Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerukunan Umat Beragama, Perspektif Lokal dan Media Sosial

10 September 2016   16:16 Diperbarui: 10 September 2016   16:37 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : https://eduters.gnomio.com/pluginfile.php/2/course/section/1/agama.jpg

Hakis dari IAIN Ambon dalam tulisannya untuk kasus Ambon untuk membangun kerukunan umat diperlukan langkah berikut (1) menghentikan bahasa hasutan; (2) mengkomunikasikan untuk selalu menahan diri; (3) melakukan komunikasi dengan bahasa damai dari bawah ke atas, dan sebaliknya; (4) mela–kukan dialog, membuka jaringan antar remaja, dan pendidikan multikulturalisme; (5) ruang publik sebagai tempat perjumpaan level sosio-kultural harus diperhatikan; (6) manajemen perdamaian itu sendiri. Hakis juga menyebutkan bahwa jaringan antar remaja lintas agama lebih efektif dan cepat untuk membentuk kerukunan umat beragama dalam masyarakat [1].

Media Sosial

Saya tertarik dengan tulisan Aceng Abdullah, Staf Pengajar Jurnalistik Fikom Unpad “Media Massa dan Pemilu” dalam Pikiran Rakyat, 3 Juni 2014. Menurut Aceng dalam artikel itu pemberitaan media massa termasuk pemberitaan televisi pada era sekarang tidak lagi memberikan pengaruh. Debat calon presiden, talkshow di televisi tidak disukai kaum muda. Khayalak mayoritas penonton televisi lebih menyukai acara hiburan atau olahraga.

Efeknya sejumlah surat kabar rontok di Amerika Serikat dan sejumlah Negara di Eropa. Hal ini terjadi karena dalam sepuluh tahun terakhir ini terjadi pergeseran penggunaan sumber informasi di kalangan muda. Yang menjadi pegangan dan sumber informasi adalah media baru, internet dan media jejaring sosial. Siapa yang mampu memanfaatkan sosial media secara maksimal dia yang memenangkan persaingan politik.

Apa yang diungkapkan Aceng Abdullah dua tahun lalu terungkap juga pada hasil survei Reuters Institute Digital News Report pada 2016. Survei menunjukkan separuh dari 50.000 konsumen berita berbasis online yang disurvei di 26 negara menyatakan menggunakan media sosial sebagai sumber pemberitaan. Bahkan, sebesar 12 persen di antaranya menggunakan media sosial sebagai sumber pemberitaan yang utama.

Survei ini diperkuat juga oleh survei tatap muka yang dilakukan oleh Litbang Kompas awal bulan Juni 2016 lalu di wilayah DKI Jakarta, mengungkapkan banyak warga Jakarta saat ini mengikuti pemberitaan lewat media sosial ketimbang harus masuk ke laman penyedia berita daring. Persentase warga yang membaca berita lewat media sosial mencapai 44,4 persen, sementara kelompok masyarakat yang mendapat informasi dari laman berita daring hanya 31,7 persen. Warga Ibu Kota yang mengonsumsi berita lewat media sosial sebagian besar berusia di bawah 40 tahun. [2]

Pertanyaan besar kalau media sosial yang dijadikan pegangan, apakah mereka yang mengkonsumsi berita dari media sosial percaya begitu saja terhadap isi beritanya? Apakah informasi yang disebarkan melalui media sosial itu fakta, realitas sesungguhnya atau hoax? Mungkin saja karena berita itu diterima dari kawannya, seorang pengguna media sosial percaya begitu saja, bahkan ikut menshare dan memberikan komentar.

Pengalaman pilpres 2014 kemarin membuktikan apa yang realitas, berita lama, berita yang diplintir, berita palsu mengenai seorang kandidat lalu lalang di berbagai media sosial seperti facebook, twitter. Ibaratnya setiap orang seperti mempunyai kekebasan membuang sampah di sungai yang mengalir sampai ke hilir dan orang di hilir mendapatkan sampah itu dan mengira dari hulu, bukan dari mata airnya. Membuang sampahnya bisa dilakukan dengan menyamar.

Kalau begitu, provokasi bisa dengan mudah dilakukan, karena akun bisa dimuat palsu. Pemilik akun asli pun dengan informasi yang mungkin saja ada benarnya, bisa jadi tidak menyadari akibat yang akan dia timbulkan. Masalahnya karena kesalahan satu orang bisa ditimpakan pada hal-hal yang berkaitan dengan identitas orang itu, yang “lari” secara liar ke agama yang dianut, rasial dan suku asal orang itu. Kerusuhan Tanjung Balai adalah salah satu contoh bagaimana media sosial bisa mempunyai untuk merusak kerukunan umat Bergama. Apakah karena kesalahan seorang yang kebetulan dari etnis Tionghoa yang tidak memahami kondisi sosialogis masyarakat di pemukimannya bisa menjadi pembenaran untuk merusak vihara?

Media sosial memang bisa menjadi pemicu masalah kerusuhan bernuansa Suku Agama Ras dan Antar Golongan, tetapi media sosial sebetulnya hanya sebuah sarana dan bukan persoalan utamanya. Sebelum era media sosial, media konvensional seperti surat kabar, siaran radio , siaran televisi juga bisa bisa menjadi pemicu kerusuhan. Hanya saja kontrol dan seleksi berita dalam media konvensional ketat, sementara

Pengamat isu-isu pembangunan, perdamaian dan keadilan dari Amerika Serikat, Dr.Ghassan Michel Rubeiz dalam sebuah tulisan mengungkapkan hal itu. Ketika terjadi penistaan terhadap Al Qur’an oleh seorang pemuka agama di Florida sekitar 2011, berita menyebar secara global secara online melalui situs jaringan sosial seperti Twitter, YouTube dan Facebook, secara instan. “Kisah kebencian disiarkan berulang-ulang dapat memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi hubungan antara masyarakat,” kata Ghassan [3].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun