Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pop Art 1950-an: Tiga Dara

12 Agustus 2016   13:48 Diperbarui: 12 Agustus 2016   14:01 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bersyukur sempat menyaksikan hasil restorasi salah satu film yang paling monumental dalam sejarah perfilman Indonesia: Tiga Dara, karya Usmar Ismail. Menontonnya juga di Blok M Square pada hari pertama di mana di sekitarnya menjadi lokasi syuting film itu.

Opening scene dengan perayaan ulang tahun Nunung (Chitra Dewi) yang ke 29 di rumahnya dan dihadiri oleh kedua adiknya Nana (Mieke widjaja) dan Nenny (Indriaty Iskak), neneknya (Fifi Young), Sukandar, ayah ketiga dara itu (Hasan Sanusi). Busana yang dikenakan Nunung kebaya, sementara kedua adiknya sudah menggunakan gaun mode masa itu. Hadir juga Herman (Bambang Irawan) pacarnya Nana, seorang mahasiswa Fakultas Hukum. Soundtrack film bertajuk sama “Tiga Dara” dinyanyikan oleh ketiga perempuan itu.

Harus diakui Usmar Ismail brilian menghadirkan adegan pembuka ini, kalau disimak memperkenalkan masalah: usia Nunung mendekati kepala tiga dan belum menikah. Hingga era 1950-an perempuan tidak menikah menjelang usia 30 tahun membuat cemas para orangtua. Pada era masa kini –sebetulnya sejak 1980-an-jangankan usia 30 tahun, usia 40 tahun saja hal yang tidak menakutkan terutama bagi perempuan berkarir. Dari perbedaan busana sudah terbaca. Nunung: terkesan kuno, kurang bergaul, kaku, suka memasak, rapi dalam mengurus perbedaan rumah tangga.

Cerita terus bergulir. Sang Nenek tampil menjadi tokoh cerewet, ia berkeinginan sebelum ia meninggal, setidaknya ia menyaksikan Nunung menikah, kalau perlu ia sudah menimang cicit. Segala usaha dilakukan Sang Nenek, seperti membujuk ayahnya mendatangkan teman-teman sekantornya. Tetapi apa yang terjadi? Yang datang adalah serombongan lekaki setengah baya yang terpesona menyaksikan keterampilan Nunung bernyanyi sambil bermain piano. Sang Nenek mencak-mencak: kok yang dibawa kakek-kakek?

Lalu ia meminta Nana mendatangkan teman-teman prianya yang bergaya seperti “cowboy” dengan pesta dansa rock n roll. Pada masa itu karena pengaruh film Hollywood seperti A Revel with A Cause dan aneka film musikal dansa menjadi gaya hidup anak muda, begitu juga bergaya cowboy. Pria berdandan mirip Elvis Presley hingga James Dean adalah tren. Begitu juga perempuannya model rambutnya mirip Rita Hayword. Tetapi di mata Sang Nenek dansa rock n roll dianggap gila-gilaan.

Tetapi akhirnya justru Sang Nenek kemudian meminta Nana untuk mengajak Nunung bergaul dengan ikut kegiatan anak muda, mulai dari kegiatan Tari Serampang Dua Belas bergaya Melayu, pesta dansa dan piknik. Komentar dua pemuda melihat Nunung di sebuah pesta menarik : Siapa sih tante itu? Dialog yang mengundang senyum. Konflik utama dalam film ini justru terjadi ketika Nunung tertabrak sebuah skuter secara tak sengaja di kawasan Blok M,Kebayoran, Jakarta oleh seorang anak muda bernama Sutoto (Rendra Karno).

Dia datang ke rumah Nunung membawa bunga, tetapi malah disambut oleh Nana. Sang Adik justru lebih agresif, Herman pacarnya diputuskannya dan justru dekat dengan Nenny. Konflik cerita baru dihadirkan seperti lagu pembukanya: ketika ketiga dara itu sama-sama terpikat asmara: rivalitas antara kakak beradik mulai terjadi. Sang Nenek dan Ayahnya tersentak ketika Nana dengan santai berbicara: dia siap menikah dengan Toto. Itu artinya melangkahi kakaknya, yang pantang masa itu dan juga sekaligus membuat cemburu mantannya.

Wajah Indonesia Pertengahan 1950-an

Tiga Dara benar-benar film yang mencerminkan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat perkotaan Indonesia, terutama Jakarta (sebetulnya lebih-lebih Bandung dan juga terjadi di Surabaya). Bandingkan dengan Lewat Djam Malam yang mengungkap keresahan mantan pejuang menyesuaikan diri dengan masyarakat sipil yang ingin kestabilan setelah Perang Kemerdekaan, maka Tiga Dara yang dirilis pada 1956 sudah menggambarkan kehidupan yang sudah kembali “normal”.

Tiga Dara gambaran remaja masa itu bergaul “lebih bebas” dengan lawan jenisnya dibandingkan seperti era sebelumnya, tetapi tetap menghormati norma-norma berlaku. Cara berpakaian juga sopan, berdansa tidak berlebihan. Itu sebabnya film ini sukses besar dari segi pasar. Menonton bioskop berpasangan adalah hal yang biasa begitu juga ikut pesta dansa di akhir pekan. Nana adalah cerminan remaja perempuan urban yang berubah. Perempuan tidak lagi menunggu, tetapi juga bisa berinisiatif.

Dari segi tren dan pop art, Tiga Dara mempunyai pengaruh besar. Lomba mirip bintang Tiga Dara digelar diberbagai kota. Dari lomba itu muncul Suzanna yang mirip Indriati Iskak dan kelak menjadi aktris popular 1970-an setelah debutnya lewat Asmara Dara juga karya Usmar Ismail pada 1960. Gaya berpakaian, rambut ditiru oleh para remaja putri pada masa itu. Jelas bhawa menonton bioskop di Metropole termasuk bergengsi masa itu, walau harus memberi karcis dari tukang catut. Pada masa itu tukang catut karcis bioskop merupakan femonema 1950-an, terutama di Jakarta dan Bandung.

Bagi saya Tiga Dara adalah kemenangan mutlak neo priyayi. Kalau dulu didekati bangsawan atau pamongpraja Belanda adalah idaman para gadis, kalau sejak era 1950-an mahasiswa yang kuliah di universitas, perwira militer dan polisi, pegawai negeri fungsional (bukan birokrat), pegawai swasta, profesional lebih dipandang. Lagu “Pilih Menantu” yang dinyanyikan Chitra Dewi mencerminkan gambaran betapa banyak pilihan para gadis masa itu dan saya geli mendengar lirik: wartawan, ah tidak mau rahasia dapur bisa masuk Koran. Sutoto adalah pegawai yang mapan karena kerja keras, Herman mahasiswa Fakultas Hukum walau diledek Nana: bakal, bakal, bakal sarjana hukum. Itu mencerminkan betapa sulitnya menjadi sarjana masa itu. Namun yang terpenting: perempuan di kota mulai tidak mau dijodoh-jodohkan dan setidaknya ingin dilibatkan dalam mencari pasangan.

Secara sinematografi saya puas dengan hasil restorasi mendekati film baru walau hitam putih. Lima belas menit hingga dua puluh menit pertama hanya di ruangan tamu, keluarga dan kamar tempat tinggal keluarga Sukandar. Nyaris seperti menonton seperti sebuah teater broadway. Bahkan hampir separuh hingga dua pertiga film ini dalam ruangan. Adegan outdoor juga dengan musikal benar-benar memberikan saya gambaran Jakarta 1950-an. Interior depan Toko Tjiliwoeng, dalam areal Blok M tempat adegan tabrakan skuter masih ada sebagian wujudnya di depan Blok M Square saat ini. Begitu juga sebagian toko-toko di Melawai. Kebayoran adalah wilayah tempat kediaman ketiga dara itu masih sepi dan terasa nyaman. Saya melihat bangunan Toko Sambas di seberang rumah yang tak berpagar dan hampir serupa. Belum lagi adegan Netty dan Herman piknik di Clincing dengan jip, amboi masih bersih.

Dari segi departeman kasting, awalnya saya terpikat dengan Mieke Widjaja sebagai Nana. Dia menonjol sekali. Begitu juga Fifi Young sudah benar-benar menjadi nenek era masa itu. Namun di pertengahan cerita Indriati Iskak mulai mencuri perhatian saya. Aktingnya bahkan yang terbaik dari semua karakter film ini sekalipun ia pendatang baru. Artinya Usmar Ismail membuktikan dirinya sebagai sutradara yang jeli melihat bakatnya. Kalau saya jadi anak muda dan hidup di era itu saya akan jadi fans Indriati Iskak. Bagaimana cara ia menghidupkan Nenny untuk menyelesaikan masalah antar kakaknya begitu alami?

Dari segi tata musik Usmar Ismail melakukan berbagai terobosan, memadukan unsur musikal broadway film drama musikal Hollywood, bahkan unsur film bollywood juga ada, tetapi ciri ke Indonesiaannya tetap dipertahankan. Tidak tanggung-tanggung penyanyi populer masa itu Sam Saimun ikut menjadi penyumbang lagu. Kalau dari segi ide Little Women karya sastra klasik Amerika Serikat kemungkinan juga menjadi inspirasi. Usmar Ismail juga memasukan unsur Melayu yang juga menjadi latar belakang tempat dia berasal: Minangkabau.

Kalau ingin dibuatkan rangking dua puluh film Indonesia yang terbaik sejak era kemerdekaan hingga masa kini , menurut saya maka Tiga Dara adalah di antaranya. Wajar saja kalau Nia Di Nata membuat remake dengan era masa kini, karena dari segi cerita termasuk pendobrak. Jangan bandingkan dengan sinetron Indonesia saat ini. Yang membuat saya bertanya: kok begitu susah negeri ini bikin film cerita yang bagus seperti Tiga Dara , mendidik tetapi sekaligus juga punya pasar. Masalahnya di mana?

Tiga Dara Menurut Usmar Ismail

Saya beruntung bisa menemukan pandangan Usmar Ismail sendiri tentang Tiga Dara. Dalam sebuah tulisan yang dimuat di Pikiran Rakjat pada 15 Oktober 1959 Usmar Ismail menyinggung soal “Tiga Dara”. Film ini menghasilkan pendapatan kotor hampir Rp10 juta dan merupakan box office gross di Indonesia, juga box office di Singapura dan Malaya. Usmar mengakui bahwa pada mulanya di Perfini dalam membuat film tidak banyak ingat pada publik (selera penonton). Film pertama “Darah dan Doa” dengan cita-cita setinggi langit dengan semangat “Jangan kita turun kepublik, biar publik yang kita angkat untuk menghargai kita”. Antara “Darah dan Doa”, terdapat “Lewat DjamMalam”, “Harimau tjampa”, “Tamu Agung” dalam tujuh tahun yang penuh duka.

Tjita-tjita remadja yang menggelora sudah diteduhkan oleh kesadaran tak mungkin hidup hanja dari impian sadja. Adalah itu karena kesadaran jang menjentak sudah ada diambang pintu kepalitan. “Tiga Dara” dibuat dengan sembojan “Sekarang Tjari Uang dulu” . Terpudji atau tidak dari “Tiga Dara” kemenangan dimulai sedjak itu tidak adalah satu film Perfini jang flop atau gagal. Tadinja kami mentjari bioskop, sekarang bioskop mentjari kami, berlomba-lomba mentjumbu kami ibarat perawan tjantik jang diseleweri para djaka

Sebagai catatan “Tiga Dara” mendapat kehormatan ikut serta dalam Festival Film Venesia pada 1959 dan diputar dalam Piazzo del Cinema sore hari tanggal 26 Agustus 1959. Dalam seksi informasi ini karya Usmar ismail ini bersanding dengan William Wyler, Hitchock, Ingar Bergman. Panitya seleksi melihat “Tiga Dara” sewaktu diputar di Roma dan rupanya terkesan. Film itu tidak diberikan teks Bahasa Italia, namun lagu pembukaan sudah mengundang tepuk tangan penonton yang merasa tak asing dengan lagu itu. Dari pandangan Usmar Ismail jelas Tiga Dara juga punya potensi diterima di pasar global pada era itu.

Irvan Sjafari

Adegan Dalam Tiga Dara (kredit foto: www.muvila.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun