Aisyah tertengun ketika suatu malam pada Bulan Ramadhan di sebuah dusun, kawasan Atambua, Timor, Nusa Tenggara Timur, namanya dipanggil. Di luar, para Mama sudah berkumpul. Ada yang menyerahkan satu kantung plastik uang, ada pula yang dibungkus dalam secarik kain. Seorang murid sekolahnya, Siku Tavarez (Dionisius Rivaldo Moruk) memberikan uang beberapa lembar lima puluh ribuan. “Uang hasil penjualan kain dari Mama agar Ibu Guru Aisyah bisa pulang saat lebaran!”
Itulah salah satu scene dahsyat dari film berjudul Aisyah : Biarkan Kami Bersaudara. Bukan saja air mata Aisyah (Laudya Cynthia Bella) yang menetes, tetapi air mata saya sebagai penonton juga tak tertahankan. Begitu juga penonton di sebelah saya, dua gadis berhijab. Matanya juga berkaca-kaca dibuatnya. Mama-mama yang hidup di daerah miskin itu patungan agar ibu guru yang mereka sayangi bisa merayakan Lebaran di kampungnya di Ciwidey, Jawa Barat, sekali pun Aisyah ikhlas tidak bisa pulang Lebaran.
Aisyah memang tidak punya ongkos yang cukup karena saat Lebaran tiket naik seratus persen. Hal ini juga sekaligus mengungkapkan betapa karut-marutnya infrastruktur dan sistem transportasi di Indonesia sampai saat ini. Masa biaya tiket pesawat ke Indonesia Timur lebih mahal daripada ke luar negeri? Sekian puluh tahun merdeka transportasi masih mahal dan masih ada daerah yang tidak punya listrik?
Film inspiratif karya Herwin Novianto ini bercerita tentang seorang sarjana pendidikan berhijab berasal dari sebuah Kampung di kawasan Ciwidey, Jawa Barat melamar menjadi guru pada sebuah yayasan. Aisyah digambarkan tinggal bersama ibunya (Lidya Kandouw) karena ayahnya sudah meninggal. Aisyah kemudian mendapat tugas mengajar murid-murid SD kelas jauh di dusun Derok, di dekat kota Atambua, NTT—serta berbatasan dengan negara Timor Leste. Dia juga berjauhan kawan pria yang dekat dengannya Jaya (Ge Pamungkas) yang mengaku mendapat tugas ke Aceh.
Sinematografi film ini sejak awal bagus. Kontras panorama alam Priangan yang hijau dengan hamparan kebun teh dibandingkan dengan alam NTT yang kering kerontang dengan suhu yang mungkin saja mencapai 40 derajat. Bagaimana susahnya Aisyah menunggu Pedro (Arie Kriting) seorang sopir yang ditugaskan menjemputnya. Ketika ia datang ke Dusun Derok disambut dengan tarian adat dan panggilan 'Suster Maria'. Pingsanlah Aisyah. Warga dusun itu semuanya penganut Katolik.
Kepala Dusun (Deky Liniard Seo) digambarkan bijaksana. Dia membantu ketika Aisyah mendapat tantangan dari murid-muridnya karena salah seorang di antara mereka Lordis (Agung Isya Almasie Benu) yang enggan diajar oleh Aisyah memprovokasi akwan-kawannya. Kecuali Lordis sendiri, lambat laun anak-anak lain dapat menerima Aisyah sebagai ibu guru mereka. Cara Aisyah melakukan pendekatan dari orang ke orang membuatnya diterima. Bahkan Aisyah membantu murid-muridnya membuat Pohon Natal dari apa yang ada di lingkungannya benar-benar menyentuh. Kemudian Aisyah bisa berdialog dengan logat Tetun.
Soal bagaimana dia harus makan mi waktu sahur hingga tayamum untuk berwudhu (ketika kemarau), sulit mencari sinyal ponsel agar bisa berkomunikasi dengan ibunya, menggambarkan seorang muslimah bisa beradaptasi dengan cerdas. Saya juga tertegun bagaimana seorang Mama rela mengambil air dari jauh agar Aisyah bisa salat lima waktu, bikin merinding. Bagaimana mereka mengupayakan makanan halal. Yang paling menakjubkan ialah ketika makan malam mereka berdoa dengan keyakinan masing-masing.
Ada tanda tanya kecil dalam hati saya, apakah benar masih ada orang NTT yang canggung menerima seorang muslimah? Apalagi dia bertugas seorang guru. Soal relawan muslimah berhijab bertugas di NTT bukan hal yang baru. Pada tahun 2000 awal saya pernah wawancara dengan muslimah berhijab jadi relawan di Atambua juga dan diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Benar ia dipanggil: suster. Ya, mungkin saja masih ada yang canggung. Oh, ya mengapa sih nama muslimah berhijab itu didominasi nama kalau tidak Aisyah, ya Annisa?
Dari segi akting, Laudya Cynthia Bella saya kira paling tidak bisa jadi nominasi lagi untuk Piala Citra atau festival semacamnya. Para talenta dari Kupang juga bermain baik. Arie Kriting menempatkan diri sebagai karakter yang komedian tetapi pas pada tempatnya. Dialog dan gestur tubuh para tokohnya pas. Dialog antara Aisyah dan Jaya, alami sekali. Di warung mie bakso dan dengan santainya, Jaya bilang ia akan pergi ke Aceh. Lalu Aisyah makannya jadi tidak enak. Begitu juga saat ibunya Aisyah gelisah anaknya bertugas di NTT. Dialog dengan logat Sunda dan NTT berjalan enak sekali dan tidak terasa kaku. Kontras perbedaan dua budaya dan pesannya sampai. Bagaimana seorang Aisyah yang awal bak alien akhirnya bisa merasa seperti di rumahnya sendiri dengan rasa persaudaraan dari warga dusun itu.
Di awal cerita ada dialog antara Aisyah dengan seorang tetua di desanya yang memberi pesan ayahnya. Pesan yang sekaligus salah satu pesan cerita film ini :
"Sebaik-baiknya seorang sajana ialah kalau ia bermanfaat bagi orang banyak. Kalau bagi diri sendiri, ya sarjana juga. Tetapi ia kelas dua."
Jujur setelah menonton film ini saya langsung move on dari Ada Apa dengan Cinta 2.
- Judul Film: Aisyah Biarkan Kami Bersaudara
- Sutradara: Herwin Novianto
- Bintang: Laudya Cintya Bella, Ge Pamungkas, Arie Kriting, Lydia Kandou, Surya Sahetapy, Dionisius Rivaldo Moruk, Agung Isya Almasie Benu
Rated: ***
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H