Yang paling menakjubkan justu pada genre musik metal underground oleh sejumlah anak muda di Ujung Berung pada awal 1990-an. Pada 1993, Band Orthodox didirikan oleh Yayan Ahdiat di Gang Kaum Kidul, kawan, diikuti Jasad yang digawangi Yuli, Tito, Hendrik, diikuti Monster, Funeral dan Necromancy. Pendiri monster Ikin, yudi, Abo, Yorda dan Kimung. Umumnya mereka teman satu sekolah di SMPN 1 Ujung Bereung dan SMAN 1 Ujungbereung (kini SMAN 24), akhirnya Burgerkill.
Komunitas punk rock punya kebiasaan nongkrong di Bandung Indah Plaza. Tradisi "tradisi" kumpul-kumpul ini menjadi kekuatan pada masa berikutnya. Mereka mendiskusikan keinginan membuat rekaman dan kompilasi, meskipun sama sekali tak punya pengetahuan cara membuatnya. Keinginan awal komunitas ini hanyalah mendokumentasikan eksistensi komunitas punk rock di Bandung. Hingga jadilah kompilasi berjudul Bandung Punk Rock Storm yang memuat lagu-lagu dari 17 band punk rock Bandung.
Bandung Punk digandakan 1.500 kopi kaset saja, dengan harga Rp 7.500 per biji-harga kaset rekaman arus utama Rp 7.000 per buah. Cara menjualnya di rumah-rumah antarteman. Semua proses kreatif dilakukan gotong-royong di antara komunitas. Pada Oktober 1997, band-band Ujungberung yang beraliran superkeras juga merekam lagu-lagu mereka dengan biaya masing-masing. Jumlah band-nya pun mengejutkan: 13 grup [3].
Musisi dan penulis sejarah musik Kimung dari Burgerkill menulis buku “Ujungberung Rebels: Panceng Dina Galur” menyebutkan bahwa musik metal lahir di Ujungberung, sejak ranah musik ini terbentuk pada 1985 (Pikiran Rakyat, 20 Novemer 2014). Burgerkill memang satu contoh fenomena menakjubkan itu dan dalam berapa event yang saya catat personel band ini kerap tampil berkoloborasi dengan band lain di event itu, misalnya dengan band Mocca. Begitu juga sebetulnya antar band berkoloborasi.
Semangat meluap bermusik ini sempat mendapatkan pukulan ketika terjadi sebuah tragedi pada sebuah konser musik underground.Pada Februari2008 sebuah kejadian yang cukup menghentak dari scene underground di kota Bandung, Sabtu malam, 9 Februari 2008. Sebelas orang tewas terinjak-injak dalam konser tunggal launching album pertama Beside, Against Ourselves, yang digelar di Gedung Asia Africa Cultural Centre (AACC) Jalan Braga. Hal ini diduga karena pihak panitia menjual tiket jauh melebihi kapasitas gedung. Akibat kejadiannya itu sejumlah acara musik pada 2008 dibatalkan dan izin pertunjukkan musik dipersulit. Seolah-olah kegiatan musik tertidur di Bandung [4]
Inovasi dan Keterlibatan Kampus
Pada 2010 aktivis-aktivis musik kembali menggeliat, kebanyakan dari kafe ke kafe. Keterlibatan kaum intektual dari perguruan tinggi menjadi salah satu faktor yang menentukan tetap survivalnya kehidupan musik di Kota Bandung. Keterlibatan itu sudah dimulai sejak 1990-an. Pembentukan Komunitas Musik Fikom Unpad pada 2 Mei 1998 merupakan gerakan dari bawah lainnya yang menjadi contoh bagaimana membuat sebuah terobosan untuk membangun sebuah kota musik. KMF hadir untuk membangun panggung kecil di sekitar mereka, menyebarkan informasi kepada masyarakat luas bahwa talenta luar biasa tidak harus berada di panggung besar ataupun layar kaca.
Namun baru sejak akhir 2014 lalu KMF telah menggelar acara rutin bulanan bersama FFWD Records dan Monstertsres Record bernama An Intimacy. Acara ini selalu diselenggarakan di Lou Bell Shop Bandung berlangsung dua belas kali hingga Desember 2015. Setidaknya ada tiga perusahaan besar yang bersedia menjadi sponsor An Intimacy. Lizzie Band yang berasal dari kalangan mahasiswa mengaku merasakan efek positif setelah meramaikan panggung An Intimacy. (Raissa Nathania, mahasiswa jurnalistik Fikom, dalam rubrik Kampus, Pikiran Rakyat, 11 juni 2015). Pada 2 April 2016 di Gedung New Majestic diadakan event lebih special yaitu An Intimacy: Departure. Di kalangan penggemar musik Indies band-band yang tampil menjadi bahan diskusi yang hangat.
Untuk musik jazz memang variannya di Kota Bandung bisa bercampur dengan musik etnik, karena para musisinya begitu inovasi. Saya pernah menyaksikan pertunjukkan di Braga Festival di era 2010-an bagaimana kelompok musik bernama Sunda Wolves mampu mengaransemen lagu “Mojang Priangan” dengan jazz. Begitu juga dengan genre musik rock, reggae bisa hibrida dengan musik etnik. Kreatifitas yang dilakukan Saung Udjo contoh lain bagaimana lagu seperti “Bohemian Rhapsody” dari Queen bisa dimainkan dengan angklung.