Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“De-Westernisasi” Gaya Hidup dan Seni Pertunjukkan di Kota Bandung Oktober 1959 -Januari 1960

8 Agustus 2016   11:45 Diperbarui: 8 Agustus 2016   11:57 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iklan pertunjukkan di Panti Karya (Irvan sjafari/repro pikiran rakjat)

Namun sebanyak 334 anak-anak usia di bawah 16 tahun kena razia karena keluyuran di bioskop dan Taman Senang.  Padahal sejak 19 November 1959  pihak kepolisian melarang anak-anak untuk keluyuran di atas pukul delapan malam tanpa didampingi orangtuanya. Anak-anak yang mencari nafkah sebagai tukang Koran pun ditangkap. Kebijakan itu dijalankan karena pada April hingga November 1959 terjadi 24 kasus kenakalan dan kriminal yang melibatkan anak-anak. Sebanyak 10 kasus di antaranya terjadi pada Oktober 1959, tujuh di antaranya pencurian.  Pihak Seksi Biro Anak kepolisian Bandung tidak menahan anak-anak dan hanya mengirimnya ke tempat penampungan anak.      

Pada malam tahun baru 1960 polisi juga menahan 80 kendaraan mobil dinas yang kena razia karena digunakan di luar jam dinas.

Nama-nama Barat Diganti

Kebijakan melarang dansa yang gila-gilaan ini menyusul anjuran untuk tidak lagi menggunakan nama-nama asing berbau Barat. Boetje Piters, warga Maluku di Bandung terperanjat: bukankah banyak nama-nama di Maluku yang menggunakan nama-nama baptis? Misalnya Petrus, Johannes, Nicholas? Bagaimana dengan nama Fatimah, Umar dan Usman dari Arab?  Bagaimana dengan nama-nama sansekerta? (Pikiran Rakjat, 2 November 1959)

Pergantian nama-nama sudah terjadi di Bandung.  Apotik De Vitjel di Jalan Dago 53 Bandung berganti nama Apotik Indevitra  sejak 25 September 1959.  Bioskop-bioskop utama di Kota Bandung merubah namanya dan pada Januari 1960 sudah disosialisasikan melalui iklan di surat kabar. Di kawasan alun-alun, Bioskop Varia dirubah namanya menjadi Nusantara. Nama yang kemudian terus digunakan hingga 1980-an.  Di sebelahnya juga di Jalan Alun-alun Timur, Elita Theater dirubah namanya menjadi Puspita.  Namun pada 1970-an kembali menjadi Elita.  Sementara Radio City berubah menjadi Dian Theater, nama yang terus berlaku hingga 1980-an.  Hingga sekarang hanya Dian yang bangunannya relatif utuh.

Di kawasan lain, Braga di mana terdapat  bioskop Majestic berubah namanya menjadi Dewi dan Braga Sky menjadi Pelangi.  Mungkin karena kurang komersial, nama kedua bioskop itu kembali seperti semula pada 1970-an hingga 1980-an.  Bangunan bioskop Majestic relatif utuh, seperti Dian Thater. Pada awal Januari 1960.    Nama bioskop lain yang berubah adalah Rivoli menjadi Fadjar, Texas menjadi Parahijangan dan Luxor menjadi Nirmala.

Ada juga warga Bandung yang menyambut “De-westernisasi” pada nama bioskop dengan menyerukan agar sektor lain juga diberlakukan hal yang sama. Sjafudin sastrawidjaja di jalan Nyland nomor 4 Bandung mengusulkan nama-nama jalan, seperti Westhoff, dr.Otten, Eykman, Nyland juga diganti.  Himawan warga Jalan dr. Slamet 17 Bandung  menginginkan tidak ada lagi nama-nama asing digunakan untuk toko-toko.   Tika Gastika, warga Gang Babakan (bbk) Tjiamis 12/113 Bandung  memprotes mengapa hanya nama-nama bioskop diganti padahal tidak terlalu berbau Barat, harusnya lapangan Uni dan Sidolig yang jeals singkatan nama Belanda tidak diganti.

Menyusul pergantian nama bioskop, pemerintah mengeluarkan kebijakan  mengurangi film asing di bioskop.  Jumlah film import rata-rata 700 judul per tahun dikurangi menjadi 275 judul saja.  Menurut Jen Haryanto dalam artikelnya di Pikiran Rakjat, 18 Januari 1960 kebijakan ini bisa memberikan kesempatan pada film Indonesia untuk mendominasi bioskop.  Film Indonesia dapat berkembang.  Kenyataan hingga Januari 1960  film-film Hollywood  seperti “Joan of Arc” yang dibintangi Ingrid Bregman, hingga film yang membuat Elizabeth Taylor mendapat Oscar pada 1958 berjudul  “Cat on A Hot Tin Roof” diputar di Kota Bandung.  Sekalipun film Indonesia dan negara Asia lainnya mulai mendapat kesempatan.  Film “Asrama Dara” juga ditonton warga Bandung dalam Januari 1960.  

Awak Februari 1960 muncul polemik baru lagi setelah dansa mulai terdesak. Balet mulai dipertanyakan apakah termasuk seni yang gila-gilaan. Tasdik, warga Jalan Djongdjolong nomor 61 Bandung menyebutkan balet mempunyai nilai seni sementara rock n roll tidak. Jadi kalau bernilai seni sesuai dengan orang Timur. “Coba bandingkan lulisan seorang hanya berpakaian hawa (tanpa pakaian) corretan seniman. Kita harus merasa beruntung kalau pemuda kita kerajingan balet? (Pikiran Rakjat, 4 Februari 1960).

Penampilan pelawak Yusuf dari Tasikmlaya yang meniru aktor Amerika Yul Bryner (botak)  dikecam Toha Purawinata warga Babakan Ciamis III/ 1 B yang mengkhawatirkan kalau dibiarkan akan menjadi perilaku yang negatif seperti fenomena crossboy pada 1957.  

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun