnya John Collins mendukungnya. John bahkan menghadiri pernikahan Julia yang berganti nama menjadi Azima Husein. Sikap Hyacinth semakin keras ketika terjadi peristiwa 911 (11 September 2001), ketika dua agen FBI mencari Abe ke rumah mereka. Dia duga terlibat peristiwa itu.
Hyacinth mencurigai muslim sebagai teroris adalah wakil dari sikap sebagian orang Amerika yang terbelah, analogi film ini sebagai “Bulan Terbelah di Langit Amerika”. Kisah Abe dan Azima atau Julia Collins sudah diceritakan pada sekuel pertamanya. Setelah John meninggal karena serangan jantung Hyacinth semakin membenci anak dan menantunya.
Cerita melompat pada 2009 menyorot Hanum (Acha Septriasa) dan suaminya Rangga (Abimana Aryasatya) bersantai di sebuah taman di Kota New York. Mereka sedang bersiap kembali ke Wina, Austria. Rangga bercanda dengan anak-anak yang akhirnya menyentil pertanyaan: kapan pasangan ini punya anak? Namun yang terpenting, Gestrudge atasan Hanum memberikan penugasan: Hanum diminta ke San Francisco mencari bukti bahwa yang menemukan Amerika adalah muslimin dari daratan Tiongkok.
Juga dikisahkan sahabat pasangan ini, Stefan (Nino Fernandez) gundah kelana ditinggal Jasmine (Hannah Al Rashid) ke San Fransisco. Padahal Jasmine sedang hamil. Akhirnya Rangga dan Hanum mengajak Stefan untuk bersama-sama ke San Francisco. Azima dan anaknya Sarah (Hailey Franco) juga berada di San Francisco untuk rekonsilasi dengan Haycinth yang diceritakan mengelola rumah yatim. Tiga cerita, tiga “kepentingan” pelan-pelan bertemu. Plot yang menarik sebetulnya.
Hanum kemudian bertemu Peter Cheng (Boy William) informan yang disodorkan Gestrudge yang menjadi informan pertama mencari bukti jejak sejarah muslim di San Fransisco. Petunjuk pertama sebuah koin mata uang yang diyakini ditinggal para pelaut muslim Tiongkok. Sayangnya bukan Hanum saja yang mencari koin itu.
Pada segmen Hanum ini penonton disuguhkan ketegangan yang lumayan, misalnya ketika jurnalis ini dikejar seorang laki-laki Tionghoa yang memaksanya menyerahkan koin itu. Hanum kemudian ditolong oleh Su Yin (Yeslin Wang), pedagang barang antik yang faham soal koin. Tetapi tantangan yang dihadapi Hanum semakin tidak mudah.
Pada segmen lain usaha Azima untuk rukun kembali dengan ibunya juga tidak mudah. Stefan juga menemukan bahwa Jasmine sudah punya sahabat laki-laki lain.
Review
Saya mulai dari kritik dulu. Dari segi cerita sekuel keduanya tidak sefokus sekuel pertama. Langsung memikat dan diselesaikan membuat air mata saya berjatuhan sejak pertengahan cerita. Sekuel pertama begitu humanis. Sementara Bulan Terbelah di Langit Amerika ke 2 tidak terlalu menyentuh hati saya. Sikap Hyacinth yang memusuhi anaknya terlalu berlebihan. Kalau terhadap anaknya bisa dimengerti, tetapi terhadap cucunya tentu saja berlebihan.
Untung ada testimoni dari Sarah Collins di akhir cerita yang membuat saya menjadi melankolis. Betapa tidak nyamannya: sebuah keluarga ketika perbedaan keyakinan menjadi pemisah sebuah keluarga. Air mata saya pun jatuh. Tetsimoni yang brilian ini menyelamatkan film ini dari ke trek semula, sekaligus menjadikan film ini menjadi penyegar ketika situasi dalam negeri yang tidak nyaman ketika masalah SARA sudah ke dalam taraf menganggu bukan saja di panggung politik, tetapi dalam masyarakat, termasuk media sosial yang seharusnya menjadi tempat silaturahmi.
Dari segi visi film (terlalu naïf kalau saya menyebutnya sebagai ideologi) akhir film ini tidak seperti sekuel pertamanya yang sulit ditebak. Akhir film ini bisa diraba pada pertengahan cerita. Namun yang menarik adalah sikap yang diambil Hanum apakah ia memilih mematuhi tugas atasannya menyelesaikan tugasnya atau hal yang lebih penting bagi sejarah dunia.
Sikap yang diambil Hanum juga menyelamatkan visi film ini yang tadinya tampaknya tidak fokus. Sekaligus juga menjadi bahan renungan bagi saya sebagai jurnalis: kepentingan publik atau nama berkibar karena mengungkapkan fakta tetapi berakibat menyakiti.
Dari departemen kasting tidak mengherankan Acha Septriasa, Abimana Arsyasatya, Nino Fernandes bermain apik karena mereka sudah memerankan karakter yang sama sejak 99 Cahaya di Langit Eropa. Hailey Franco juga satu menyatu dengan Rianti Cartwright. Ira Wibowo lumayan, namun tidak terlalu memikat. Yang mencengangkan justru Boy William yang menghadirkan Peter Cheng yang sengak, tengil, menyebalkan dengan aksen Inggris Mandarin menjadi warna menarik dalam film ini.
Dialog dalam Bahasa Inggris dan Mandarin nyaris menjadikan film ini tidak ada bedanya dengan film Hollywood. Sayang seharusnya dialog dalam Bahasa Inggris atau Mandarin itu juga dilakukan sewaktu pertemuan Hanum dengan Hu Fei tua di salah satu adegan yang menegangkan. Jadi agak tanggung sebetulnya. Padahal adegan itu adalah salah satu adegan yang terbaik dalam film ini. Ekspresi Acha mempertahankan integritas sebagai jurnalis berhadapan dengan kepentingan yang lebih besar begitu ketakutan terlihat natural.
Dari sisi Sinematografi bukan Rizal Mantovani kalau tidak ciamik mengambil landscape kota New York dan San Francisco. Sudut kota Singkawang juga bisa disatukan seolah-olah terjadi di Pecinan San Fransisco. Saya juga terkesan dengan adegan “Shadian Massacre” (menurut istilah sejarah yang apik dan penggunaan animasi dan ilustrasi yang cukup baik.
Secara keseluruhan Bulan Terbelah di Langit Amerika 2 sebuah film Indonesia yang layak ditonton.Film ini semakin mengukuhkan film sebelumnya seperti Asalamulaikum Beijing-nya Asma Nadia bahwa orang Tionghoa itu juga sama beragamnya dengan orang Indonesia. Misalnya orang Tionghoa ada yang berasal dari Suku Hui, yang mayoritas muslim. Ingat: aslinya muslim bukan mualaf. Itu sudah saya ingatkan pada kawan-kawan saya yang gemar menstigma orang-orang Tionghoa pukul rata. Harusnya keberagaman orang-orang Tionghoa ini diajarkan di sekolah. Setidaknya yang saya alami.
Oh, ya daftar lengkap pemainnya kurang diinformasikan. Saya ingin tahu siapa pemeran pemuda Tionghoa yang memburu Hanum begitu meyakinkan? Juga pemeran bule dan orang Tionghoa di luar Boy William dan Yeslin Wang.
Irvan Sjafari
Referensi pendukung:
Dillon, Michell, China’s Muslim Hui Community Migration, Settlement, and Sects, New York: Routledge, 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H