Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wisata di Bandung Bisa Lebih Menarik Kalau Ada Pembenahan

11 Oktober 2016   17:31 Diperbarui: 11 Oktober 2016   17:45 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saungd Udjo menjadi favorit wisatawan asing (kredit foto Irvan Sjafari)

Menurut BPS Kota Bandung pada 2011 jumlah kunjungan wisatawan mencapai 4.070.072. Dari jumlah itu masih didominasi wartawan domestik, yaitu 3.882.010 atau lebih dari 90% dan wisatawan asing hanya 194.062. Jumlah ini menurun pada 2012 sebanyak 158.848 wisatawan mancanegara dan 3.354.857 wisatawan nusantara, namun pada 2015 meningkat lagi menjadi 4.418. 781 wisatawan dan dari jumlah wisatawan aisng 176. 487.

Yang menarik ialah destinasi yang dipilih wisatawan domestik dan wistawan lokal berbeda. Kalau wistawan lokal lebih memilih obyek seperti kebun bintang , museum geologi, maka wisatawan asing menyukai mengunjungi Saung Udjo di kawasan Padasuka yaitu sebanyak 18.675 pengunjung dan sebagian lagi wisata nostalgia seperti mengunjungi bangunan heritageseperti museum Konferensi Asia Afrika, 5.623 pengunjung.

Munculnya Saung Udjo tidak terlalu mengejutkan, karena konsepnya menyajikan hiburan yang beda bagi turis asing. Saya pernah mengunjungi Saung Udjo, Mei 2014 yang silam melihat sendiri bagaimana para turis menikmati pertunjukkan. Mereka berkumpul di pendopo utama dan di sana sudah ada Dirijen, waktu itu Yayan Mulyana, putra keenam dari Mand Udjo (pendiri Saung angklung). Saya menyaksikan belasan pemain angklung didukung pemain drum dan tabuhan mampu mempertunjukkan lagu “Can’t Take my Eyes off of You” dari Andi William, yang hits tahun 1960-an hingga lagu “Halo-Halo Bandung”. Di akhir pertunjukkan puluhan anak-anak menyerbu arena dan mengajak para tamu menari bersama. Penutup yang manis karena terasa begitu humanis, para turis asing itu tampak tersentuh dengan wajah polos anak-anak.

Saung Udjo sudah menyumbangkan dua hal bagi turisme Kota Bandung, yang pertama menawarkan destinasi wisata alternatif bagi turisme dan yang kedua melibatkan warga dengan cara cerdas dan elegan. Pasalnya saya pernah melihat di Taman Hutan Raya tukang ojek dan guide lokal memaksa para wisatawan membayar jasanya. Keterlibatan warga lokal di dunia turisme yang bukan membuat wisatawan terkesan, tetapi justru mencibir.

Di dalam areal Saung Udjo bukan saja pendopo tempat pertunjukkan, tetapi juga ruang pameran untuk menjual kerajinan tangan termasuk angklung, wayang golek, blangkon dan iket kepala Sunda, serta kerajinan bambu. Terdapat juga sebuah guest house dan rumah makan dalam areal saung yang luasnya sekitar satu hektar. Penonton dipugut tiket yang berbeda antara turis asing dan domestik, masing-masing mendapatkan cindera mata dan welcome drink. Saung Udjo merupakan contoh yang baik bagi destinasi wisata yang terintegrasi.

Anak=amal warga lokal mengajak turis menari di Saung Udjo (kredit foto Irvan Sjafari)
Anak=amal warga lokal mengajak turis menari di Saung Udjo (kredit foto Irvan Sjafari)
Saung Udjo sudah menjadi favorit wistawan asing sesudah Tangkubanparahu sejak pertengahan 1980-an menurut laporan Pikiran Rakyat edisi 9 Juni 1985. Pada waktu itu hanya 600 wisatawan asing (didominasi orang Eropa) datang ke Bandung per bulan atau sekitar 7 ribuan per tahun. Pada waktu itu biro wisata pusing tujuh keliling mencari obyek wisaya, terutama untuk siang hari. Bahkan setelah pukul 6 petang yang dilakukan para wisatawan asing itu paling banter bergerombol di Lobby Hotel, minum-minum dan ngeloyor ke sekitar alun-alun.

Daya tarik Saung Udjo rupanya diakomodir Pemda Jawa Barat. Terletak 2,5 km dari Saung Angklung Udjo, Kecamatan Padasuka di kawasan Bandung Utara, Desa Cijaringo dan Lebal Gede merupakan dua desa yang dilalui lahan milik pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dalam rencananya kawasan ini akan dijadikan desa kreatif bambu yang mendukung kegiatan pariwisata saung udjo. Konsep koloborasi akan berlangsung 30 tahun ini berawal dengan pemanfaatan lahan pemerintah seluas 3,9 hektare [1]

Kini setelah jumlah wisatawan asing meningkat puluhan kali lipat saya kerap melihat Jalan Braga menjadi obyek perhatian para turis asing Eropa. Pembenahan seperti mentertibkan papan reklame dan papan nama toko kembali menunjukkan nilai historis bangunan serta kini ditambah dengan data pendirian dan fungsi bangunan dahulunya adalah nilai tambah. Upaya Kang Emil menata trotoar untuk pedisterian dengan menambahkan bangku dan ornamen batu menjadikan Jalan Braga hingga alun-alun hidup. Saya berapa kali menginap di sebuah hostage backpacker di Jalan Braga dan merasakan 24 jam setiap akhir pekan, walau pun dominasi wisatawan lokal dan kedatangan warga Bandung yang hendak hang out memberikan kontribusi besar.

Kalau begitu Pemerintah Kota Bandung harus lebih mempertahankan bangunan cagar budayanya misalnya dengan membuka akses pihak swasta yang ingin memanfaatkannya untuk usaha, mulai factory outlet (yang sudah ada contohnya di Jalan Martadinata) hingga kuliner seperti Sumber Hidangan di Jalan Braga. Lainnya ialah akses ke luar kota Bandung, seperti Lembang dan Ciwidey agar lebih cepat.

Maksudnya begini, saya sebagai wisatawan dalam dua hari tiga malam bisa mendapatkan apa saja. Pengalaman saya ikut sebuh biro travel di Palembang dalam kurun waktu itu bisa mengunjungi lebih dari 10 tempat kuliner (tentunya khas daerah sana), tujuh obyek wisata (satu masjid bersejarah, satu toko cindera mata, dua museum, tiga obyek yang memakan waktu, menelusuri Sungai Musi, kerajinan songket dan Stadion Jakabaring yang letaknya berjauhan daerah hilir dan hulu). Variatif dan efesien. Saya menjadi tahu bahwa Palembang punya destinasi wisata yang menarik.

Variasi seperti ini sulit dilakukan di Kota Bandung untuk mengakses luar kota secara efesien. Mau naik kendaraan umum atau menyewa mobil pun kalau mau Tangkubanparahu habis waktu setengah hari, apalagi Kawah Putih Ciwidey. Apalagi memasukan Gunung Padang di Cianjur untuk sebuah tur. Seorang wisatawan Malaysia yang pernah menginap dengan saya di sebuah hostage berapa tahun yang silam menyewa mobil dalam kurun waktu yang sama hanya bisa menikmati Ciwidey, belanja di Cihampelas, Trans Studio dan tidak banyak tahu tempat kuliner yang khas di Bandung. Kemacetan memang problem pengembangan wisata di Kota Bandung.

Padahal banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi sekali jalan, misalnya satu hari menelusuri Jalan Dago, Taman Hutan Raya, Tebing Kraton, Permainan Hong di Bukit Pakar, beberapa tempat kuliner yang menyajikan view yang bagus. Sayangnya akses jalan buruk dan memaksa turis memakai jasa ojek walau sudah menyewa mobil bisa menghalangi efesiensi tur. Tidak bisa memukul rata semua turis harus punya uang banyak untuk berlibur di Bandung dan menganggap semua kaya.

Bandung bisa kalah bersaing dengan Yogyakarta yang banyak menawarkan alternatif wisata, serta keterlibatan warga yang bersahabat terutama bagi backpacker. Pengalaman saya waktu ke Yogyakarta, tukang ojek mematok harga bersahabat ketika ke Desa Wisata Pentingsari ke akses jalan umum dan dijemput lagi. Para tukang ojek sadar bahwa yang penting informasi keramahan bakal menyebar dari mulut ke mulut. Petugas hotel kelas backpacker pun bahkan menawarkan jasa ke luar kota jika pulang dari shift malam, apalagi sekadar memberikan informasi tempat makan yang murah dan sehat hingga yang mahal.

Budget saya untuk wisata di Priangan Selatan selama 3 hari empat malam di atas keliling Yogyakarta dan jalan-jalan ke luar kotanya dalam kurun waktu yang sama tidak terlalu jauh beda. Namun efesiennya di bawah. Memang ongkos dari Jakarta ke Yogyakarta memang lebih mahal, tetapi biaya penginapan dan kuliner masih bersaing Yogyakarta. Akses keluar kota lebih cepat, sekalipun harus diburu jam malam karena tidak ada angkutan umum untuk tujuan tertentu.

Kesan saya pariwisata di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sumedang, apalagi sampai ke Tasikmalaya tidak terintegrasi dan ingin jalan sendiri-sendiri. Pembangunan infrastruktur juga berjalan lambat dan pelayanan angkutan umum untuk warga Jawa Barat tidak memuaskan. Selama ini tidak terintegrasi dan tidak dibenahi infrastruktur terutama di luar Kota Bandung, rasanya pariwisata di Jawa Barat akan mandek pada suatu ketika.

Irvan Sjafari

Bagian Ketiga dari Tulisan untuk HUT Bandung ke 206

Catatan

  1. Dkutip dari tulisan Mutia Rachmi ““Helixisme” untuk Desa Indonesia dalam Pikiran Rakjat, 9 Juni 2016.

Sumber Lain:

Pikiran Rakyat 2 November 2015, 18 September 2015, 9 Juni 1985, Majalah Plesir Volume 01, 2014. Foto Pertunjukan di Saung Udjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun