Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Melacak Jejak Muslim Tionghoa di San Francisco

10 Desember 2016   17:33 Diperbarui: 10 Desember 2016   18:49 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu poster Bulan Terbelah di Langit Amerika (sumber Detikhot)

Saya mulai dari kritik dulu. Dari segi cerita sekuel keduanya tidak sefokus sekuel pertama. Langsung memikat dan diselesaikan membuat air mata saya berjatuhan sejak pertengahan cerita.  Sekuel pertama begitu humanis.  Sementara Bulan Terbelah di Langit Amerika ke 2 tidak terlalu menyentuh hati saya. Sikap Hyacinth yang memusuhi anaknya terlalu berlebihan. Kalau terhadap anaknya bisa dimengerti, tetapi terhadap cucunya tentu saja berlebihan.

Untung ada testimoni dari Sarah Collins di akhir cerita yang membuat saya menjadi melankolis. Betapa tidak nyamannya: sebuah keluarga ketika perbedaan keyakinan menjadi pemisah sebuah keluarga.  Air mata saya pun jatuh. Tetsimoni yang brilian ini menyelamatkan film ini dari ke trek semula, sekaligus menjadikan film ini menjadi penyegar ketika situasi dalam negeri yang tidak nyaman ketika masalah SARA sudah ke dalam taraf menganggu bukan saja di panggung politik, tetapi dalam masyarakat, termasuk media sosial yang seharusnya menjadi tempat silaturahmi.

Dari segi visi film (terlalu naïf kalau saya menyebutnya sebagai ideologi) akhir film ini tidak seperti sekuel pertamanya yang sulit ditebak. Akhir film ini bisa diraba pada pertengahan cerita. Namun yang menarik adalah sikap yang diambil Hanum apakah ia memilih mematuhi tugas atasannya menyelesaikan tugasnya atau hal yang lebih penting bagi sejarah dunia. 

Sikap yang diambil Hanum juga menyelamatkan visi film ini yang tadinya tampaknya tidak fokus. Sekaligus juga menjadi bahan renungan bagi saya sebagai jurnalis: kepentingan publik atau nama berkibar karena mengungkapkan fakta tetapi berakibat menyakiti.

Dari departemen kasting tidak mengherankan Acha Septriasa, Abimana Arsyasatya, Nino Fernandes bermain apik karena mereka sudah memerankan karakter yang sama sejak 99 Cahaya di Langit Eropa. Hailey Franco juga satu menyatu dengan Rianti Cartwright. Ira Wibowo lumayan, namun tidak terlalu memikat. Yang mencengangkan justru Boy William yang menghadirkan Peter Cheng yang sengak, tengil, menyebalkan dengan aksen Inggris Mandarin menjadi warna menarik dalam film ini.

Dialog dalam Bahasa Inggris dan Mandarin nyaris menjadikan film ini tidak ada bedanya dengan film Hollywood. Sayang seharusnya dialog dalam Bahasa Inggris atau Mandarin  itu juga dilakukan sewaktu pertemuan Hanum dengan Hu Fei tua di salah satu adegan yang menegangkan. Jadi agak tanggung sebetulnya. Padahal adegan itu adalah salah satu adegan yang terbaik dalam film ini. Ekspresi Acha mempertahankan integritas sebagai jurnalis berhadapan dengan kepentingan yang lebih besar begitu ketakutan terlihat natural.

Dari sisi Sinematografi bukan Rizal Mantovani kalau tidak ciamik mengambil landscape kota New York dan San Francisco. Sudut kota Singkawang juga bisa disatukan seolah-olah terjadi di Pecinan San Fransisco. Saya juga terkesan dengan adegan “Shadian Massacre” (menurut istilah sejarah yang apik dan penggunaan animasi dan ilustrasi yang cukup baik.  

Secara keseluruhan Bulan Terbelah di Langit Amerika 2 sebuah film Indonesia yang layak ditonton.Film ini semakin mengukuhkan film sebelumnya seperti Asalamulaikum Beijing-nya Asma Nadia bahwa orang Tionghoa itu juga sama beragamnya dengan orang Indonesia. Misalnya orang Tionghoa ada yang berasal dari Suku Hui, yang mayoritas muslim. Ingat: aslinya muslim bukan mualaf. Itu sudah saya ingatkan pada kawan-kawan saya yang gemar menstigma orang-orang Tionghoa pukul rata. Harusnya keberagaman orang-orang Tionghoa ini diajarkan di sekolah. Setidaknya yang saya alami.  

Oh, ya daftar lengkap pemainnya kurang diinformasikan. Saya ingin tahu siapa pemeran pemuda Tionghoa yang memburu Hanum begitu meyakinkan? Juga pemeran bule dan orang Tionghoa di luar Boy William dan Yeslin Wang. 

Irvan Sjafari

Referensi pendukung:

Dillon, Michell, China’s Muslim Hui Community Migration, Settlement, and Sects, New York: Routledge, 2013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun