Bagi saya Tiga Dara adalah kemenangan mutlak neo priyayi. Kalau dulu didekati bangsawan atau pamongpraja Belanda adalah idaman para gadis, kalau sejak era 1950-an mahasiswa yang kuliah di universitas, perwira militer dan polisi, pegawai negeri fungsional (bukan birokrat), pegawai swasta, profesional lebih dipandang. Lagu “Pilih Menantu” yang dinyanyikan Chitra Dewi mencerminkan gambaran betapa banyak pilihan para gadis masa itu dan saya geli mendengar lirik: wartawan, ah tidak mau rahasia dapur bisa masuk Koran. Sutoto adalah pegawai yang mapan karena kerja keras, Herman mahasiswa Fakultas Hukum walau diledek Nana: bakal, bakal, bakal sarjana hukum. Itu mencerminkan betapa sulitnya menjadi sarjana masa itu. Namun yang terpenting: perempuan di kota mulai tidak mau dijodoh-jodohkan dan setidaknya ingin dilibatkan dalam mencari pasangan.
Secara sinematografi saya puas dengan hasil restorasi mendekati film baru walau hitam putih. Lima belas menit hingga dua puluh menit pertama hanya di ruangan tamu, keluarga dan kamar tempat tinggal keluarga Sukandar. Nyaris seperti menonton seperti sebuah teater broadway. Bahkan hampir separuh hingga dua pertiga film ini dalam ruangan. Adegan outdoor juga dengan musikal benar-benar memberikan saya gambaran Jakarta 1950-an. Interior depan Toko Tjiliwoeng, dalam areal Blok M tempat adegan tabrakan skuter masih ada sebagian wujudnya di depan Blok M Square saat ini. Begitu juga sebagian toko-toko di Melawai. Kebayoran adalah wilayah tempat kediaman ketiga dara itu masih sepi dan terasa nyaman. Saya melihat bangunan Toko Sambas di seberang rumah yang tak berpagar dan hampir serupa. Belum lagi adegan Netty dan Herman piknik di Clincing dengan jip, amboi masih bersih.
Dari segi departeman kasting, awalnya saya terpikat dengan Mieke Widjaja sebagai Nana. Dia menonjol sekali. Begitu juga Fifi Young sudah benar-benar menjadi nenek era masa itu. Namun di pertengahan cerita Indriati Iskak mulai mencuri perhatian saya. Aktingnya bahkan yang terbaik dari semua karakter film ini sekalipun ia pendatang baru. Artinya Usmar Ismail membuktikan dirinya sebagai sutradara yang jeli melihat bakatnya. Kalau saya jadi anak muda dan hidup di era itu saya akan jadi fans Indriati Iskak. Bagaimana cara ia menghidupkan Nenny untuk menyelesaikan masalah antar kakaknya begitu alami?
Dari segi tata musik Usmar Ismail melakukan berbagai terobosan, memadukan unsur musikal broadway film drama musikal Hollywood, bahkan unsur film bollywood juga ada, tetapi ciri ke Indonesiaannya tetap dipertahankan. Tidak tanggung-tanggung penyanyi populer masa itu Sam Saimun ikut menjadi penyumbang lagu. Kalau dari segi ide Little Women karya sastra klasik Amerika Serikat kemungkinan juga menjadi inspirasi. Usmar Ismail juga memasukan unsur Melayu yang juga menjadi latar belakang tempat dia berasal: Minangkabau.
Kalau ingin dibuatkan rangking dua puluh film Indonesia yang terbaik sejak era kemerdekaan hingga masa kini , menurut saya maka Tiga Dara adalah di antaranya. Wajar saja kalau Nia Di Nata membuat remake dengan era masa kini, karena dari segi cerita termasuk pendobrak. Jangan bandingkan dengan sinetron Indonesia saat ini. Yang membuat saya bertanya: kok begitu susah negeri ini bikin film cerita yang bagus seperti Tiga Dara , mendidik tetapi sekaligus juga punya pasar. Masalahnya di mana?
Tiga Dara Menurut Usmar Ismail
Saya beruntung bisa menemukan pandangan Usmar Ismail sendiri tentang Tiga Dara. Dalam sebuah tulisan yang dimuat di Pikiran Rakjat pada 15 Oktober 1959 Usmar Ismail menyinggung soal “Tiga Dara”. Film ini menghasilkan pendapatan kotor hampir Rp10 juta dan merupakan box office gross di Indonesia, juga box office di Singapura dan Malaya. Usmar mengakui bahwa pada mulanya di Perfini dalam membuat film tidak banyak ingat pada publik (selera penonton). Film pertama “Darah dan Doa” dengan cita-cita setinggi langit dengan semangat “Jangan kita turun kepublik, biar publik yang kita angkat untuk menghargai kita”. Antara “Darah dan Doa”, terdapat “Lewat DjamMalam”, “Harimau tjampa”, “Tamu Agung” dalam tujuh tahun yang penuh duka.
“Tjita-tjita remadja yang menggelora sudah diteduhkan oleh kesadaran tak mungkin hidup hanja dari impian sadja. Adalah itu karena kesadaran jang menjentak sudah ada diambang pintu kepalitan. “Tiga Dara” dibuat dengan sembojan “Sekarang Tjari Uang dulu” . Terpudji atau tidak dari “Tiga Dara” kemenangan dimulai sedjak itu tidak adalah satu film Perfini jang flop atau gagal. Tadinja kami mentjari bioskop, sekarang bioskop mentjari kami, berlomba-lomba mentjumbu kami ibarat perawan tjantik jang diseleweri para djaka”
Sebagai catatan “Tiga Dara” mendapat kehormatan ikut serta dalam Festival Film Venesia pada 1959 dan diputar dalam Piazzo del Cinema sore hari tanggal 26 Agustus 1959. Dalam seksi informasi ini karya Usmar ismail ini bersanding dengan William Wyler, Hitchock, Ingar Bergman. Panitya seleksi melihat “Tiga Dara” sewaktu diputar di Roma dan rupanya terkesan. Film itu tidak diberikan teks Bahasa Italia, namun lagu pembukaan sudah mengundang tepuk tangan penonton yang merasa tak asing dengan lagu itu. Dari pandangan Usmar Ismail jelas Tiga Dara juga punya potensi diterima di pasar global pada era itu.
Irvan Sjafari
Adegan Dalam Tiga Dara (kredit foto: www.muvila.com)