Akhir Juni 1959 pemerintah tidak akan memberikan izin kepada pengusaha importir film ke Indonesia. Menurut Ketua Dewan Film Indonesia, Kolonel Rudy Pringadie, keputusan ini diambil mengingatkan devisen negara. Kalau keputusan ini dilaksanakan maka pada tahun selanjutnya penonton bioskop di Indonesia tidak bisa menyaksikan film asing. Namun hingga Juli 1959 tayang beberapa film Hollywood seperti film horor monster luar angkasa Blob yang dibintangi Steve McQueen, The Brave One, The Son of Robin Hood, hingga Rock A Bye Baby dibintangi Jerry lewis. Dalam Agustus 1959 film-film berkualitas seperti The Sun Also Rises dibintangi Ava Gadner dari novel Ernest Hemingway bisa disaksikan penonton di bioskop oriental, juga film tentang tenggelamnya kapal Titanic, A Night to Remember di Elita dan Braga Sky.
Titin Sumarni: Ketika Berita Ranah Privat Menjadi Ranah Publik untuk Pertama Kalinya
Permasalahan politik dan ekonomi yang carut marut begitu dominan pada 1959 menjadi headline surat kabar di Kota Bandung, sekali-sekali tentang sepak bola. Tetapi tentang seorang artis hanya muncul empat hari berturut-turut pada minggu kedua Agustus 1959 dan hanya menyangkut satu artis bernama Titin Sumarni. Mungkin karena bosan dengan perilaku elit politik dan gonjang-ganjing perekonomian, pasti berita gosip dan sensasional lantas menjadi setaraf infotainment pada masa sekarang. Pengakuan Titin Sumarni yang sudah bersuami mengungkapkan perselingkuhannya dengan seorang pengusaha di Kota Bandung membuat gempar warga kota.
Setibanya di pertigaan Jalan Raya Barat dan Jalan Garuda, seorang polisi bernama Ajun Inspektur Polisi I M.Dardja Kartapradja menahan Titien dan mendapatkannya tidak mengenakan sepatu atau selop. Titin menolak ditahan, “Mengapa saya ditahan, saya bukan pencuri, saya cuma akan gerak badan!” cetusnya. Tetapi akhirnya Titin bersedia diangkut ke sebuah mobil barang dan diantar ke rumah familinya sekitar pukul tujuh malam. Massa yang mengarak Titin menyebutnya sedang dalam masalah berat.
Wartawan pun mencari tahu masalah. Rupanya Titin minta pertanggungjawaban seorang pengusaha dan pemborong terkemuka di Kota Bandung yang awalnya oleh Pikiran Rakjat diberi inisial MAJ. Pengusaha ini merusak rumah tangga Titin dengan seorang pejabat di Jawa Timur. Titin mengaku melahirkan anak bernama Tina namun hanya berumur tiga hari. Pengusaha bernama MAJ ini menganjurkan Titin meminta cerai pada suaminya. Ketika itu terjadi ia datang ke Bandung untuk minta pertanggungjawaban MAJ.
Kasus ini langsung ditangani Kepala Reserse Kriminal Keresidenan Priangan Komisaris RA Soedjalna Soeria Drajat yang meminta Titin tidak mengumbar kepada pers dan kasus ditangani pihak berwajib. Pikiran Rakjat 13 Agustus 1959 membuka identitas MAJ, yaitu Muhamad Jahja Ali (memang sengaja dibalik inisialnya) mengadakan konferensi pers pada 12 Agustus 1959 setelah bungkam selama 3 hari. Jahja hanya membenarkan bahwa ia mengenal Titin di Surabaya pada 1939 ketika bekerja di HBM, ketika Titin masih berumur tujuh tahun. Dia berjumpa lagi dengan Titin pada Desember 1958 di Studio PERSARI Jakarta. Namun Jahja membantah mempunyai anak dengan Titin.
Ketua BP4 Jawa Barat Abdul Rauf Hamidie pada Pikiran Rakjat 14 Agustus 1959 mengecam perilaku Titin Sumarni dan MAJ sebagai pelanggaran berat hukum perkawinan dan merupakan persoalan perzinahan, yang bila hukum Islam diterapkan, maka keduanya bisa dikenai rajam. Dia mengkhawatirkan suatu ketika persoalan perselingkuhan yang begitu terbuka ini akan dianggap persoalan biasa. Namun surat kabar lebih mengkhawatirkan kasus ini bisa menjadi contoh bagi para gadis.
Arti penting kasus Titin Sumarni sebetulnya bukanlah pada sensasi, tetapi terletak bahwa kasus ini menandakan ada beberapa perubahan perilaku sosial. Untuk pertama kalinya perempuan berani secara terbuka menuntut pertanggungjawaban laki-laki dengan menggunakan media massa. Dia melakukannya seorang diri di tengah masih nilai-nilai Timur, mendobrak budaya patriarki. Sekalipun pihak laki-laki (yang menjadi tokoh publik juga) bisa mengelak, tetapi pemberitaan pers membuat pencitraannya di publik berubah.
Untuk pertama kalinya media massa konvensional dihadapkan dengan dilema apakah urusan privat layak menjadi urusan publik. Mereka ikut menyebarkan pergeseran nilai. Bandung tampaknya yang pertama mengalami perubahan itu.
Irvan Sjafari