Pemindahan orang asing dari kota-kota kecamatan dan kewedanaaan terutama dari Tionghoa tidak berjalan mulus. Pada pertengahan November 1959 orang-orang asing di Kewedanaan Banjar dalam wilayah Kabupaten bandung menyatakan keberatannya dipindahkan. Dalam wilayah kewedanaan tersebut terdapat 216 keluarga Tionghoa, satu keluarga Belanda, lima keluarga berkebangsaan Pakistan, serta lima keluarga tidak berkebangsaan apa pun. Jumlah seluruh orang asing di Kewedanaan Banjar 1324 orang.
Pelaksanaan Kebijakan pemindahan warga asing semakin rumit ketika beberapa diplomat RRC terlibat. Pada 17 November 1959 Konsul RRC Ho An menggelar makan besar di sebuah rumah makan di kawasan Cianjur. Diplomat itu mengundang orang Tionghoa asing yang mendiami wilayah Cianjur. Akibatnya pelaksanaan pemindahan yang seharusnya terjadi pada 17 November 1959 tertunda.
Begitu juga pemindahan orang Tionghoa asing dari Ciranjang pada 18 November 1959 juga tertunda karena ikut campurnya Konsul Muda RRC Chou Chen Kwie dengan berkunjung ke Ciranjang. Chou Chen Kwie datang disertai oleh juru potret wanita dan seorang juru bahasa. Mereka juga membagi-bagikan bulletin.
Tindakan diplomat RRC itu menyinggung pihak militer di Jawa Barat. Juru Bicara peperda DST I Jawa Barat Mayor M. Nawawi Alif menyesalkan tindakan para diplomat RRC. Menurut Nawawi kepada Pikiran Rakjat 1 Desember 1959 rombongan konsul perdagangan RRC itu terdiri dari 6 orang laki-laki dewasa, 2 orang wanita dan 2 orang anak. Kepada petugas yang memeriksanya hari Sabtu 28 November 1959 mereka mengaku hanya beristirahat dan tak ada hubungannya dengan pemindahan orang asing dari tempat-tempat di luar ibukota kabupaten.
Rombongan Konsul Perdagangan diterima Peperda destamen I Jawa Barat dan diminta kembali ke Jakarta mengingat adanya peraturan peperda DTS I Jawa barat nomor 84. Namun karena hari sudah malam, mereka diperbolehkan berangkat minggu pagi. “Tidak diketahui maksud kedatangannya? Apakah mereka datang ke Cipanas tidak mengetahui adanya peraturan Peperda nomor 84/1959 atau bermaksus menguji ketegasan dan pelaksanaan peraturan itu? Namun yang terjadi malah Konsul Ho An pergi ke Cianjur bersama atase militer RRC. Mereka ditemukan petugas di Cianjur dan oleh petugas dipersilahkan pulang (Pikiran Rakjat, 2 Desember 1959).
Di kalangan parpol masa itu kebijakan ini mengundang pro dan kontra. PKI Jawa Barat menyebutkan harusnya peperda itu disesuaikan dengan pernyataan bersama yang pernah diadakan di Peking dengan menlu RRC beberapa waktu sebelumnya Namun Masyumi, NU dan PNI menyerukan agar WN asing di Indoensia tahu diri dan pandai menghormati peraturan dan adat istiadat tuan rumah. Wakil Ketua Masyumi Jawa Barat Syafei mengatakan pembangkangan WNA Tionghoa harus disikapi serius karena menyangkut nama baik dan kepribadian Indonesia.
Akhirnya pada 20 November 1959 Panglima Siliwangi R.A Kosasih sebagai Penguasa Perang Daerah DST I Jawa Barat mengeluarkan istruksi kepada seluruh penguasa perang di wilayahnya dengan keputusan No 84/11 berupa larangan seluruh anggota kedutaan RRC untuk masuk atau berada di daerah DST I Jawa Barat. Bahkan militer juga melarang warga asing yang datang sesudah 22 Oktober 1959 untuk tinggal di Kota Bandung.
Masalah Likuidasi Pedagang Asing Tionghoa tidak selesai dengan mudah sesuai dengan rencana. Di Kabupaten ciamis sebanyak 179 keluarga Tiongha asing (8740 jiwa) telah dipindahkan pada awal Desember 1959 dan total menjadi 227 keluarga atau 1342 jiwa. Letkol Djauhari penanggungjawab di kawasan ini menangkap dua orang pengurus perkumpulan CHTH yang dianggap menghalangi pelaksanaan peraturan. Disusul penangkapan 165 warga Tionghoa asing lainnya di kawasan Priangan Timur (Pikiran Rakyat, 3 Desember 1959).
Bagaimana kawasan lain? Hingga akhir November 1959 sebanyak 43 keluarga (lebih dari 250 jiwa) di dalam wilayah Kabupaten Sumedang dipindahkan ke kota. Di kawasan ini Tionghoa asing terpecah antara mereka yang berafiliasi ke Kounchantang atau RRC dan mereka yang memihak Koumintang (Taiwan).
Di Tasikmalaya 26 keluarga atau 183 jiwa dilaporkan pindah ke ibukota kabupaten. Mayor Nawani Alif mendapatkan laporan bahwa ada pelaksanaan pemidahan di Ciparai diwarnai isak tangis anak-anak yang khawatri bapaknya akan dibunuh. Padahal kabar itu tidak benar. Orang-orang yang melakukan penghasutan ditangap.
“Tangkap dan tahan setiap orang asing yang tidak taat keputusan!” teriak Panglima Ketua Penguasa Perang Perang Daearah Swatantra I Jawa Barat Kolonel Kosasih. Merujuk Peperpu nomor 039/4 Mei 1959 Panglima Perang mempunuai wewenang untuk menentukan seluruh atau sebagian dari daerah hukumnya sebagai daerah tertutup bagi orang asing.