Saya menonton film Bangkit dengan kesadaran bahwa dari segi teknologi, baik CGI (Computer-Generated Imagery), 3D, teknologi editing, special effects sineas Indonesia masih di bawah film Hollywood bahkan dengan sineas Korea sekalipun. Jadi kalau luluh lantaknya Jakarta akibat bencana banjir plus gempa bumi dalam film ini masih di bawah film bencana San Andreas, The Day After Tommorow, apalagi 2012, tidak saya persoalkan. Bahkan saya mengacungkan jempol pada sineas yang berani dan menjadi pelopor memproduksi film yang sangat membutuhkan teknologi dan saya yakin film berikutnya yang mengangkat sosok komik hero Indonesia, Gundala Putera Petir yang disutradarai Hanung Bramantyo, yang menurut promosinya juga meluluh lantakan Jakarta bisa lebih baik. Saya percaya film Indonesia meningkat pelan-pelan.
Saya tak mempersoalkan dari segi sinematografi ketika Jakarta dihantam banjir dan kemudian gempa yang membuat bangunan pencakar langit, jembatan layang runtuh berikut mobil-mobilnya. Sekalipun masih kasar sudah jauh lebih baik dari Garuda, film super hero beberapa tahun lalu dengan adegan kehancuran, The Guardian film thriller dalam suatu adegannya mobil terlontar dari Jembatan Semanggi dan dihantam Bus Transjakarta, lengkap dengan kereta api monorel dan saya belum melihat apakah ada film dari negara tetangga atau film Bollywood melakukan terobosan seperti sineas Indonesia.
Dari segi sinematografi, ada beberapa adegan yang saya anggap patut diberi poin karena keberanian imajinasi sang sutradara. Di antaranya adegan runtuhnya jalan layang berikut gedung pencakar langit, di mana salah satu tokohnya Denanda (Acha Septriasa) menyetir menghindar mobil lain dan balok yang berjatuhan, sekaligus berpacu dari jalan yang runtuh dengan kecepatan tinggi. Bagaimana eskpresi kegentaran Acha, serta Putri Ayudya serta Dwi, seorang tokoh anak-anak, serta seorang kakek dalam tokoh bernama Pongky Irawan lumayan pas. Adegan ini cukup panjang mungkin sekitar sepuluh atau lima belas menit dari berbagai angle, termasuk meledaknya pabrik-pabrik.
Adegan lain ketika Adri (Vino G Bastian) menyuruh istrinya (Putri Ayudya), serta dua anaknya Eka dan Dwi naik ke lantai dua ketika banjir mulai menyapu ruang tamu dan akhirnya naik lonteng. Dari atas air sudah membenamkan lingkungannya. Adri sebagai petugas SAR tak tinggal diam menyaksikan seorang anak kecil hanyut dan akhirnya ia terjun menyelamatkan anak itu. Malangnya, bangunan rumahnya runtuh dan Eka anaknya terjatuh dan dihanyutkan banjir. Eka kemudian ditemukan tewas. Itu artinya Adri berhasil menyelamatkan sang anak, tetapi tidak bisa menyelamatkan anaknya sendiri. Tragis.
Begitu juga dengan adegan penyelamatan dalam basement gedung bertingkat yang terendam air tampaknya diambil dari kisah nyata banjir di Jakarta beberapa tahun silam. Betapa mengerikannya terjebak dalam basement terendam air. Adegan ini begitu mencekam. Tentu sulit mengambil gambar di ruang sempit. Sekalipun adegan-adegan juga dalam film bencana Hollywood, tetapi berhasil disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Termasuk juga sedikit kepahlawanan yang dilakukan anak kecil mengingatkan saya pada film San Andreas.
Bencananya Kurang Orang
Kritik saya untuk sinematografi bukan dari segi teknik dan inovasinya, tetapi film ini kurang banyak orang. Adegan keruntuhan jembatan layang hanya melibatkan sedikit orang. Lalu adegan sambungannya ketika mobil turun, pengemudi dan penumpang metro mini dan mobil-mobil tidak memperlihatkan rasa panik padahal sudah mengalami bencana begitu besar. Bahkan lalu lalang Trans Jakarta dan kereta api ketika bencana tidak terlihat (atau mungkin terlewat oleh saya).
Saya tak membayangkan kalau bencana seperti itu terjadi di Jakarta, bukan saja pengemudi mobil yang lari tunggang langgang, tetapi warga dari pemukiman, jalan akan stagnan dan chaos luar biasa. Begitu juga ketika hanya seorang anak yang hanyut ketika banjir menghajar pemukiman tempat tokoh utamanya tinggal, ke mana orang-orang lain? Bisa saja budget film ini terbatas menjadi kendala. Berapa biaya yang haru dikeluarkan karena teknologinya saja biayanya mahal.
Pertanyaan lain ialah apakah tokoh-tokoh utamanya tidak punya saudara lain. Masa Dokter Denanda yang katanya punya ayah dan ibu hanya di gereja ketika hendak menikahkan anaknya yang gagal dengan Arifin, tokoh lain, tetapi dalam bencana menghilang dan mendadak jadi saling tidak peduli. Dokter itu sepertinya hanya kontak dengan kekasihnya.
Begitu juga adegan di kamp pengungsian tidak terlalu banyak orang. Adegan itu diambil di lapangan dengan latar belakang gedung, padahal dengan bencana banjir awal saja seharusnya sudah ribuan orang di suatu titik. Pengalaman 2007 seharusnya bisa dijadikan referensi. Kemudian tim SAR-nya begitu sedikit orang, juga tentara terlibat. Mustahil bencana besar di ibukota, tentara tidak turun. Kemudian para ekspatriat ke mana? Lubang lain ketika banjir menghantam pintu air Manggarai di belakang para tokoh berdiri lalu lintas berjalan seperti biasa. Pas sesudah adegan bencana kedua alias banjir plus gempa bumi, mustahil orang berani keluar.
Lubang lain ialah tokoh Gubernur DKI Jakarta yang berpakaian jas dan dasi dan tidak tampak turun ke lapangan. Gubernur hanya berdiskusi dengan Arifin (Deva Mahenra), Dicky (Ferry Salim) dari dinas metreologi dan ahli BPPT. Presiden dan para menteri, serta pejabat lan tidak tampak batang hidungnya hanya pembicaraan pada peristiwa bencana yang luar biasa. Come On Rako, masa mereka tidak turun?
Kemudian ketika keberadaan terowongan (tentunya fiktif) yang menurut Profesor Pongky Irawan, sejarawan dalam film ini yang ceritanya sudah sejak zaman penjajahan menghubungkan Meester Cornelis, Museum Fatahillah, Masjid Istqal, Stasiun Manggarai hingga laut tampak begitu bersih. Pemandangannya mengingatkan saya pada gua Belanda di Dago Pakar, Taman Hutan Raya Djuanda Bandung. Masa iya lorong yang tidak diketahui keberadaannya tampak bersih, tidak ada binatang, kemudian terkunci dan berterali yang mudah dibuka? Kemudian ketika para tokoh utamanya tiba di Tanjung Priuk suasananya aman-aman saja. Masa gempa bumi sebesar itu tidak memberikan dampak apa-apa pada Tanjung Priuk? Pertanyaan lain memangnya kota di Indonesia hanya Jakarta?
Cerita Lebay
Dari segi cerita “lebay”, kata bahasa gaulnya. Seorang Denanda, seorang dokter bersama keluarganya menunggu di gereja terendam banjir, masa tidak bisa menduga bahwa tunangannya kemungkinan juga menghadapi kendala banjir? Apalagi adegan akhir yang sangat lebay yang membuat saya malas mendengar dialog sepasang kekasih itu. Cerita Adri yang tidak bisa melihat anaknya Eka tampil dalam pertunjukkan resistal piano karena kesibukannya sebagai anggota SAR mungkin terinspirasi film Hollywood. Oh, ya mungkin karena referensinya film Hollywood, tokoh-tokohnya mirip tokoh-tokoh di Amerika yang cenderung individualis dan kekerabatan yang luas khas Indonesia tidak terasa.
Dari departemen kasting, Putri Ayudya saya beri ekspetasi tinggi sebagak aktris yang berangkat dari teater. Emosinya turun naik, terutama dalam adegan sebagai ibu yang kehilangan anaknya. “Aku yang kehilangan, bukan kamu yang kehilangan,” kata-katanya dingin menusuk sang suami dan juga saya sebagai penonton. Dibanding tokoh-tokoh lain, aktris ini rela tampak kumuh setelah mengalami bencana. Bahkan petugas SAR pun terlihat bersih (sempat mandi dari mana?).
Vino G Bastian dan Acha Septriasa lumayan, tetapi bukan penampilan terbaik mereka. Deva Mahenra masih terlalu “anak-anak” untuk jadi karakter ahli metereologi yang punya kecerdasan maping dan juga sebagai tunangan seorang perempuan dewasa. Dia tampak seperti adiknya Acha Septriasa daripada kekasih. Pemeran Eka dan Dwi, serta Opa Pongky Irawan malah lebih natural, walau saya tidak kenal mereka.
Terlepas dari banyak kekurangan, para sineas film ini patut diberi acungan jempol.
---
Judul Film : Bangkit
Sutradara : Rako Prijanto
Bintang : Vino G Bastian, Putri Ayudya, Deva Mahenra, Acha Septriasa
Rated : **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H