Keesokan harinya Jum’at April 1893 rombongan naik kereta kuda ke Cisurupan didepan diiringi 12 lurah dan 13 lurah. Ikut juga dua orang wedana. Di pesanggrahan Cisurupan berhenti sebentar minum kopi. Sesudahnya mereka naik kuda ke Gunung Papandayan melihat kawah kira-kira tiga jam lamanya. Mereka kemudian turun gunung dan kembali ke Garut pukul lima sore. Pangeran Austria itu menyaksikan kerajinan rakyat Garut. Bangsawan itu dilaporkan membeli aneka barang. Malamnya Putra Mahkota Austria hadir di pendopo melihat kelihaian menak-menak Bumiputera nayuban, ngibing sampai pukul sembilan malam.
Sabtu 15 April 1893 jam tujuh pagi rombongan tamu agung ini naik kereta ke Cigadog 6 pal jauhnya naik kuda. Dari Cigadog mereka ke Cisorok sekitar satu setengah pal dari Cigodok naik kuda residen. Acara perburuan babi hutan dimulai. Dari atas panggung bambu putra mahkota menembak babi hutan yang digiring begerombolan oleh warga setempat. Putra mahkota membunuh 30 ekor babi hutan. Dia digambarkan menembak tepat, satu kali kena. Bahkan ada babi yang dikerubuti anjing, putra mahkota bisa menembaknya tanpa kena anjing. Kegiatan berburu selesai pukul sebelas siang.
Tidak diberitakan babi hutan yang sudah mati ini untuk apa dan tampaknya hanya untuk kesenangan sang calon raja Austria. Pembantaian puluhan ekor babi hutan dilakukan hanya dalam waktu singkat. Yang jelas daging babi hutan tidak dimakan warga setempat yang semuanya muslim.
Rombongan Putra Mahkota Austria kemudian naik kereta api ke Cianjur dan menginap di sana. Hari minggunya ia berburu menjangan di Cianjur. Rombongan menginap di rumah bupati dan ikut undangan pesta di rumah Bola Cianjur. Pada waktu itu Cianjur adalah kota utama di Priangan sebelum akhirnya Bandung berkembang hingga ada sebuah rumah bola (Societet Concordia) di kota ini. Putra mahkota diberitakan berani mengunjungi ribuan orang yang memadati alun-alun untuk melihat sosoknya.
Kegiatan berburu menjangan dimulai minggu pagi. Putra mahkota ditemani Residen dan Bupati Cianjur. Penggiringnya sampai 37 kahar (delman). Putra mahkota diceritakan membunuh 4 ekor menjangan ukuran besar hanya dengan delapan tembakan dan dalam tempo dua jam. Pukul lima sore rombongan kembali ke Gadog, Cianjur. Juga tidak diceritakan apakah daging menjangan ini kemudian dimakan rombongan, diberikan pada warga atau dibiarkan mati kemudian dikubur untuk kesenangan bangsawan itu?
Keesokan harinya Senin 17 April 1893 Putra Mahkota ke Cidamar berburu macan, badak dan sampi hutan (banteng?). Kali ini tidak ditemani ambtenaar. Hanya Raden Suria Di Raga, wedana distrik Cikalong menemani. Wedana ini dapat persen dari putra mahkota uang F100 karena mau menggerakan 20 orang rakyatnya menggiring menjangan agar bisa ditembak Putra Mahkota Austria. Ketika pulang ke Batavia Bupati Cianjur mendapatkan hadiah dari putra mahkota Austria itu berupa satu tempat rokok dan Raden Demang Patih Cianjur dapat hadiah satu cincin intan kecil.
Putra Mahkota Austria dikabarkan pulang ke Bogor dan dari kota itu naik kereta api ke Batavia. Di antara penjabat Hindia Belanda yang mengantarkan Konsul Fock dan Gubernur Jendral. Sementara Residen dan Asisten Residen Batavia menyabut di Stasiun Gambir. Dia naik kapal kaiseran Elizabeth dari Tanjung Priuk untuk bertolak ke Australia, plesiran sang calon raja berikutnya. Perburuan terakhirdi Tanah Priangan diceritakan anak raja itu gagal membunuh macan dan badak, tetapi berhasil membunuh beberapa ekor monyet dan rupa-rupa burung. Semua untuk kesenangan bangsawan itu [3]
Dua putra mahkota dari dua kerajaan besar di Eropa jalan-jalan di Tanah Priangan pada awal 1890-an. Nicholas II dan Frans Feridnand petualang pada usia muda. Keduanya sama-sama mengalami akhri yang tragis.
Pangeran Hidayatullah di Cianjur
Bintang Barat edisi 5 Februari 1892 menyinggung tentang kehidupan Pangeran Hidayatullah dari Banjarmasin. Pangeran itu dibuang ke Cianjur oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda bersama istri, anak-anak dan pengikutnya pada 1862. Setelah 30 tahun tinggal di pengasingan perilaku Pangeran Hidyatullah dianggap sudah tidak lagi menunjukkan sikap perlawanan atau berkelakukan baik. Surat kabar itu memberitakan antara lain:
Dan sebab pangeran itoe soeda ada berdiam di Tjiandjoer lamanja 30 tahoen, sehingga gourvernment telah menilik bahoewa selamanja itoe, Pangeran Hidajat tiada sekali kelakoeannja jang bole ditjela, maka gouverment telah memberi gandjaran seriboe ropia padanja dan dikoeasakan poela pada Kepala negeri di Tjiandjoer akan kasih permisi pada Pangeran Hidajat, tiap-tiap seboelan boeat pergi melantjong bersoekaati ka Bogor, Betawi atau ka Soekaboemi.