Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarah Pariwisata Bali (2) 1950-1960-an: Awal Industri Pariwisata di Negeri Fajar Dunia

19 Mei 2016   14:33 Diperbarui: 19 Mei 2016   14:39 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
La Mayeur dan Ni Polok (kredit foto http://sparobayatokoh.blogspot.co.id/2015_11_01_archive.html)

Penulis laporan ini bercerita setelah tiba di Buleleng, dia menggunakan taksi ke Kintamani berjarak 32 km. Dia berkeliling dulu di Kota Singaraja dan melihat pura di Kubu Tambahan dan Kuta Dalam. Taksi biasanya dipesan melalui KPM. Para pelancong menginap satu malam di Kintamani di sebuah pesanggarahan yang diusahakan oleh KPM. Ongkos menginapnya Rp40 dan udaranya dingin dengan pemandangan indah, yang menurut penulis mirip seperti di Puncak.

Untuk penginapan terdapat banyak losmen. Namun penulis menganjurkan menginap di Bali Hotel. Kelebihannya bukan saja pada servis, tetapi tempatnya strategis, dekat kantor pos, dekat museum, dekat gedung bioskop dan toko-toko yang menyediakan barang-barang kesenian. Ongkos penginapan sangat tinggi. Kamar paling luks setiap orang untuk satu malam mengeluarkan ongkos Rp120. Tetapi yang lebih murah juga ada antara Rp30 hingga Rp90.

Pada hari kedua wartawan itu melanjutkan perjalanan ke Denpasar dan mengagumi panorama Gunung Batur. Di sepanjang jalan banyak terdapat pura, namun yang dianggap berharga hanya Pura Kehem di Bangli. Setelah beristirahat di Bali Hotel para pelancong menuju Sangeh, suatu hutan di mana banyak sekali kera menghampiri para pelancong. Apalagi jika mereka membawa kacang dan jagung. Penjaganya seorang nenek tua dapat dikenali sang wartawan dari film “Si Melati” yang mengambil beberapa adegan di tempat ini. Malamnya para pelacong menyaksikan Tari Kecak di Bona, sebuah desa tak jauh dari Denpasar. Tari Kecak dimainkan sekitar 100 laki-laki.

Hari Selasa pagi atau hari ketiga rombongan mengunjungi Ubud. Kalau mau ke Ubud wisatawan bisa menginap dalam satu rumah bercorak spefisifik Bali milik Tjokorde Gde Agung Sukawati yang menjadikan rumahnya menjadi pesanggarahan. Tetapi rombongan memilih terus ke Tampaksiring di mana para pelancong mandi di kolam pemandian besar, setelah mereka melihat patung-patung dalam sebuah gua yang dinamakan Goa Gajah. Para pelancong diantar bocah-bocah kecil yang membawa obor agar pengunjung tidak jatuh dan bisa melihat patung lebih spesifik. Dari Tampaksiring mereka singgah sebentar di Mas untuk melihat perindustrian ukiran kayu dan Celuk, di mana terdapat satu toko barang-barang perak.

Pada Hari Rabu wartawan dan rombongan menggunjungi Karangasem di mana terdapat istana air kepunyaan rajanya. Piknik sehari penuh hingga setiap pelancong disiapkan rantang berisi makanan tanpa bayaran tambahan. Pada hari keempat itu mereka mengunjungi Klungkung di mana pada waktu itu masih terdapat pengadilan Bali Kuno. Perjalanan melalui Bukit Jambul yang memiliki pemandangan yang bagus. Mereka singgah di Puri Besakih di lereng Gunung Agung. Mereka juga melihat Tirta Gangga di mana terdapat pemandangan berteras-teras.

Pada Hari Kamis, para pelancong yang penat seharian di mobil memilih berkeliling Denpasar dengan delman dengan tarif  Rp6 per orang, Mereka berbelanjaukiran kayu, tenunan dan mengunjungi Pabrik CIP (Caning Indonesian product) membuat macam makanan kaleng. Alternatif lain pelancong pergi ke Benoa, sebuah pelabuhan di selatan atau ke Taman Samudera. Mereka juga bisa singgah di Sanur di mana terdapat pondok dari pelukis terkenal dari Belgia bernama Le Mayeur (Andrien-Jean La Mayeur der Mepres)1 . Para pelancong bisa melihat lukisan, tetapi terlarang memetik bunga. Kunjungan ke museum Denpasar dilakukan sore hari dan malam harinya mereka disugguhi tari-tarian di pendopo hotel.

La Mayeur dan Ni Polok (kredit foto http://sparobayatokoh.blogspot.co.id/2015_11_01_archive.html)
La Mayeur dan Ni Polok (kredit foto http://sparobayatokoh.blogspot.co.id/2015_11_01_archive.html)
Sayangnya kondisi sebagian jalan di Pulau Bali masa itu sebagian buruk hingga tidak semua tempat sempat dikunjungi. Taksi di Pulau Bali menggunakan mobil bagus dengan tarif Rp6 per jam dan Rp1 setiap kilometernya. Catatan lain yang diberikan penulis ialah adu jago di Bali berbeda dengan di Jawa. Kalau di Jawa hanya dua ayam jago diadu, kalau di Bali kaki ayam diberikan pisau tajam. Hingga ayam jago yang sebetulnya lemah mematikan ayam jago yang kuat karena tesentuh pisau di bagian mematikan. Adu jago popular di Bali dan hampir setiap hari ada pertandingan. Juga disebutkan bahwa Sang Wartawan membenarkan cerita bahwa laki-laki Bali lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayam jagonya dan perempuannya pergi bekerja. Tetapi reportase menarik karena mengungkapkan keterlibatan orang lokal dalam industri pariwisata.

Reportase Bali Express II Juni 1960

Pada 1960-an dewan turisme nasional menerbitkan sebuah majalah tentang pariwisata, dinamakan Warta Pariwisata. Edisi Agustus 1960 memuat sebuah laporan perjalanan dengan tajuk “Mengundjungi Pulau Dewata”. Laporan dimulai dengan runtut dari perjalanan dengan Kapal Mangkara pada 1 Juni 1960 sekitar pukul 17.00. Penulis adalah salah seorang anggota rombongan Bali Express ke II. Awal laporan menceritakan suasana di kapal, di antaranya malam gembira, menyanyi mengikuti lagu dari piringan hitam. Pemandunya dadakan, disebut sebagai Ibu dr.Santo.

Rombongan Bali Express II tiba di Pelabuhan Benoa pada hari keempat, sore hari. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan dua bus yang disediakan Nitour ke Denpasar. Di kota itu rombongan beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Sanur.

Di Sanur kita dibawa mengundjungi tempatnja Tn. Le Mayeur, seorang Belgia jang dulu tinggal menetap di sana dan beristrikan wanita Bali. Le Mayeur sendiri meninggal beberapa tahun lalu di negeri asalnya. Istrinya masih hidup. Tempat ini popular karena Le Mayeur pelukis kenamaan jang mengabaddikan diri dan djiwanja kepada kebudajaan Timur. Istrinja mengilhami melukis, misalnja sedang menari. Lukisannja berharga puluhan ribu rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun