Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Tokoh Jabar 1950-an) dr.Djundjunan Setiakusumah: Memahami Kesehatan Rakyat dari Pengalaman Lapangan

18 Maret 2016   11:54 Diperbarui: 18 Maret 2016   12:42 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="dr.Djundjunan Setiakusumah (Kredit Foto Magle 26 Mei 2005)"][/caption]

Pada  awal  November  1958  sebuah klinik bersalin  bertempat di Jalan Aceh/79 dibuka secara resmi.  Klinik bersalin ini menempati gedung bekas perawatan orangtua  yang terlantar  ini merupakan klinik pertama  yang merupakan usaha PMI Cabang Bandung.  Klinik bernama Bayu  Tresna ini  dibawa pimpinan dokter ahli kebidanan  Dr.J.E. Karamoy dan bidang Ny. Sutriasih Sukono.  Klinik disokong oleh Ny.Oja Somantri, Ny.Priyanat Kusumah, Ny. Mr.Tresna,  Ny.Jerman Prawiranegara  dan sejumlah isteri petinggi di Kota Bandung.

Ketua PMI Bandung waktu itu adalah dr. Djundjunan (ada yang menggunakan ejaan Djoendjoenan  ) Setiakusumah  menyebutkan bahwa rumah bersalin ini adalah usaha PMI yang  sudah lama dicita-citakan sejak 1950, setelah PMI mengupayakan sanitarium penderita paru di Bukit Dago.  Nama dr. Djundjunan)  sebagai seorang dokter praktek tidak terlalu banyak ditemukan di Pikiran Rakjat 1950-an. Majalah Mangle  edisi 26 Mei hingga 1 Juni 2005 menyebutkan  Dr.Djundjunan lahir 1 Agustus 1888 di Ciawi Taksimalaya. Dr.Djundjunan putra pertama dari pasangan Raden Kanduruan  Argakusumah dan Rd Ratnadewi Ramana. Ayahnya camat di Cimaragas, Banjar, Tasikmalaya.   Sewaktu masih mahasiswa STOVIA Djundjunan menikah dengan Nyi Rd Sasih Wulan  putri Bupati Sumedang pada 1916. 

Selepas dari STOVIA dan mendapatkan gelar Indis Art pada 28 Mei 1918  (dengan keahlian ilmu pengobatan), pembedahan dan kebidanan)  Djundjunan   mengabadikan dirinya di Rumah Sakit CBZ Semarang.  Djundjunan ikut memberantas wabah influenza  di kota itu 1918.  Selama terjadinya wabah influenza tenaga kesehatan pemerintah di Semarang kerja sampai lembur.    Sejumlah daerah di Hindia Belanda  pada masa itu dilanda pendemi influenza antara 1917 hingga 1920 menewaskan puluhan  ribuan jiwa. Daerah yang diserang antara lain Kota Semarang.   

Menurut penelitian yang dilakukan Nofita Rosdiana Dewi dan Septina Altianingrum ( 2013) menyebutkan   pada 1920  di rumah sakit CBZ (Central Burgelijk Ziekenrichting) sebanyak 88 pasien tewas.  Djundjunan  juga pernah ditugaskan ke Purwokerto,ketika terjadi  serangan Kolera.  Sebanyak 1000 pasien dia tangani.  Pada waktu itu pencegahan dengan suntikan dilakukan pada 20 ribu jiwa dan dalam dua bulan bisa ditangani.  

Dia kemudian bertugas  ke Sawahlunto di mana Djundjunan bertugas di rumah sakit perusahaan pertambangan antara 1919-1921.   Rumah Sakit itu menampung 600 hingga 800 pasien.  Di antara pasiennya juga orang rantai (orang hukuman yang dijadikan pekerja paksa).  Selain menjadi dokter di perusahaan pertambangan ia juga bertugas sebagai dokter sipil yang mengawasi lancarnya vaksinasi terhadap cacar.  Di Sawah Lunto itu terjadi kasus  48 buruh tambang jadi korban runtuhnya tambang.  Sewaktu  di Sawah Lunto, anak ketiganya lhir diberi nama Kartimi.     

Djundjunan kemudian sempat bertugas di  Jakarta, Purwakarta, Sumedang dan Banten  dan pada 1928 dipulangkan ke Bandung. Dia bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Gemeente Juliana di Bandung (Kemudian menjadi Rumah Sakit Rancabadak dan sekarang menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin).   Pada waktu rumah sakit itu beroperasi hanya ada 6 dokter berkebangsaan Belanda dan 2 orang dokter berkebangsaan Indonesia, yaitu dr. Tjokro Hadidjojo dan dr. Djundjunan Setiakusumah.

Kiprahnya di dunia pergerakan dr.Djundjunan  mendirikan  Paguyuban Pasundan dan sempat menjadi sekretaris I ketika masih kuliah di STOVIA pada 1914. Pada masa pergerakan Djundjunan pernah menjadi anggota Budi Utomo sewaktu menjadi mahasiswa di STOVIA. Sewaktu aktif di Budi Utomo, Djundjunan tidak memisahkan sayap Sunda dan Jawa. Dia juga aktif dalam organisasi Indische Partij di Jakarta. Djundjunan juga membantu pekerjaan propaganda penyebaran Sarekat Islam di Jakarta.  (Bandung 1956 (6) Heboh Pamflet Front Pemuda Sunda dan Terbentuknya DPRD Peralihan: Dinamika Politik Agustus-September)

Pada masa pendudukan Jepang  Djundjunan ditunjuk menjadi Kepala Kesehatan Kota melingkupi rumah sakit Santo Yusup, Cicendo, Imanuel.  RS Juliana sendiri diduduki tentara Jepang.  Djundjunan ikut melatih ratusan orang desa latihan PPPK dan para pemuda rombongan pasukan bahaya udara. Sewaktu perang kemderkaan  Djundjunan termasuk tokoh-tokoh Pasundan  yang dikabarkan akan diculik, seperti Oto Iskandar di Nata,Ukar Bratakusumah, Otto Subrata dan Adjat Sudrajat.  Namun tidak ada kejadian yang menimpanya.  Tetapi Oto memang diculik.   Pada November 1945 keluarganya diungsikan ke Majalaya dan Djundjunan sendiri memilih tetap bertugas di Bandung. 

Ketika terjadi Bandung Lautan Api pada 24  Maret 1946  sebagian rakyat Bandung  mengungsi bersama para pejuang,Djundjunan membagi dua para medis.  Sebagian ikut mengungsi dan sebagian tetap di rumah sakit di Situsaeur.  Sewaktu terbentuknya Negara Pasundan, dr. Djundjunan ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan.  Sesudah perang usai Djundjunan menjadi Kepala Jawatan Kabupaten Bandung  pada 1950.   Pengalamannnya sejak masa Hindia Belanda rupa-rupanya memberikannya wawasan yang cukup tentang kesehatan rakyat.

Sekalipun tidak terlalu mencolok  dr. Djundjunan beberapa kali memberikan pandangan terhadap isu politik di Jawa Barat.  Pada 1953  ketika gerakan kedaerahan mulai merebak dia mengeluarkan pernyataan bahwa tidak benar ada separatism di Jawa Barat, tetapi federalism ada.  Hal ini menurut Djunjudnanberhubungan dengan soal kemakmuran  dan juga soal kebudayaan (Pikiran Rakjat, 23 Maret 1953). Dr.Djundjunan juga pernah menjadi anggota parlemen, yaitu DPRD Peralihan  Jawa Barat mewakili   PNI. Sayang saya belum menemukan apa saja yang dilakukannya selama menjadi anggota parlemen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun