Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Kehilangan dan Berharap Menemukan Kembali Jakarta

26 Juni 2016   14:40 Diperbarui: 27 Juni 2016   15:08 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Jakarta 1970-an : masih nyaman (kredit foto https://abe.revues.org)

Saya lahir di Jakarta ketika Orde Baru masih berusia bayi. Saya tinggal bersama orangtua saya berpindah-pindah, mulanya di Kebayoran bersama Kakak Ibu, kemudian sempat tinggal dirumah kontrakan Rawamangun, kembali mengontrak di Kebayoran dan akhirnya orangtua mempunyai rumah sendiri di kawasan Tebet di mana saya tinggal sampai menamatkan SMP kemudian baru pindah ke Cinere kira-kira pada 1983.

Ada beberapa tempat yang mempunyai kenangan yang manis selama berpindah-pindah tempat itu. Menurut cerita ibu, saya dilahirkan di rumah sakit bersalin di kawasan Hang Tua, Kebayoran. Saya melewatkan Taman Kanan-kanak di Jalan Ciranjang yang hanya lima ratus dari rumah kakak ibu di Jalan Cipanas dimana kami menumpang. Dari TK saya dijemput Ibu atau (beberapa kali) dijemput oleh seorang sepupu saya yang sudah duduk di bangku SD. Kami pulang pergi naik becak dan terkadang jalan kaki.

Kemudian ketika tinggal di rumah kontrakan, yaitu sebuah paviliun di Cipaku praktis hanya naik becak. Apa yang menarik? Rumah Kakak Ibu di Cipanas hanya berpagar sebagian, sehingga orang bebas masuk halaman. Seingat saya ada pohon mangga dan pohon belimbing. Rumah di Cipaku lebih luas halamannya dan hanya berpagar sebagian, ada pohon rambutan yang banyak semutnya. Walaupun tinggal di rumah yang begitu mudah orang masuk ke halaman, tetapi aman. Kami tidak pernah mengalami  tindakan kejahatan. Hubungan antar tetangga di Jalan Cipanas harmonis dan saling kenal-mengenal.

Sayang saya kehilangan sebuah tempat bersejarah bagi saya, yaitu Taman Kanak-kanak yang hilang ditelan keserakahan pembangunan puluhan tahun kemudian. Sekarang sukar ditemukan di Jakarta pemukiman, terutama yang bukan kompleks cluster yang tidak berpagar. Bahkan pasca 1998 pagar di sebagian pemukiman dibuat kian tinggi. Pada 2000-an beberapa jalan dipasang portal. Ketika saya ke rumah kakak ibu saya pada 2000-an bahkan tidak mengenali jalan masuknya. Pernah tersasar. Beberapa rumah gedung berdiri, tetapi rasa aman dan percaya pada lingkungan sekitar hilang.

Sewaktu tinggal di Tebet, kami tinggal di kawasan perkampungan. Jakarta awal 1970-an masih merupakan The Big Village yang sedang mengalami transformasi di bawah Gubernur Ali Sadikin. Sewaktu saya duduk di bangku SD bersama adik saya di kawasan Bukit Duri berjarak sekitar dua atau tiga kilometer dari rumah. Mulanya kami dijemput oleh ibu naik becak, tetapi kemudian berapa kali pulang berdua saja dengan becak yang sudah jadi langganan. Kerap kami pulang dengan teman-teman berjalan kaki, terutama ketika duduk di kelas 5 hingga kelas 6 SD.

Apa yang menarik? Rasa aman dan percaya pada lingkungan masih ada. Saya mengenal tetangga saya yang ada di lingkungan RW dan kerap bermain bersama dengan kawan-kawan yang sepantar. Begitu juga dengan teman-teman SD kalau mereka main ke rumah. Yang paling kami gemari ialah main perang-perangan dengan pistol air dari rumah ke rumah, kejar-kejaran gang ke gang. Main layanngan merupakan permainan yang lazim karena masih banyak lapangan. Dengan tetangga kami taraweh bersama di masjid yang berjarak sekitar satu kilometer. Dalam berapa kali lebaran anak-anak suka keliling (termasuk saya) dari rumah ke rumah bergantian dapat salam tempel, berupa uang recehan. Bahkan ada yang tidak kenal ikut gabung.

Seingat saya di kampung kami ada kriminal tinggal, tetapi rumah kami tidak pernah kemalingan. Begitu juga sekitarnya. Belakangan saya baru tahu dari tokoh Betawi, Ridwan Saidi  yang pernah menyebutkan tentang “kode etik" berlaku di tanah  Betawi: Jangan berak di kampung. Maksudnya walau seorang  jagoan atau begajulan, dia tidak akan membuat onar di kampungnya, biasanya di “kampung” lain. Kampung saya di Tebet didominasi orang Betawi. Belakangan sewaktu saya kuliah  para bandit sosial tidak akan beraksi di kampungnya. Penelusuran saya pada koran 1890-an  Pitung  melakukan aksinya jauh dari kampungnya di Rawa Belong. 

Tempat bermain anak-anak masih banyak. Seingat saya, teman-teman SD termasuk saya dan adik saya skerap bermain bola di lapangan Menara Air, Manggarai yang masih luas. Kalau di kampung ada lapangan bola lebih kecil. SD kami satu kompleks dengan SD lain mempunyai lapangan luas, juga bisa digunakan main bola, main kasti hingga main bentengan. Sewaktu duduk di kelas 5 atau kelas 6 berapa kali ada kegiatan masak-masakan. Biasanya anak perempuan masak dan anak laki-laki mempersiapkan tempat. Di depan sekolah ada tukang bakso namanya Bang Ali, semangkok waktu itu Rp25 dan sebelahnya ada tukang bubur dan tukang minuman seharga Rp5 per gelas.

Ada berapa kenakalan tetapi masih wajar. Seingat saya tontonan di TVRI untuk anak-anak masih sehat hingga tindak kekerasan bisa dihitung dengan jari. Saya crosscheck dengan berita suratkabar pada 1970-an (ketika sudah jadi jurnalis) tawuran antar pelajar sudah mulai ada dalam arti mengkhawatirkan, tetapi hanya ada di lingkungan Kebayoran antar SMA sekitar Blok M. Sampai sekarang saya gagal faham mengapa sekolah-sekolah di lingkungan itu kerap tawuran selama puluhan tahun.

Kedekatan lokasi seharusnya tidak jadi alasan. Kok di Bandung tidak terjadi? Bukankah SMA 3, SMA 5 Bandung juga berdekatan? Kok aman-aman saja hingga kini bahkan keduanya sekolah favorit. Apakah ada masalah di struktur sosial murid-murid sekolah? Apakah ada persoalan ruang terbuka? Kawasan Kebayoran memang mulai komersil terutama setelah adanya New Garden Hall dan Aldiron Plaza di Blok M. Sementara tidak ada mal atau kawasan komersial dalam radius satu kilometer di Jalan Belitung Bandung. Jangan lupa jumlah taman di Bandung yang bisa diakses publik masih banyak dan ada Taman hutan Raya di Dago Pakar atau Babakan Siliwangi.

Sewaktu saya duduk di bangku SMP sekitar 1980 rasa aman mulai berkurang. Bisa-bisanya alumni sekolah saya waktu itu atau preman melompat pagar malak anak sekolah ketika waktu ekstra kurikuler. Bully dan kekerasan antar pelajar mulai kerap terjadi dan saya juga mengalami jadi korban. Video sudah dikenal dan konten dewasa bisa ditonton remaja di bawah umur dengan bebas. Sekalipun anak SMP masih aman naik bis misalnya saya dan teman-teman SMP berenang di Bulungan. Lapangan bermain sejak 1980-an pelan-pelan menghilang dan mulai dikenal apa yang disebut mal. Pemukiman eksluklusif seperti Pondok Indah sudah mapan. Tingkat kriminalitas mulai tinggi dan sempat diredam dengan apa yang disebut petrus.

Bioskop Megaria 1975: Becak masih melintas (kredit foto http://uniqpost.com)
Bioskop Megaria 1975: Becak masih melintas (kredit foto http://uniqpost.com)
Orangtua kemudian pindah ke kawasan Cinere, daerah kompleks di mana kami hanya kenal dengan tetangga terbatas. Pagar-pagar mulai tinggi. Sekalipun masuk wilayah Kabupaten Bogor, saya dan adik saya memilih SMA di Pasar Minggu di mana masih kuat kultur sosial anak pinggirnya. Tawuran sekali-sekali terjadi tetapi tidak semasif di wilayah lain. Masih ada tempat bermain bola. Kegiatan ekstra kurikuler Pramuka,Pencinta Alam dan PMR masih banyak penggemarnya. Tetapi setalah 1990-an saya dengar Pramuka sudah bubar dan PMR menyusut. Kegiatan kesenian makin berkibar. Di sekolah lain cheerleader bermunculan. Mall dan bangunan komersial menggerus ruang terbuka hijau. Televisi swasta bermunculan dan mungkin ada hubungannya dengan perubahan perilaku remaja bahkan anak tingkat SD. 

Namun yang mengkhawatir dengan menghilangnya lapangan terbuka untuk bermain bola atau aktifitas fisik, warung internet diserbu anak-anak bahkan tingkat SD untuk main game dengan gila-gilaan hingga lima jam. Di sebuah warnet di kawasan Pondok Labu sampai ada ibu yang mencak-mencak mencari anaknya yang lupa salat ashar. Masih bagus anak-anak itu hanya main game. Di tempat lain nongkrong tidak karuan dan entah kegiatan apa. Dari segi kesehatan ada efek lain, anak-anak dengan kasus obesitas makin bermunculan karena kurang gerak. Pornografi bisa diakses anak-anak karena perubahan teknologi. Begitu juga dengan narkoba dan minuman keras sudah sampai tingkat SD.

Meskipun harus dibuktikan tetapi saya yakin hilangnya lapangan terbuka untuk bermain (bukan hanya sekadar taman) untuk interaksi publik menyumbang masalah sosial. Paling tidak anak-anak usia SD hingga SMA sedang mencari jati diri dan membuktikan dirinya. Tetapi saluran pembuktian jati diri berkurang. Di sisi lain melepas anak-anak di ruang publik tidak mudah karena rasa percaya makin memudar dan menunju masyarkat paranoid sudah mulai terjadi, dengan beberapa kali kasus pemerkosaan.

Kasus tawuran antar kampung masih kerap terjadi. Benda-benda yang digunakan dalam tawuran bisa mematikan dan menimbulkan kerusakan. Yang juga mengesalkan begitu buasnya supporter sepakbola mencegat kendaraan di jalan dan tidak menyadari bahwa tindakan mereka bisa membahayakan nyawa, bahkan pada orang yang tidak pernah menonton sepakbola sekali pun. Kawan saya bilang bahwa masyarakat sekarang sudah cerdas. Saya bertanya cerdas apanya? Yang kritis itu (dalam politik) itu kebanyakan datang dari mereka yang aktif di media sosial dan bukan pada grass root. Itu Jakarta.

Harapan saya untuk Jakarta apakah Ahok (atau siapa pun gubernur) bisa mengembalikan rasa aman publik, ruang terbuka untuk interaksi publik? Tempat rekreasi yang murah kalau perlu gratis lebih banyak dibuka untuk meredam stress atas tekanan hidup.

Keberhasilan dan Tantangannya

Sayang saya tidak tinggal di Jakarta, tetapi saya mendengar dan menyimak dari media sosial bahwa kawan-kawan saya puas dengan pelayanan publik dari birokrat. Sidak mendadak, lelang jabatan, sewaktu-waktu bisa dicopot merupakan tradisi baru memecut perilaku birokrat. Beberapa fasilitas kesehatan milik Pemprov DKI Jakarta diperbaki, RSUD Pasarminggu mirip rumah sakit swasta. Taman-taman di beberapa tempat sudah diperbaiki. Penggusuran Kalijodo sudah merupakan langkah yang tepat karena lebih banyak mudaratnya.

Namun yang saya rasakan ialah Transjakarta sekalipun belum sempurna, tetapi bisa dibaca arahnya, hanya dengan Rp3500 bisa keliling Jakarta. Naik Transjakarta cenderung lebih aman dibanding kendaraan umum lain adalah keniscayaan. Setidaknya tidak akan ada yang naik Transjakarta mengaku baru keluar dari penjara dengan tattoo yang ditonjolkan. Metromini memang sedang memasuki senjakala dan kehadiran mereka masih diperlukan di rute tertentu, seperti Pondok Labu-Blok M. Tetapi ketika jalur itu juga disentuh Trans Jakarta atau MRT selesai dan harga tiket Rp3500 di bawah ongkos Metromini apalagi angkutan umum lain: maka hukum pasar berlaku.

Soal kemacetan atau banjir saya kira bukan hanya tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta (itu juga terjadi di Bandung). Banyaknya jumlah mobil dan motor karena kebijakan pemerintah pusat yang mempermudah satu rumah bisa memiliki lebih dari beberapa mobil dan sistem yang membuat orang membawa pulang motor tanpa Down payment (DP) dan kenyataannya dengan motor lebih irit merupakan persoalan untuk membuat orang beralih ke kendaraan umum.

Buat sistem yang membuat hitung-hitungan ekonomis naik kendaraan umum lebih murah dibanding naik kendaraan pribadi secara jauh? Selain Transjakarta, angkot atau mikrolet disubsidi suku cadangnya dan bensinnya (dengan hitungan pas agar tidak dimainkan oleh pemilik angkot atau mikrolet) agar kalau bisa naik angkot jauh dekat Rp2000. Tentunya juga keamanan dan kenyamanan di angkot. Kalau memang ambil semua.

Namun ada persoalan lain, yaitu budaya yang menempatkan orang yang naik kendaraan pribadi lebih terhormat dibanding naik kendaraan umum sudah terlanjur tertanam. Jujur saja, kalau Anda adalah orangtua yang punya anak gadis, mana yang lebih dipandang teman laki-lakinya yang datang dengan mobil atau jalan kaki alias naik kendaraan umum? Ada yang bilang tidak, tetapi berapa banyak? Marketing perusahaan lebih dihormati kalau punya kendaraan sendiri dibanding naik kendaraan umum. Belum lagi sinetron Indonesia kontemporer yang menempatkan tokoh-tokohnya naik kendaraan pribadi.

Banjir? Siapa suruh Ruang Terbuka Hijau digerogoti keserakahan kota? Saya khawatir seperti terjadi di Bandung ada benturan wewenang antar pemprov dan pemerintah pusat soal keberadaan mal. Apalagi Jakarta adalah ibukota. Pemprov DKI Jakarta hanya bisa meminimalisir banjir dengan memperbaiki sungai dan saluran air (yang di Kelapa Gading saja terjadi benturan kepentingan mana lahan milik pengembang dan mana lahan pemprov). Untuk itu upaya minimalisir saya kira sudah banyak perbaikan. Soal persoalan di hulu sungai itu juga persoalan berbagai kepentingan.

Dua persoalan besar itu saya kira tidak akan bisa diatasi oleh Pemprov DKI Jakarta siapa pun gubernurnya tanpa didukung pemerintah pusat atau kebijakan politik di DPR.

Irvan Sjafari

Jakarta 1970-an (Kredit foto)

Bioskop Megaria 1975 (Kredit foto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun