[caption caption="Adegan dalam film Tiga Dara: gambaran remaja 1950-an (kredit foto www.sidomi.com)"][/caption]Film Indonesia sebetulnya mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Hanya saja konsistensi dan kekurangan inovasi para sineas yang membuat situasinya tidak selalu demikian. Salah satu parameter saya kalau sebuah film digandrungi remaja, maka film itu berhasil karena mereka sebetulnya sebagian besar penonton film. Pada film remaja ini nilai kualitas sekaligus kuantitas bisa dikawinkan.
Pada 1950-an misalnya film Indonesia seperti Tiga Dara (1956) karya sutradara Usmar Ismail mendapat sambutan meriah bahkan sampai ada lomba mirip pemeran Tiga Dara di berbagai kota. Para bintang Tiga Dara, Chitra Dewi, Mieke Wijaya dan pendatang baru Indriati Iskak langsung meroket. Bahkan film ini menjadi trendsetter untuk fashion. Pendeknya apa yang ditampilkan dalam film itu menjadi pop art.
Ketika Tiga Dara muncul, film-film Hollywood atau India tergeser. Padahal Dean Martin, Doris Day, Pat Boone, dan sebagainya menjadi idola remaja perkotaan, terutama di Bandung dan Jakarta pada saat bersamaan dengan gegap gempita rock n roll.
Keberhasilan Tiga Dara karena pas menggambarkan diri remaja saat itu, di satu sisi masih memegang adat ketimuran dan di sisi lain juga menerima pengaruh barat lewat animo yang kuat terhadap musik dan dansa. Hubungan laki-laki dan perempuan tetap dalam norma yang berlaku masa itu. Kelas sosial yang ditampilkan dalam karakter Tiga Dara adalah orang-orang cukup berada, tetapi tidak menampilkan kemewahan yang berlebihan. Tiga Dara menawarkan sintesa baru yang pas untuk masa 1950-an.
Secara kualitas Tiga Dara juga harus diperhitungkan dan terbukti menyabet penghargaan di Festival Film Indonesia pada 1960 untuk tata musik terbaik (Sjaiful Bachri). Sineas Nia Dinata membuat ulang film ini juga membuktikan pengakuan bahwa film ini. Sayangnya tidak terlalu banyak inovasi seperti ini.
Secara kualitas sebetulnya sama namun tidak sepopuler Tiga Dara, dua tahun kemudian Usmar Ismail berhasil merilis film remaja berkualitas lainnya Asrama Dara. Secara kualitas juga bagus terbukti dengan Piala Citra FFI 1960 untuk Penyuntingan Terbaik, Pemain Harapan Terbaik, Pemain Cilik Terbaik pada Festival Film Asia 1960 untuk Suzanna dan sekaligus juga merupakan debut aktris yang kelak menjadi legenda ini.
Lompat ke tahun 1970-an era Rano Karno dan Yessy Gusman. Saya mengambil sampel, Gita Cinta dari SMA (1979) merupakan film remaja popular masa itu. Sebetulnya agak sebangun dengan Romeo dan Julliet dan diangkat juga dari novel popular karya Eddy Iskandar. Dari sisi sosiologis gambaran remaja masa itu, masih kuat nilai ketimurannya.
Ceritanya tentang hubungan cinta Galih dari keluarga miskin dan Ratna dari keluarga kaya tampaknya diterima di benak para remaja masa itu. Para tokoh-tokohnya berprestasi positif. Gaya hidup ditampilkan juga tidak menampilkan hal yang berlebihan.
Apa yang digambarkan dalam film ini seperti kegiatan belajar mengajar, guru yang jadi bahan lelucon, perkemahan penuh nyanyian beserta iringan gitar bahagia, benar-benar menggambarkan realitas masa itu. Sintesa antara budaya luar dan budaya Indonesia yang ditampilkan juga pas.
Kekuatan lain film yang disutradarai Afrizal ini juga didukung musikalnya yang ciamik dengan keterlibatan Guruh Soekarno Putra. Hingga sekarang lagu-lagunya menjadi legendaries. Pendeknya Gita Cinta dari SMA adalalah Pop Art masa itu.
Para bintangnya Rano Karno dan Yessy Gusman menjadi langganan film remaja untuk beberapa tahun kemudian. Gita Cinta dari SMA adalah film terlaris III di Jakarta, 1979, dengan 162.050 penonton, menurut data Perfini. Sekalipun saya menemukan film ini mendapatkan penghargaan, tetapi kualitas film ini tetap harus diperhitungkan. Kabarnya film juga akan dibuat remake-nya.
Lompat lagi pada 1980-an tampil Catatan Si Boy benar-benar merubah citra dalam alam berpikir remaja. Film ini diangkat dari sandiwara radio karya Marwan Alkatiri dan tokoh rekaannya, Raden Ario Purbo Joyodiningrat atau disebut Boy. Tokohnya pemuda kaya dengan mobil BMW, ganteng, hidup serba enak, tetapi taat beribadah dan disukai para gadis. Sayangnya norma ketimuran ditabrak, seperti pelukan dan ciuman dianggap hal yang lumrah. Ketika dalam suatu adegan Boy menampik Vera karena takut keterusan menjadi hubungan terlarang menjadi hipokrit.
Kemunculan Catatan si Boy sebetulnya pas dengan kejayaan dan kegemilangan Orde Baru di mana ekonomi menjadi panglima. Masalahnya gaya hidup mewah yang ditampilkan dalam film ini bukan merupakan gaya hidup remaja kebanyakan tetapi akibat film ini menjadi trendsetter remaja. Padahal dalam film itu tidak diajarkan bagaimana caranya menjadi kaya dengan kerja keras.
Memang perlu ada penelitian seberapa besar pengaruh film ini pada pergaulan dan cara berpikir remaja, tetapi secara kasat mata kecemburuan sosial sudah terasa masa itu. Harus diakui film yang dibuat sampai lima sekuel ini rata-rata meraih 300 ribuan penonton. Lagu-lagu yang menjadi soundtrack film ini juga popular.
Yang jelas pada 1990-an film Indonesia didominasi oleh film yang menjual sensualitas perempuan dan penonton yang disasar adalah remaja. Apa yang ditampilkan dalam film-film era itu menjual mimpi dan bersamaan dengan booming televisi swasta dengan sinetron yang menjual mimpi.
Sebetulnya juga karena produsen sinetron itu keturunan India membawa pengaruh Bollywood-nya kuat dengan menampilkan aktor dan aktris sinetron yang cantik-cantik. Era telenovela sebetulnya resepnya sama dengan cerita Cinderella yang diselamatkan pangeran atau cewek miskin diselamatkan cowok kaya. Benar-benar kebalikan 1970-an ketika cowok miskin (tetapi punya integritas), serta mereka yang punya naik sepeda dan angkutan masih punya tempat yang baik dalam konstruksi sosial buatan film.
Perlawanan di layar kaca diberikan oleh sinetron Si Doel Anak Sekolahan sebetulnya manifestasi bentuk baru dari film Rano Karno 1970-an, di mana Galih yang miskin dan pintar bereinkarnasi pada sosok Si Doel.
Sementara Sarah adalah manifestasi lain dari Ratna. Serial ini dengan cepat popular karena pada dasarnya penonton Indonesia rindu pada tontonan yang membumi tetapi tetap ringan. Inilah yang tidak ada di layar lebar atau film 1990-an. Si Doel Anak Sekolahan praktis jadi gambaran yang lebih ideal dan realistis bagaimana dunia anak muda Jakarta masa itu yang tidak terwakili di layar lebar.
[caption caption="Adegan dalam Ada Apa dengan Cinta: Remaja 2000-an atau akhir era baru sejarah sosial remaja? (Kredit foto http://media.themalaymailonline.com/)"]
Remaja pergi ke kafe di mal batas kewajaran ditemui sehari-hari. Sosok Rangga mengenalkan sastra dan aktifitas geng Cinta di majalah dinding dan main basket memberikan nilai edukasi. Kegandrungan Rangga mengunjungi perpustakaan dan pasar buku bekas di Senen memberikan alternatif bagi remaja. Remaja suka band dan musik juga tidak berlebihan. Dalam A2DC belum tampak remaja bawa ponsel.
Soundtracknya dengan cepat popular dengan terlibatnya Melly Goeslaw. Tetapi yang penting A2DC adalah trendsetter, tiba-tiba remaja demam puisi. Jumlah penonton sekitar 2,5 juta fantastis dan tidak bisa diprediksi. Tetapi saya kira bukan hanya remaja yang menonton tetapi mereka yang ada di usia 25 tahunan dan 30 tahunan seperti saya waktu itu yang tidak puas terhadap film remaja 1980-an dan 1990-an.
Dirilisnya film Ada Apa dengan Cinta 2 pada 28 April nanti juga menarik untuk diamati apakah penontonnya lebih banyak datang dari penonton AADC 2000-an dahulu atau remaja segenerasi sekarang juga penasaran dan mau ke bioskop.
AADC (bersama Petualangan Sherina) di satu sisi adalah tonggak kebangkitan film Indonesia. Sebetulnya ada film horor Jelangkung yang sebetulnya juga manifestasi kultur Asia Tenggara yang suka akan cerita mistik dan dunia gaib.
Indonesia dalam hal ini serupa dengan Thailand di mana horor tumbuh subur. Sayang dalam penggarapannya akhirnya juga menjual sensualitas perempuan dan inovasinya juga tidak terlalu banyak dan beberapa tahun terakhir sepi penonton. Saya akan bahas film horor pada tulisan lain lebih dalam dan tidak di tulisan ini. Sekalipun sebetulnya penggemar horor ini juga banyak datang dari kalangan remaja.
Di sisi lain A2DC adalah akhir dari suatu sejarah era remaja yang sudah dimulai 1970-an ketika komunikasi baru berupa telepon rumah. Zaman baru (untuk ukuran sejarah sosial remaja) sebetulnya justru terwakili oleh film Eiffel, I’im in Love. Kalau A2DC ditulis oleh Jujur Prananto yang sebetulnya bukan remaja lagi, maka Eiffel, I’m in Love diangkat dari novel karya remaja juga (pada masa itu) Rahmania Arunita namanya.
Film itu benar-benar menampilkan remaja dengan ponsel, bahasanya sudah idiom remaja era 2000-an, tempat tongkrongan praktis mal seperti Citos. Ada adegan remaja ikut orangtuanya ke luar negeri yaitu Prancis. Apa yang ditampilkan dalam film itu sudah real: bahwa remaja sudah konsumtif. Soundtrack film ini juga popular dan penontonnya fantastis lebih dari 3,5 juta. Belakangan film tentang remaja berlatar luar negeri menjadi tren dan rata-rata diangkat dari novel. Jumlah penonton juga bagus. Terbukti dengan angka penonton London Love Story di atas 1 juta.
Yang menarik sejak era 2000-an ini muncul segmen lain, yaitu film religius yang menampilkan tokoh-tokoh utamanya berbusana muslim. Era sebelumnya juga ada terutama ditampilkan Rhoma Irama, tetapi apa yang digambarkan berbeda. Kalau dulu pertarungan antara yang menegakan amal ma’ruf melawan yang mungkar lebih dominan, maka era 2000-an lebih bertema drama percintaan tetapi dengan cara Islam.
Tokoh-tokohnya juga banyak didominasi anak muda. Dimulai dengan Ayat-ayat Cinta yang sebetulnya penontonnya lebih banyak anak muda yang lebih dewasa dan kaum ibu, tetapi kemudian diikuti film dengan tokoh-tokohnya lebih muda hingga menyentuh segmen remaja.
Agak sukar saya memprediksi segmen religius ini yang tiba-tiba booming dan tiba-tiba meredup, lalu booming lagi. Film religius ini sebetulnya bisa lebih banyak meraup penonton kalau bioskop lebih tersebar karena kantong penontonnya lebih banyak di kabupaten yang jarang terdapat bioskop.
Selain itu berapa film religius juga kerap terbebani hal-hal yang bersifat “ideologis” (dengan cara menggurui) daripada menampilkan hal-hal yang membumi. Termasuk juga yang diperuntukan untuk remaja. Padahal nilai-nilai bisa ditanamkan tidak dengan menggurui.
Irvan Sjafari
Sumber lain:
http://rolfilmblog.blogspot.co.id/2012/06/bestof-alm-usmar-ismail.html
Sumber Foto:
Tiga Dara (kredit foto www.sidomi.com)
Ada Apa dengan Cinta? (kredit foto http://media.themalaymailonline.com/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H