Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1959 (3) Spekulan Ekonomi, Merosotnya Nilai Uang dan Anggota Dewan Kota Bandung Minta Mobil Baru (Isu Ekonomi Maret-April 1959-1)

23 April 2016   16:20 Diperbarui: 23 April 2016   16:23 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Uang Rp5 pada 1959 (Kredit foto http://uangkuno-jadul-murah.blogspot.co.id)"][/caption]Kehidupan ekonomi 1959 sudah menunjukkan sinyal bahaya pada beberapa komoditi. Setelah beras, minyak tanah, kekurangan pasokan, berikutnya perusahaan susu di Jawa Barat, yang merupakan salah satu ikon ekonomi khas Kota Bandung (dan sekitarnya) terancam mengalami kehancuran setelah produksi mereka merosot sebesar 20 persen akibat kekurangan bungkil (ampas kelapa) untuk pakan sapi. Perusahaan susu nasional lebih lemah karena umumnya mereka hanya mempunyai sepuluh ekor sapi.

Hanya perusahaan susu Adjak di Lembang mempunyai 50 ekor sapi. Sebelum kekurangan bungkil Adjak dapat menghasilkan 2800 liter susu merosot hingga 2300 liter per hari. Bungkil didatangkan dari Jakarta dengan harga Rp320/kwintal. Sebetulnya sebanyak 81 perusahaan susu di Jawa Barat hingga akhir 1957 mampu memproduksi 12.33 liter susu per hari. Bandung punya 37 buah perusahaan susu dan menghasilkan 10 ribu liter susu per hari. Sebanyak 9 perusahan susu milik pemerintah terancam likuidasi karena harga bungkil terus meningkat bahkan sampai Rp380 per kuintal. Bungkil bisa jadi mainan baru spekulan setelah beberapa komoditi ekonomi.

Begitu mudah sekali spekulan bermain dalam berbagai komoditi menunjukkan kelemahan pengawasan dan mungkin juga kekurangan tenaga. Awal Januari 1959 giliran peredaran gula yang mengalami gangguan. Biasanya lebih dulu dituding dikuranginya alokasi gula. Disinyalir bahwa alokasi gula yang dikurangi untuk kota Bandung samapi 20 persen. Akibatnya harga gula mencapai Rp 6.50/kg atau sekitar 70 persen harga beras perkilogramnya. Itu pun warga Bandung kerap sulit untuk mendapatkan gula di toko dan warung (Pikiran Rakjat, 6 Januari 1959).

Polisi bagian ekonomi harus bekerja keras. Polisi Bandung dalam Januari 1959 juga berhasil mensita 63 drum minyak dan di antaranya 15 drum dari pedagang Tionghoa LKTJ di Jalan Astanaanyar (Pikiran Rakjat, 21 Januari 1959). Lainnya adalah 28 drum minyak tanah dari Cikudaputeuh dari sembilan pedagang dan 3 agen minyak tanah untuk dijual dengan harga tinggi (Pikiran Rakyat 14 Januari 1959).

Akhir Januari 1959 sejumlah merek rokok kembali menghilang dari pasar kota Bandung. Di antara yang menghilang adalah rokok merek Virginia. Rokok lainnya dibanderol dengan harga fantastis. Rokok Commodore dijual Rp7,50 , Lancer Rp 6,25 hingga Rp 6,50 dan rokok Escort dihargai Rp 5,50 (Pikiran Rakjat, 31 Januari 1959). Ini berarti kedua kalinya rokok menghilang dari kota Bandung. Peluang ini dimanfaatkan para spekulan, misalnya menjual rokok tanpa banderol. Pada 12 Februari 1959 polisi seksi ekonomi Keresesidenan Priangan melakukan razia di kawasan Braga. Dari tukang rokok sejumlah bungkos tanpa banderol disita (Pikiran Rakjat, 13 Februari 1959).

Pihak kepolisian Reskrim Keresidenan Priangan Iman Supojo menyebar polisi berpakaian preman menanyakan pembeli yang keluar dari toko, apakah mereka membeli barang dengah harga sesuai bon (khawatir terkena jerat hukum kalau tidak pakai bon,karena memakai bon berarti sesuai harga yang ditetapkan pemerintah). Dengan cara demikian bisa diketahui apakah para pedagang tidak seenaknya menaikkan harga (Pikiran Rakjat 5 Maret 1959). Tindakan lebih keras terhadap toko-toko yang dianggap memainkan harga terutama pada bulan puasa yang jatuh pada Maret 1959. Sejak permulaan puasa hingga pertengahan Maret 14 orang pedagang dan pemilik toko dipanggil kepolisiaan untuk proses verbal.

Dari 14 orang ini, sebagian besar bangsa Tionghoa dan beberapa orang India memainkan harga tekstil dan sejumlah bahan pokok. Iman Supojo menuding para pedagang tidak mengekang hawa nafsu mencari keuntungan dan berbuat sekehendak hatinya. Polisi tak segan-segannya menutup toko yang menaikkan harga barang menjelang lebaran. (Pikiran Rakjat, 19 Maret 1959). Pada 19 Maret 1959 sebanyak 12 pedagang dirazia di dalam kota Bandung. Disusul 6 pedagang lagi ditahan pada 25 Maret 1959, di antara yang terkena ialah pemilik toko di kawasan prestisus seperti Toko Modern di Jalan Braga, Toko Niagara di Jalan Lembong (Pikiran Rakjat, 24 Maret 1959). Jumlah total pedagang yang ditahan simpang siur. Tetapi Pikiran Rakjat edisi 26 Maret 1959 memberitakan bahwa sebanyak 17 orang pengusaha dan pemilik toko ditahan Reskrim Seksi Ekonomi Kepolisian Keresidenan Priangan. Tuduhannya menaikan harga dan menjual barang tanpa faktur.

Pada akhir Maret 1959 pengusaha perang di Jawa Barat mempunyai legitimasi berkat dekrit yang dikeluarkan Perdana Menteri Djuanda pada 27 Maret 1959. Dekrit itu memberikan kuasa pada penguasa perang daerah agar mengendalikan harga barang seperti pada 15 Desember 1958. Pihak militer dan kepolisian bisa menindak lebih keras lagi. Juru bicara Destamen Jawa barat Mayor M. Nawawi Latif menyatakan pihak militer siap melaksanakan dekrit PM Djuanda. Dia mengharapkan bukan hanya alat-alat negare turut serta tetapi segenap penduduk (Pikiran Rakjat, 28 dan 31 Maret 1959).

Pelaksanaan kebijakan ini tidak mudah. Yang terjadi pada awal April 1959 beberapa macam barang hilang dari pasaran. Komoditi daging di Pasar Baru, Bandung bisa menyesuaikan diri, tetapi tidak demikian dengan pasar lain, seperti di Cicadas. Ada yang bersedia mengikuti harga 28 Desember 1958 dengan syarat yang ditentukan pedagang. Contohnya, telur ayam atau bebek di Pasar Baru dijual Rp1,80 per butir, sepuluh sen lebih dari harga yang ditetapkan dekrit PM kalau merujuk 15 Desember 1959. Kalau pun dijual Rp1,70/butir para pembeli tidak boleh memilih telur dan hanya boleh membeli lima butir saja. Kalau ingin lebih seharga Rp1,80/butir. Di luar Pasar Baru telur dijual Rp2,50 per butir.

Para pedagang telur dan daging di Bandung menyatakan setuju keputusan Djuanda tentang penetapan harga makanan seperti 15 Desember 1959. Tetapi mereka meminta barang-barang yang mereka beli di tempat asalnya juga harus turun (hingga mereka mendapat margin). Soal transport juga dikeluhkan. Biaya angkut per peti berisi 100 telur Rp15 dan harga peti Rp7,50. Resiko pecah dan busuk sekitar 20 persen. Kalau diangkut dengan Kereta Api, maka resiko telur yang pecah 50% (Pikiran Rakjat,2 April 1959).

Penulis memahami kerisauan pedagang masa itu. Hitung-hitungan sederhana. Untuk 100 butir telur mereka mengeluarkan biaya Rp 22,50. Misalnya taruhlah harga telur mereka beli di tempat asal Rp1,5 per butir. Itu sama dengan Rp150. Ditambah biaya angkutan Rp172,250. Jadi satu butir telur sudah seharga Rp1,72. Kalau pecah 20%, maka tinggal 80 telur yang harus dijual total lebih dari Rp172,50 biar impas dengan telur yang pecah dan ternyata kalau dijual jatuhnya Rp2.15 per butir. Itu harga tidak untung. Jadi wajar kalau ada yang menjualnya Rp2,50 per butir.

Yang paling mungkin mereka membeli telur seharga Rp 1,1 per butir alias selisih 60 sen dari harga yang mereka jual di pasar kota Bandung kalau mau mengikuti Dekrit Juanda sebesar Rp1,70 per butir. Itu pun margin hanya berapa sen dan resiko bisnis besar sekali. Bayangkan kalau yang pecah karena diangkut dengan kereta api sampai 50%, berapa telur harus dijual per butirnya? Harga ini harus dimasukkan juga komponen biaya pengangkutan dalam kota dari stasiun ke toko dan biaya gaji pegawai toko, listrik toko dan pengutan-pungutan.

Masalah daging juga begitu, karena mereka harus membeli sapi, kerbau dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Para pedagang daging di Kota Bandung menuding hewan ternak di kawasan itu dikuasai pedagang liar dan ikut serta menaikkan harga. Daging untuk Kota Bandung dan Jakarta didatangkan dari dua propinsi ini dan diangkut dengan kereta api. Harga daging kerbau atau sapi di Bandung sekitar Rp32/kg. Sementara kalau mengikuti Dekrit Djuanda harga Desember 1958 jatuhnya per kg Rp27.

Keputusan Djuanda bertepatan menjelang lebaran di mana permintaan tinggi. Pada 1959 jarak antara perayaan tahun baru, Hari Raya Imlek dan lebaran berdekatan sekitar tiga bulan. Kalau menjelang Perayaan Tahun Baru dan hari Raya Imlek permintaan telur ayam begitu tinggi dan harganya juga naik. Sementara kalau lebaran permintaan tinggi adalah telur bebek. Para pedagang juga menuntut agar jumlah uang yang beredar ketika Djuanda mengeluarkan keputusan dengan situasi Desember 1958 juga disesuaikan. Itu artinya pedagang dan pengusaha mengetahui bahwa nilai uang sudah menurun.

Harga beberapa Bahan Pokok di Pasar Bandung pada Minggu 5 April 1959 jam 00.00 diumumkan dengan resmi oleh Kepala Staf Harian Angkatan Perang Daerah KMKB Kota Bandung. Disebutkan bersadarkan pengumuman itu, daging sapi, kerbau dan kambing dijual antara per kg Rp 28 hingga Rp30. Harga ikan basah, kembung dijual antara Rp16 hingga Rp18/kg, ikan bandeng Rp20 hingga Rp25/g dan udang dijual Rp15 hingga Rp20/kg. Ikan asin seperti teri dijual Rp20-25/kg, selar Rp15 hingga Rp20/kg, tawas antara Rp10 hingga Rp22/kg dan peda antara Rp15 hingga Rp18/kg. Telur ayam dijual Rp1,70 per butir, telur bebek Rp1,60 per butir dan telur asin Ro1,75 per butir. Sayur mayor seperti buncis dijual Rp4/kg, tomat Rp 6 hingga Rp10/kg, bayam Rp3/kg, wortel Rp2,50/kg, kentang Rp3/kg, serta kacang panjang Rp4/kg.

Soal berapa rilnya uang beredar dan yang bernilai memang sudah lama menjadi tanda tanya. Hatta dalam ceramahnya di Sumedang menyebutkan percetakan di Kebayoran mengeluarkan uang kertas baru yang akan merusaka perekonomian rakyat. Pasar akan dibanjiri oleh kertas-kertas yang tak berharga dan akhirnya stabilisasi ekonomi makin kacau. Gaji pegawai negeri memang makin banyak naiknya, tetapi nilai rupiahnya sebetulnya turun. Harga barang juga berkompetisi dengan kenaikan gaji (Pikiran Rakjat, 7 Februari 1959).

Meskipun diingatkan oleh Hatta bahwa kebijakan menaikkan gaji pegawai negeri serampangan tanpa stabilitas moneter berbahaya, tetapi pemerintah tampaknya ingin agar pegawai negeri terhibur. Pada pertengahan Februari pemerintah bahkan menjanjikan memberikan hadiah lebaran sebesar 50 persen dari gaji kepada pegawai negeri (Pikiran Rakjat, 14 Februari 1959).

Disebutkan gaji pegawai negeri golongan A 2/1 naik dari Rp367 menjadi Rp392,81. Golongan B 2/1 naik dari Rp427,43 menjadi Rp431,8. Melihat dari besaran kenaikan gaji untuk pegawai rendah justru kecil. Sementara pegawai negeri golongan FVII naik dari Rp3476, 61 menjadi 4494,76 atau jumlahnya lebih Rp1000. Gaji tertinggi dari Rp3650,19 menjadi Rp4706,12. Dengan demikian kenaikan gaji pegawai negeri hanya menguntungkan golongan atas saja tuding Sumekar, Sekretaris Perburuhan PGRI Komisariat Jawa Barat. (Pikiran Rakjat, 1 April 1959).

DPRD Kota Bandung juga mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan tanda tanya ketika anggota DPRD bernama Ukar Wartaatmadja mengusulkan anggota dewan mendapatkan mobil baru dengan alasannya mobil yang ada mengeluarkan biaya besar. Mobil baru yang dibidiknya jenis Volkswagen dan yang lama dilelang. Ketua DPRD Hawadi menolak pembelian mobil baru. Bahkan katanya kebijakan itu jangan sampai dilaksanakan (Pikiran Rakjat, 19 Februari 1959).

Perdebatan soal mobil baru anggota dewan bersamaan ketika warga kota Bandung menghadapi bencana banjir karena meluapnya Sungai Cidurian dan Cimanuk. Berpuluh-puluh rumah terutama di kawasan Cicadas terendam air (Pikiran Rakjat, 2 Maret 1959). Kecamatan Buahbatu Bandung dilaporkan menderita kerugian sebesar Rp 1.094.300 dan perhiasan senilai Rp130.000 raib. Sawah seluas 98 hektar mengalami kerusakan. Yang menyedihkan padi-padi yang diterjang banjir kebanyakan sedang bunting dan siap panen. Akses hubungan untuk sebelas kampung terputus.

Pada 1950-an sikap pimpinan daerah rata-rata menunjukkan kepekaan sosial yang tinggi. Kepala Daerah Kabupaten Bandung Mas Kamawijaya meninjau kawasan banjir dengan naik perahu sampan (Pikiran Rakjat, 28 Februari 1959). Namun ada kejadian yang luar biasa dan patut dicatat untuk sebuah kota. Ceritanya akibat banjir Kota Bandung menjadi kotor, namun untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia sekitar 20.000 warga di sebuah kota, melibatkan berbagai unsur, mulai petani, buruh, pegawai, pelajar hingga tentara terlibat membersihkan sampah dan lumpur.

Sebelas anggota DPRD Jawa Barat, di antara politisi muslimat (Masyumi) yang paling vokal sejak awal 1950-an Hadidjah Salim, serta politisi perempuan lainnya Ny. Tjahjati Setiatin mengeluarkan pernyataan bersama bahwa pemerintah harus menstabilkan perekonomiaan rakyat dan menurunkan harga barang penting (Pikiran Rakjat, 23 Maret 1959). Pernyataan yang baik, namun sebetulnya terlambat. Sejarah membuktikan hal itu.

Irvan Sjafari

Kredit Foto:

Ilustrasi Uang Rp5 pada 1959 (kredit foto http://uangkuno-jadul-murah.blogspot.co.id)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun