Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ma Petite Histoire (9) Catatan Harian 21 Mei 2002

20 Mei 2016   16:32 Diperbarui: 20 Mei 2016   17:02 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sebenarnya yang harus kukejar?

Sebuah rumah real estate, lengkap dengan perabot, sistem audio visual, ruang pribadi denagn komputer generasi terbaru dan perpustakaan CD Room? Serta sebuah sedan di garasi

Lalu ditemani istri cantik, seorang model dan selebrtis?

Atau

Sebuah rumah di surga, di mana sungai jernih yang mengalir di bawah lantai, sungai yang airnya berasa seperti arak manis. Pohon buah-buahan di sekitar rumah, serta ditemani bidadari jelita, yang belum pernah disentuh laki-laki?

Manakah yang mimpi? Saat ini? Atau saat saya dibangunkan malaikat di Alam Barzah, seperti dalam film Vanilla Sky: Open Your Eyes!

Wacana Satu

Ludwig Feurbach , filsuf Jerman dua abad lalu barangkali akan mencibir puisi saya. Dia bilang ketika saya membicarakan realitas ketuhanan, sebetulnya saya membicarakan diri saya sendiri. Tuhan itu digambarkan sebetulnya secara antropologis. Penghukum, Sang Suci, Sang Adil, yang sebetulnya adalah hakikat manusia. Apalagi Marx, dia akan lebih mengejek: Saya bermimpi akan surga, karena tidak bisa menerima kenyataan pahit di dunia.

Baca Bab Pertama buku karya Donny Gahral Adian Arus Pemikiran Kontemporer. Mengapa manusia menjadi atheis? Bagi saya, Marx dan Feurbach logis sampai batas tertentu. Tetapi mereka tidak akan bisa menjawab bahwa pada masyarakat egaliter seperti suku-suku primitif, yang tidak mengenal strata, kecuali pembagian kerja, yang hidup bahagia, tetap menciptakan surga. Kehidupan di dunia sana? Apa penjelasan tentang itu? Pada masyarakat yang mapan? Golongan mapan tetap juga mencari spritualitas. Apa jawaban mereka?

Nietszche boleh saja bilang manusia menciptakan Tuhan untuk menutupi kegagalannya? Untuk menutupi kelemahannya? Untuk membatasi hasrat seksualitasnya? Melemahkan hakikat kemanusiannya sendiri? Untuk itu Tuhan harus dibunuh? Namun Nietsche hanya melihat pencarian Tuhan pada masyarakat Eropa? Bagaimana di Kepulauan Pasifik? Lalu darimanakah ruh? Lalu darimanakah kehidupan?

Wacana Dua

Setelah melakukan riset di Perpustakaan Nasional, saya pulang lewat Jalan Diponegoro, di depan Megaria, Perempatan Pegangsaan, sore, saya melihat keributan. Sejumlah demonstran membakar 8-10 ban hingga menimbulkan kabut asap. Polisi URC melakukan sweeping dengan sepeda mtor sambil melepas tembakan. Pertama kali saya takut melihat kejadian ini. Lari masuk Megaria. Polisi bahkan menembak ke dalam halaman bioskop membuyarkan tontonan (saya kira peluru kosong). Bioskop langsung ditutup. Terperangkap di sana hingga mahgrib.

Kemarin saya baru tahu ada demonstrasi di Semarang. Massa PDI Perjuangan ersinggung aksi demonstrasi melecehkan Megawati? Dua mahasiswa luka parah. Entah apa tuntutan demonstrasi, tepat pada Hari Kebangkitan Nasional itu? Barangkali soal kenaikan BBM? Kenaikan harga barang? Kecewa kasus-kasus KKN tidak tuntas? Saya lihat tadi di depan Megaria polisi menciduk seorang pemuda, ditelajangi dadanya dan langsung hendak dipukul kepalanya, tetapi dicegah komandannya.

Mengapa daerah Cikini-Salemba-Megaria rawan konflik? Baik demonstrasi, tawuran antar warga, konflik seperti 27 Juli 1996, Mei 1998, Malari 1974? Apa daerahnya strategis? Apa karena banyak kantong slum? Dalam penelusuran di koran-koran era Hindia Belanda tidak seperti ini. Kecuali berapa laporan tentang Meester Cornelis 1910-an yang dikaitkan dengan Sarekat Islam.

Berita Buana hari ini memperlihatkan patung Megawati, Hamzah Haz, Akbar Tanjung, Amien Rais diarak. Mungkin mereka menghendaki keempat tokoh atau semau elite politik mundur. Mereka ingin agar generasi muda mengambil alih. Sayangnya kultur tawuran generasi muda sekarang sulit dihilangkan? Misalnya untuk apa lempar bom molotov, batu atau kayu? Padahal pengalaman membuktikan polisi URC dengan mudah mematahkannya. Bahkan dalam perang opini mahasiswa tersudut. Itu sebabnya tadi di Megaria ada yang beteriak: “Pers Obyektif!”

Wacana Tiga

Masih menurut Donny Gahral Adian harus dibedakan antara Post Modernisme dan Post Modenitas. Post modernitas adalah realitas sosial masyarakat post industri, sementara Post Modernisme adalah realitas pemikirannya. Kalau Post Modernisme kata kuncinya adalah “pemenuhan kenikmatan”, Bukan lagi pemenuhan kebutuhan. Itu akibat bergesernya ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa. Kerja bukan lagi fisik, tetapi otak. Profesi: Insinyur, Pengcara, Akuntan (juga wartawan) tidak lagi dieksploitasi. Seperti buruh pabrik. Tetapi semua itu diintegrasikan ke dalam sistem kapitalisme, karena kerja adalah sarana pemenuhan kenikmatan. Tak mengehrankan 67% pemuda Amerika lebih suka ber-cybersex ria di internet daripada dengan pasangannya yang riil. Kerja itu untuk senang-senang, nonton bioskop, beli Calvin-Klein, ikut Body Language.

Pada tingkat makro terjadi fenomena sebagai berikut: negara bangsa pecah menjadi unit-unit kecil atau sebaliknya melebur ke unit besar. Makin ke bawah muncul egrakan sosial seperti LSM, gerakan feminis, gerakan Lesbi, gerakan Homo, Gerakan Anti rasisme (atau malah afsisme), yang menggeser opertentangan yang dianut Kau Marxisme: pertentangan Kelas Proletar dengan Kelas Pemodal. Marx dinilai tidak memperhitungkan konflik gender, konflik orientasi seks, kelompok minoritas.

Post Modernisme adalah wacana pemikirannya. Buku itu juga mengupas pemikiran Jacques Derrida tentang Post Strukturalis, makna menetap. Misalnya, Homo seksual dianggap kelainan jiwa. Pria selalu rasional. Barat dianggap beradap. Orang Arab atau Islam dianggap teroris. Itu yang harus dicari kekuasaan mana yang bermain di baliknya. Untuk itu perlu metode dekonstruksi. Metode yang mementahkan makna yang mapan dan sekaligus juga struktur yang hierarkis, seperti Anglo Saxon lebih tinggi dari kulit berwarna, laki-laki terhadap perempuan.

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun