Kota metropolis pertama sebetulnya bukan Jakarta, tetapi Bandung dalam arti gaya hidup, leisure, pop art setidaknya sampai 1950-an akhir. Sementara Jakarta masih merupakan The Big Village dengan cluster bergaya metropolis di areal Menteng. Jakarta baru melesat menjadi metropolitan pada 1970-an di bawah Ali Sadikin. Di bawah Ali Sadikin Jakarta menjadi magnet bagi kaum urban dan prestisius dengan gaya hidup The Have-nya.
Namun tidak demikian dengan era sebelumnya. Bandung menjadi kota prestisius. Majalah dan koran yang terbit masa Hindia Belanda sejak 1920-an dan kemudian koran Pikiran Rakyat pada 1950-an yang saya telusuri kerap menyebutkan pertunjukan dansa, musik, pembukaan restoran,berwisata, leisure di kolam renang, menonton film di bioskop yang begitu besar. Hanya saja masa Hindia Belanda leisure ini hanya bisa dinikmati orang-orang Eropa, segelintir pribumi dan Tionghoa, maka pada 1950-an merebak ke kalangan yang lebih luas.
Pada 1950-an masuknya kebudayaan barat seperti dansa, dengan cepat menjadi tren anak muda. Sekolah-sekolah dansa berdiri menawarkan jasa dansa dari ballroom hingga rock n roll.
Gaya hidup ini menimbulkan keguncangan di dalam masyarakat kota Bandung yang tidak semuanya bisa menerima nilai-nilai Barat. Pesta dansa yang diadakan perkumpulan mahasiswa awal 1950-an, perayaan dansa di Hotel Homann pada perayaan 17 Agustus 1954, hingga sebuah acara ball night di Hotel Homann pada Februari 1957 memicu aksi demonstrasi pelajar karena tidak patut dengan nilai-nilai timur.
Tetapi itulah Bandung tren yang dari Barat masuk melalui film Hollywood menguat bersamaan dengan kelompok yang mempertahankan nilai dan budaya dan etnik Sunda yang menampakan wajahnya secara politik melalui Front Pemuda Sunda, maupun beberapa perkumpulan budaya. Yang terakhir ini lebih konstruktif bagi perkembangan pop art di Kota Bandung karena Daeng Soetigna, Mang koko dan Mang Udjo maupun membuat kesenian Sunda menjadi dinamis.
Tidak mengherankan bahwa pada saat ini musik etnik Sunda bisa mudah menyatu dengan jazz atau musik cadas. lagu sound track dari Frozendilm Disney bisa diaransemen versi Sunda, sebaliknya angklung Mang Udjo bahkan dari SMAN 3 Bandung mampu memainkan lagu Barat sesulit apa pun adalah buah dari dinamisnya pop art dan gaya hidup metropolis pada masa sebelumnya.
Nilai Islam juga kuat di Kota Bandung memberikan konstribusi yang berbeda bagi perkembangan hidup metropolis. Nyaris tidak terdeteksi oleh media, tetapi Manajemen Qalbu dari AA Gym, booming busana muslimah menjadi pop art, hingga kesenian dengan nafas Islam adalah buah kreatif dari warga Bandung tidak muncul begitu saja, tetapi evolusi dari masa sebelumnya.
Saya hanya mengatakan bahwa tiga pilar “pop art” dominan, Westernisasi, Sundanisasi dan Islamisasi saling melengkapi membentuk gaya hidup warga kota Bandung hingga sekarang.
Ada kalanya bisa bersinergi, seperti mode busana muslimah mengadaptasi mode di Paris dan Milan. Pada kuliner masakan Barat di tangan para kreatif Bandung bisa diadaptasi menjadi hidangan khas Bandung.
Kota yang Dibentuk Kolonial
Pakar perencanaan kota dari ITB Agus S Ekomadyo mengungkapkan bahwa pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun kota ini Bandung untuk singgah dan bersenang-senang. Kota ini lebih punya karakter sebagai leisure city.
Masyarakat kolonial membangun kota pelesir di Bandung Utara. Masyarakat Pribumi pun terpengaruh dan menjadikan pusat kota Bandung, alun-alun, bukan sebagai tempat sakral-sebagaimana kota di Jawa pada umumnya-tetapi tempat bersenang-senang dan berbelanja [1].
Terbentuknya komunitas Bandung Vooruit sejak 1930-an didukung terbitan berkala Mooi Bandoeng memperkuat citra itu. Dari Bandung para penggemar pelesir dan wisatawan bisa mengakses berbagai destinasi wisata, seperti Tangkubanparahu, panorama Lembang, Situ Patenggang, Pengalengan, Ciwidey, hingga Garut. Bila Bandung dijuluki Paris van Java, maka Garut dijuluki Swiss van Java. Tetapi Bandung adalah tempat singgah utamanya. Bahkan sejak akhir abad 19.
Achmad Bagoes Poerwono Wiryomartono juga mengungkapkan pandangan Bandung tidak lahir dari kekuatan lokal pribumi. Dalam bukunya. [2] alumnus arsitektur ITB ini mengemukakan bahwa sejarah kota Bandung berangkat dari pengukuhan kekuasaan kolonial dimulai dari Marschaal Herman William Dandels mempertautkan jalan yang kini dikenal sebagai Asia Afrika (Groete Post pada masa itu) sebagai bagian dari Jalan Raya Anyer-Panarukan pada 1811.
Daendels memberikan instruksi kepada bupati Bandung yang tadinya tinggal di kawasan Cikapundung Kolot untuk membangun pusatnya di sekitar Groete Post itu. Masjid dan kediaman bupati didirikan di kawasan alun-alun sekarang. Namun perkembangan Bandung mulai terjadi awal abad ke 20 menjadi pemukiman Eropa dan orang Asia lainnya.
Promosi pemukiman untuk komunitas Eropa melalui majalah maupun plakat-plakat. Pusat pemukiman pribumi sendiri awalnya hanya di Ujungbereung, kemudian ke selatan Jalan Asia Afrika hingga Dayeuh Kolot. Fasilitas pendidikan pun kemudian dibangun di antaranya Technische Hogerschool Bandung. Sejumlah taman dibangun untuk kenyamanan orang-orang Eropa.
Bandung adalah kota yang paling banyak penduduk populasi orang Eropanya dibanding kota-kota lain di Hindia Belanda, bahkan Batavia dari segi presentase. Pada 1956 saja , sebelas tahun sesudah Indonesia merdeka Bandung memiliki 737.276 penduduk Indonesia, 15.229 penduduk Eropa dan 83.650 penduduk Tionghoa.Situasi politik saja karena masalah Irian Barat yang menyebabkan orang Belanda akhirnya hengkang dari kota Bandung.
Pendeknya kegiatan pelesir dan pariwisata merupakan faktor pertama membuat Bandung menjadi eksis.
Wacana Ibukota
Tidak mengherankan pada masa kolonial Bandung pernah diwacanakan menjadi ibukota semacam Washington DC di Amerika Serikat dan Batavia menjadi New York atau kota perdagangan dan bisnis. Wacana ini muncul lagi menajdi headline Pikiran Rakyat edisi 23 September 1957 bahwa blue print Bandung sebagai ibukota sudah ada. Blue print itu berisi peta, gambar gedung-gedung pemerintahan sejak 6 tahun lalu tersimpan di Bagian Plannologi dari kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga di Jakarta. Di antara kutipannya:
Ir. Lien Khe Lien, Kepala Jawatan dari Teknik B dari kotapraja Bandung jang dulu bersama2 dengan Wali Kota almarhoem R.H. Enoeh, Prof. Ir. Thijsse (bekas guru besar Fakultas Teknik), Senosastro, Kusma dll menjusun nota tsb, menerangkan bahwa sepandjang pengetahuanja diantara kota2 jang sekarang menjediakan diri untuk mendjadi ibukota Negara tidak ada jang mempunjai bahan2 planologi selengkap seperti Bandung.
Menurut surat kabar itu blue print itu sudah ada di laci Ir. Soekarno. Pemerintah sudah membentuk panitia negara untuk mempelajari nota Bandung itu. Panitia itu diangkat oleh besluit Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga pada awal 1950-an dijabat Ir. Ukar Bratakusumah.
Dalam nota tersebut diterangkan berapa ratus hektar tanah kepunyaan kotapraja dan berapa puluh hektar tanah parikulir dicadangkan untuk gedung Presiden, Parlemen, kementerian, serta perwakilan luar negeri. Tanah-tanah itu terletak di sebelah utara Jalan Diponegoro dan kemudian diketahui sekitar 80 hektar disediakan untuk Universitas Padjadjaran.
Tetapi akan timbul kerawanan lain seperti naiknya biaya hidup dan yang kuat akan mendesak yang lemah. Namun isu itu senyap dengan cepat. Kabarnya karena faktor politik juga rencana Bandung sebagai ibukota diabaikan.
Tetapi daerah protokol Bandung saat ini dan taman-taman utamanya sudah dibentuk sejak masa kolonial. Begitu juga dengan kembang dan bunga di perkarangan rumah terutama di kawasan Bandung utara masih terasa pada 1970-an setidaknya saya lihat di rumah kakak ibu saya di mana saya sering berlibur masa kecil.
Sejuknya kota Bandung masih terasa hingga 1980-an. Namun semua itu pudar sejak 1980-an akhir dan direvitalisasi kembali oleh Ridwan Kamil dengan penambahan sejumlah taman.
Kontribusi Pendidikan
Bandung adalah kota pendidikan sejak zaman colonial karena di sana ada AMS dan THS. Pada 1950-an jumlah SMA dan perguruan tinggi bertambah. Buah perjuangan Front Pemuda Pasundan, Paguyuban Pasundan akhrinya membuat pemerintah mengabulkan berdirinya Universitas Padjadjaran pada 1957.
Pada saat hampir bersamaan berdiri Universitas Parahyangan dan kemudian diikuti Universitas Pasundan dan Universitas Islam Bandung. Sebelum sudah berdiri suatu institute keguruan dan pendidikan yang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia sekarang. Pada akhir 1950-an sebuah sekolah perhotelan berdiri. Fakultas Teknik UI akhirnya menjadi ITB pada 1959.
Boleh dibilang menjelang 1960 tiga universitas negeri dan tiga universitas swasta sudah berdiri untuk satu kota yang populasinya pada masa itu kurang dari sepertiga populasi penduduk Bandung sekarang. Enam perguruan tinggi itu masih ditambah STT Telkom, Tekstil, perhotelan dan Sariwegading.
Paling tidak jumlah mahasiswa berkisar 15 ribu hingga 20 ribu atau dua hingga tuga persen dari populasi penduduk Bandung masa itu, diperkirakan sekitar 750 ribu pada 1950-an akhir. Jumlah itu besar menurut ukuran masa itu. Bandingkan dengan Jakarta yang hanya punya Universitas Indonesia dan beberapa universitas swasta pada 1950-an.
Catatan lain menurut cerita ibu dan berapa orangtua yang saya ajak mengobrol kualitas beberapa sekolah menengah negeri di Bandung di atas sekolah menengah negeri di Jakarta. Kalangan menengah di Jakarta lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik, sementara di Bandung pilihannya banyak, bisa SMA 1, SMA 2, SMA 3, hingga SMA Alloysius bahkan sekolah kejuruan seperti Sekolah Asisten Apoteker, sekolah telekomunikasi ada di Bandung. Kalau dijumlahkan dengan para mahasiswanya populasi orang terdidik di Kota Bandung menyampai puluhan ribu.
Sekalipun harus diperhitungkan juga para pendatang atau orang luar Bandung yang mengenyam pendidikan di enam perguruan tinggi tersebut, tetapi lulusan perguruan tinggi itu mengingatkn saya pada apa yang diungkapkan beberapa sejarawan sebagai neo priyayi akibat politik etis pada 1900-an dan akhrinya menimbulan elite modern yang dengan cepat menggantikan priyayi lama sebagai dinamisator masyarakat dan akhirnya menjadi pergerakan nasional untuk kesadaran kemerdekaan Indonesia.
Bandung kedua kalinya mengalami booming elite baru ini, semacam “neo menak” (menak sebutan priyayi di tanah Pasundan) yang bisa menjawab mengapa kota ini kemudian kota kreatif karena SDM-nya bagus, tradisi orang terdidik cukup banyak dan ini juga menjawab mengapa Bandung memiliki musisi yang andal-karena sebagian besar adalah lulusan atau pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Hal yang menarik lainnya dari banyaknya golongan terpelajar Bandung adalah kota yang relatif tenang dari segi konflik sosial karena teredam oleh kota pelajar ini, tetapi bukannya tidak punya potensi konflik.
Konflik sosial justru dipicu oleh kalangan para pelajar perguruaan tinggi dan menjadi begitu detruktif, daripada gerakan grass root. Kerusuhan rasial 10 Mei 1963 justru dimulai di ITB dan diikuti pelajar-pelajar sekolah dan baru kemudian gerakan grass root.
Seperti halnya Jakarta, gerakan mahasiswa di Bandung juga kritis. Sejumlah kampus di Bandung pada 1978 juga diduduki. Catatan menarik lainnya menyangkut peristiwa 1978 itu, pada awalnya tentara Siliwangi punya saling pengertian dengan mahasiswa bersikap lebih lunak, baru setelah pemerintah pusat tidak puas mendatangkan pasukan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang lebih represif.
Yang mencengangkan ketika Jakarta porak poranda akibat kerusuhan Mei 1998, Bandung justru relatif tenang seperti halnya reaksi terhadap PKI pada 1965, di mana Bandung dan umumnya Jawa Barat skala tindak kekerasan terhadap apa yang disebut pengikut PKI tidak semasif di Jawa Tengah, Jawa Timur bahkan dengan Jakarta sekalipun.
Sejumlah sekolah –juga perguruan tinggi di Bandung- dibangun berdekatan, terutama di Bandung Utara. Tetapi peristiwa tawuran pelajar tidak semarak yang terjadi di Jakarta. Hasil penelusuran saya hanya ada berapa kasus dalam sepuluh tahunan. Sejak pertengahan 1950-an Bandung sudah nyata menjadi kota pelajar dan iklim di kota itu mendukung suasana belajar yang baik. Pelajar bukan saja studi tetapi juga menikmati kehidupan hang out hingga main musik.
Hanya saja Bandung tidak punya perpustakaan yang komplit seperti perpustakaan nasional di Jakarta. Perpustakaan daerahnya menurut kawan-kawan saya di Bandung tidak komplit. Usaha Kang Emil untuk mendirikan perpustakaan di alun-alun dan di sejumlah harus diapresiasi. Namun upaya parikelir membuka pepustakaan dan ruang baca untuk umum patut diacungi jempot.
Perpustakaan Batu Api di Jatinangor (sebetulnya di luar kota Bandung) adalah contoh yang baik. Sejumlah toko buku independent juga membuat marak kota pelajar. Bahkan di Tobucil (toko buku kecil) kerap diramaikan pertunjukkan musik.
Saat ini saja diperkirakan jumlah tempat kuliah di Bandung sekitar 57 [4]. Jumlah mahasiswa ITB pada 2014 lebih dari 14 ribu [5] Jumlah mahasiswa Unpad pada 2011 lebih dari 28 ribu [6] Pada 2014 Universitas Pasundan menerima lebih dari 4000 mahasiswa. Itu mahasiswa barunya [7]. Kalau setiap tahun rata-rata 4000 mahasiswa, maka empat tahun dihitung sebagai mahasiswa, maka Unpas paling tidak punya lebih 15 ribu mahasiswa. Universitas Pendidikan Indonesia pada 2009 ada 30 ribu[8] mahasiswa, mungkin pada 2014 lebih.
Kalau 50 universitas dijumlahkan populasi mahasiswanya maka Bandung (tentunya termasuk yang di Jatinangor) angka 100 ribu tercapai. Bandingkan dengan populasi Bandung sekitar 2,4 juta jiwa. Di antara penduduk Bandung berapa yang sarjana? (karena tidak semua lulusan unievrsitas tinggal di Bandung). Puluhan ribu angka konservatif.
Satu-satunya masalah menyangkut remaja di Bandung berkaitan dengan apa yang diungkap media massa sebagai geng sepeda motor yang membuat ulah negatif. Mekipun setelah 2010 geng motor mulai surut dan disebut bertransformasi menjadi ormas, tetapi keberadaan mereka menajdi fenomena menarik. Hingga saat ini saya tidak menemukan perspektif sejarahnya yang kuat [9].
Pada 1950-an memang ada klub vespa atau klub motor atau kerap melakukan touring (tur) atau mengadakan event. Tetapi apa berkaitan perlu penelitian lebih lanjut. Pada 1950-an ada kelompok crossboy atau cowboy yang menimbulkan masalah sosial. Tetapi kemunculan crossboy (bahkan crossgirl) juga terjadi di Jakarta dan juga di kota seperti Malang lebih dipicu oleh pengaruh film Hollywood seperit film James Dean berjudul “A Rebel without a Cause”. Sejak akhir 1957 keterlibatan aparat militer dengan cepat aksi kenakalan mereka. Tetapi apakah geng motor bentuk lain dari crossboy atau cowboy juga perlu kajian lebih lanjut
Saya menduga kalau sebetulnya munculnya geng motor itu semacam perlawanan terhadap kemapanan, mereka yang tidak punya saluran untuk berekspresi, protes terhadap marjinalisasi. Geng motor tampaknya lebih berakar pada persoalan sosial yang belum terungkap tuntas. Kajian terhadap struktur sosial geng motor bisa mengungkapkan apa yang menjadi masalah sekaligus mencari solusi yang bijak.
Bisa jadi berkaitan dengan perkembangan pariwisata di Bandung dan sekitarnya yang tidak memberi tempat bagi sebagian anak muda Bandung untuk leisure dan hang out. Geng Motor marak sejak 1980-an ketika arus wisatawan dari Jakarta mulai banyak dan apalagi dibuka jalur Cipularang yang membuat waktu tempuh Jakarta-Bandung hanya 2-3 jam. Setiap weekend jalan Setiabudhi macet karena mobil-mobil plat B memenuhi Lembang.
Persoalan lain akses pendidikan lebih banyak dinikmati warga kota Bandung (juga pendatang) dan apakah bisa diakses oleh warga yang tinggal dalam wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Harus diteliti secara sosiologi tingkat pendidikan anggota geng motor. Sebetulnya pemkot bisa mengakomodasi orang-orang yang punya hobi naik motor ini dengan mengadakan banyak event ketangkasan bermotor secara legal seperti pada 1950-an.
Di sisi lain sebetulnya terdapat perkumpulan motor di Bandung dan sekitarnya punya kegiatan kreatif mengikuti lomba drag dengan sponsor perusahaan besar. Bahkan perkumpulan motor itu ada yang mempunyai distro yang menjadi base camp. Sekali lagi jumlah anak muda yang terdidik tampaknya membuat perkumpulan motor menunjukkan wajah konstruktifnya.
Dinamisasi UKM di Bandung juga berkaitan dengan keberadaan para orang-orang produk perguruan tinggi ini. Kalau bisa diteliti lebih mendalam siapa yang menjadi pengusaha di kota Bandung terutama kalangan muda datang dari mereka yang berpendidikan perguruan tinggi, setidaknya pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi.
Yang saya himpun untuk sebuah tulisan lain di Kompasiana tentang pengusaha muslimah di Kota Bandung ada 30 nama didata, hampir 80 persen mengakses pendidikan universitas. Begitu juga di luar kategori itu. Ketika lapangan kerja makin terbatas maka UKM yang menjadi katalisator atau pengaman dan sekali lagi kalangan terdidik di kota Bandung menjadi penyelamat.
Bukankah Ridwan Kamil didukung oleh kalangan terdidik dan dia sendiri adalah warga Bandung produk golongan terdidik tersebut? Golongan terdidik inilah menjadikan Bandung sebagai kota kreatif.
Kota Bandung dinamis menjadi kota kreatif dan menyenangkan karena digerakan oleh dua hal, yaitu perkembangan pariwisata dan kehidupan leisure keberadaan kalangan orang terdidik yang membuat UKM begitu kreatif, kegiatan musik berkembang, aktfitas kota begitu hidup. Tetapi di sisi lain pariwisata dan orang-orang terdidik ini juga punya potensi menghancurkan tatanan di kota Bandung.
Mahalnya masuk Trans Studio –wahana semacam Taman Fantasi Ancol- dikeluhkan beberapa kawan yang tinggal di Bandung, begitu juga tiket masuk Tangkubanparahu lebih ditujukan untuk mengakomodasi wisatawan berduit dari Jakarta daripada orang Bandung sendiri. Taman-taman yang direvitalisasi seperti halnya alun-alun adalah jalan keluar yang bersifat sementara yang membuat Bandung dijuluki kota yang happy untuk berekreasi.
Kesanggupan pemkot mendukung keberadaan dan perkembangan UKM adalah jalan keluar untuk memberikan jalan keluar terutama bagi kalangan terdidik dan selanjutnya kalangan terdidik ini memberikan lapangan kerja bagi yang kurang beruntung. Pemkot sebaiknya memperhatikan masukan dari kalangan terdidik untuk mengembangkan Gedebage Technopolis dan pemecahan masalah ekologis di Kota Bandung.
Bagian kedua dari Tulisan Untuk HUT Kota Bandung ke 206.
Referensi lain terkait:
- Wisata Bandung dan Sekitarnya pada 1930-an Menurut Catatan Mooi Bandoeng dan Majalah Olahraga
- Bandung 1956 (2) Pembukaan Stadion Siliwangi dan Hang Out Warga Kota Januari-April
- "Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia"
Catatan Kaki:
- Agus S Ekomadyo, Dosen Sekolah Arsitktur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB, . “Kota Inovasi yang Membumi”, Pikiran Rakyat, 23 Februari 2016
- A. Bagoes P.Wiryomartomo, Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, halaman: 124-140.
- Pikiran Rakyat 23 September 1957
- Daftar Perguruan Tinggi di Bandung
- Fakta dan Angka ITB
- Data dan Fakta UNPAD
- 4.000 Lebih Mahasiswa Baru Unpas Ikuti OPMB
- Universitas Pendidikan Indonesia
- Jungkir balik mencari sumber soal geng motor, yang saya dapat: "MENGENAL EMPAT GENG MOTOR BESAR BANDUNG" dan "Salah Satu Geng Bermotor Terbesar di Bandung Bertransformasi Menjadi Ormas". Namun, akar sejarah geng motor yang agak lengkap ditulis seperti ini: Geng Motor di Bandung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H