Herman hanya bisa bersandar dengan wajah lesu di dinding sebuah apotik di kawasan Ruko Kompleks Blok A Cinere, Depok. Penjual Koran dan majalah itu harus merelakan dua lapaknya di dekat trotoar tak jauh dari bangunan apotik itu digusur satpol PP Kota Depok dibantu aparat kepolisian. Siang itu, Kamis 11 Agustus 2016 dia dan rekannya yang menjadi juru parkir di kompleks itu,
bersama belasan pedagang makanan dan pemilik kios rokok tidak diperkenankan lagi berdagang di lahan parkir kompleks ruko itu. Herman menyambut pelukan simpati saya, karena sejak lima tahun terakhir ini saya menjadi pelanggannya untuk membeli aneka surat kabar seperti Kompas, Koran Tempo, Pikiran Rakjat hingga Republika. Almarhum ayah saya sebelum meninggal kerap membeli majalah Tempo dan National Geographic Indonesia dari lapak ini.
Saya sebagai warga tidak mendapat penjelasan yang cukup. Sebagian warga termasuk saya merasa pedagang-pedagang sudah menjadi bagian sejarah tinggal di Cinere selama 33 tahun. Misalnya saja, Doel, tukang sate ayam Madura dikenal keluarga saya ketika masih berdagang dengan gerobak keliling. Rambutnya kini sudah memutih dan ketika saya temui dia masih belum tahu apa yang harus dilakukannya. Setiap menjelang lebaran Doel dan setidaknya dua pemuda yang membantunya kerap menerima pesanan lontong dari warga. Doel selalu mengantarkannya tepat waktu.
Memang soal legalitas masih perdebatan. Tidak terlalu jelas halaman ruko di kompleks itu wewenang warga kompleks, pemilik ruko atau Pemkot Depok. Daerah Cinere bukan daerah protokol Kota Depok. Banyak warga yang membeli makanan para pedagang kaki lima ini mulai dari pagi hingga malam hari. Pemkot Depok mungkin mengira semua warga kompleks adalah orang-orang kaya. Padahal ada pensiunan, janda, serta mereka yang tidak lagi mempunyai penghasilan tinggi, tetapi dahulu mampu mempunyai rumah. Sekalipun bukan rumah besar.
Saya tahu ada pedagang nasi uduk yang tinggal di belakang masjid, seorang janda, suaminya pengurus masjid di kompleks, meneruskan usaha sampingan suaminya untuk mencari nafkah. Dia masih membantu mengantarkan surat-surat undangan pengajian. Seorang rekan saya mantan aktifis masjid bahkan menitipkan jualan camilan sebagai penghasilan sampingannya sebagai copy writer periklanan yang kadang ada proyek, kadang tidak. Lapak nasi uduknya kerap menjadi tongkrongan sebuah komunitas sepeda, orang-orangtua tiap akhir pekan, serta karyawan di hari kerja.
Di depannya ada Warung Bakmi Bang Karim almarhum yang saya sudah saya kenal sekitar sejak dua puluh tahun lalu berjualan di tempat yang sama. Almarhum seorang pekerja keras, pantang untuk mengemis, Anak-anaknya sudah pada kuliah. Suatu hari pada 1999 saya mengobrol dengan Bang Karim soal politik. Dia gusar ketika sejumlah elite politik menolak Megawati menjadi presiden karena dia perempuan.
Dia kemudian menggugat seharus politisi partai Islam memberdayakan para pengemis dan saya setuju. Datang seorang pengemis kepada kami dan saya memberi satu keping Rp100, karena tidak ada uang kecil lain. Pengemis itu merengut. Bang karim gusar dan membela saya: “Harusnya kamu terima kasih! Tidak mau kerja maunya minta uang!” Filosofi pedagang kaki lima ini tidak ada pekerjaan yang hina asalkan halal dan hidup dari keringat sendiri. Kini usaha almarhum diteruskan isteri dan anak-anaknya serta pegawainya bernama Rino yang sudah ikut mereka sejak masih kecil.
Apakah orang-orang ini yang minggir demi kepentingan orang berduit yang sebetulnya belum tentu dirugikan? Relokasi ke Pasar Segar tak jauh dari situ secara ekonomis tidak menguntungkan. Siapa yang mau beli? Pelanggannya banyak dari kompleks-kompleks sekitar mal atau pegawai ruko. Masa kami harus naik angkot atau jalan kaki? Dengan uang Rp10 hingga Rp15 ribu saya bisa sepiring nasi uduk dengan telur, lima tusuk sate ayam dengan nasi, setengah porsi sate Padang, semangkok bakmi ayam Bangka dengan bakso, sepiring nasi soto ayam, sepiring bubur ayam.
Masa saya dipaksa makan di basement mal yang kualitasnya tak jauh beda dari pedagang kaki lima, tetapi jauh lebih mahal? Memang nya gaji saya besar? Sekali-sekali boleh. Tetapi setiap hari ogah! Ibu sudah tua dan tidak bisa memasak setiap hari. Memangnya gaji pegawai yang berkantor di ruko-ruko bisa dinaikan agar bisa makan siang di mal atau di KFC setiap hari? Padahal makin sulit mencari pekerjaan dengan gaji yang layak pada masa ini.
Kalau memang tidak pedagang kaki lima tidak boleh berdagang di pelataran parkir, ya mengapa tidak dari dahulu ditegakkan aturannya. Harusnya sejak ruko-ruko mulai eksis dan bukannya ketika mereka sudah rutin membayar iuran. Bukankah sudah ada warung makan padang yang sudah permanen harus dibongkar. Saya mendengar cerita seorang pedagang rokok yang tergusur kebingungan bagaimana menghidupi empat anaknya.
Saya kecewa dengan pemenang Pilwakot Depok yang katanya dari PKS dan Gerindra dua partai yang harusnya membela para pedagang kaki lima itu. Ada anak masjid Wahai politisi PKS Depok yang menjadi korban. Mana juga suara PDI Perjuangan yang membela wong cilik? Salah satu yang digusur itu pengikut setia Megawati tanpa pamrih. Ingat tanpa pamrih.