Namanya Elaeis Guineensis Jacq, terdengarnya bagi saya seperti nama gadis Perancis, tetapi sebetulnya nama latin tanaman bernama kelapa sawit. Tanaman dengan nama latin yang cantik ini ini menghasilkan minyak sawit merupakan minyak yang murah, mudah diproduksi, sangat stabil digunakan untuk berbagai variasi makanan, kosmetik, produk kebersihan bahkan sumber biofuel atau biodisel. Tanaman komditas ini memang cantik bagi perekonomian Indonesia, bukan saja penghasil devisa yang penting tetapi juga bagi jutaan orang Indonesia
Produksi minyak sawit dunia didominasi oleh Indonesia dan Malaysia, diperkirakan sekitar 85-90% dari total produksi minyak sawit dunia. Pada 2014, Indonesia memproduksi 33,5 juta ton minyak sawit, yang menghasilkan $ 18,9 miliar dari pendapatan ekspor. Dalam jangka panjang, permintaan dunia akan minyak sawit menunjukkan kecenderungan meningkat sejalan dengan jumlah populasi dunia yang bertumbuh dan karenanya meningkatkan konsumsi produk-produk dengan bahan baku minyak sawit.
Hampir 70% perkebunan kelapa sawit terletak di Sumatra, tempat industri ini dimulai sejak masa kolonial Belanda. Sebagian besar dari sisanya - sekitar 30% - berada di pulau Kalimantan. Menurut data dari Kementerian Pertanian Indonesia, jumlah total luas area perkebunan sawit di Indonesia pada saat ini mencapai sekitar 8 juta hektar; dua kali lipat dari luas area di tahun 2000 ketika sekitar 4 juta hektar lahan di Indonesia dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Jumlah ini diduga akan bertambah menjadi 13 juta hektar pada 2020.
Namun tidak semua orang di negeri ini mencintai si cantik Elaeis Guineensis Jacq. Itu antara lin karena si cantik ini adalah penyebab konflik, pelanggaran hak asasi manusia dan pencurian tanah masyarakat. Bagi pemerhati dan mereka yang peduli pada lingkungan hidup pembangunan kelapa sawit pemicu kebakaran hutan dan memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan iklim dan kesehatan manusia. Bahkan menjadi pemincu konflik antara perusahaan sawit dengan masyarakat adat.
Karena “si cantik ini” seorang perempuan Margaretha, 38 tahun berbicara berapi-api dalam Peringatan Hari International Masyarakat Adat Sedunia di Museum Nasional pada 8 Agustus 2016. Margaretha adalah salah satu dari 160 warga Semunying, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat yang tanah adatnya menjadi korban sebuah perusahaan kebun kelapa sawit. “Sebagai orang Dayak identitas kita dekat dengan hutan adat. Kami sulit untuk kembali menganyam rotan, sumber penghidupan kami sehari-hari,” kata perempuan kelahiran 1978 ini.
Perusahaan kelapa sawit itu telah melelakukan aktivitas perusahaan tanpa adanya sosialisasi ke masyarakat dan membabat Hutan Adat dengan cara membakar untuk proses land clearing yang di dalamnya terdapat Tembawang, tanam tumbuh, kuburan tua, sumber air bersih, situs keramat, dan bebagai jenis tanaman masyarakat lainnya menjadi sumber konflik di Semunying.
“Memangnya di Pemda dan DPRD Kabupaten Bengkayang tidak ada orang lokal dari Suku Dayak yang menaruh perhatian? Masa isu lokal sepenting ini tidak ada dari kalangan pemda dan DPRD yang membela?” Saya bertanya dengan cukup sengit. “Masa di masa reformasi dan Otonomi Daerah yang seharusnya juga memperhatikan masyarakat adat tidak membela?” Margaretha menjawab: Mereka juga banyak berasal dari Dayak, tetapi sebagian dari mereka membenci Semunying,” jawab Margaret pilu.
Konflik antara masyarakat adat dengan koorporasi atau keserakahan kapitalisme tidak saja di Indonesia. Dalam pemutaran film yang digelar dalam peringatan itu juga diputar film tentang perjuangan komunitas Suku Indian Ashaninka dari Peru melawan penebangan liar itu. Empat aktifis di antaranya bernama Edwin Chota disergap sekelompok orang bersenjata sedang dalam perjalanan ke Brasil dan mereka terbunuh dalam 2014. Mendengarkan cerita-cerita dan menonton film dalam acara ini memang membuat emosi.
Saya juga mendengarkan diskusi menarik di ruangan utama, antara lain dengan dengan Markon Mahin pendeta Kaharingan dari Kalimantan tentang perjuangan agama leluhur agar diakui di Indonesia. Penganut kaharingan menurut Marko juga punya kitab suci, Panaturan, dan buku agama lain, seperti Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), pemberkatan perkawinan, dan Buku Penyumpahan/Pengukuhan (untuk acara pengambilan sumpah/pengukuhan jabatan). Dalam obrolan Marko mengklaim bahwa kaharingan sebetulnya punya pengikut luas di propinsi Kalimantan tengah dan barat. Bagaimana dengan Suku Dayak di Kalimantan mayasia? “Lebih sulit, karena aturan di sana berbeda,” ucapnya.
Sebetulnya menurut saya tidak menjadi masalah besar soal kepercayaan leluhur ini menjadi agama untuk kasus Kaharingan atau daerah seperti Toraja. Namun resistensi lebih kuat saya kira akan terjadi untuk kasus kepercayaan di Jawa menjadi agama. Saya juga tertarik soal infrastuktur untuk mengakses daerah pedalaman yang tak kunjung beres di negeri. Seorang gadis Dayak yang mengobrol dengan saya mengaku menghabiskan antara Rp1-2 juta untuk bisa pergi ke Jakarta dari kampungnya di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Seingat saya biaya tak jauh beda dengan ongkos ke negeri jiran.
Sumber-sumber pendukung:
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/04/mengapa-kelapa-sawit-begitu-berkembang-di-indonesia
http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/09/140910_peru_tebang_liar
Foto-foto Dokumen Pribadi Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H