Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kritik dan Usulan Terhadap Puteri Indonesia dan Miss Indonesia

25 Februari 2016   17:51 Diperbarui: 24 Maret 2016   21:33 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pemilihan Miss Indonesia 2015 (kredit foto www.tribunnews.com)"][/caption]

 

 

Kontes ratu-ratuan dan kontroversinya  bukan hal  yang baru di  Indonesia.  Pada 1950-an ada rencana menyelenggarakan Miss Pekan Raya Jakarta tetapi batal, karena dapat tantangan bukan saja dari kelompok Islam, tetapi juga organisasi perempuan konservatif nasionalis seperti Perwari,  Wanita Katolik  bahkan juga kelompok kiri.  Berita-berita tentang Miss Universe atau Miss sejenis  berapa kali jadi headline surat kabar era itu, tetapi tidak banyak berpengaruh  di kalangan orang Indonesia.  Kecuali mungkin bagi masyarakat warga Belanda yang masih  banyak di Indonesia pada 1950-an, terutama diKota Bandung. 

Kalau saya simpulkan penentang acara  Miss Jakarta waktu itu ada dua arus besar  argumen mewakili dua “ideologi”, kelompok Islam  karena soal aurat dan bertentangan dengan syariat, tetapi kelompok lain menggugat soal kepatutan  dengan budaya Indonesia dan tentunya anti budaya kapitalisme.   Menarik di era itu  kalau kelompok Islam dan komunis bertengkar soal politik dan bisa saling bunuh untuk itu, tetapi untuk menentang kontes ratu-ratuan mereka kompak (juga terjadi ketika demonstrasi   menentang dansa melibatkan unsur lintas agama, ideologi dan golongan ). 

Bagaimana dengan pemerintah? 11/12 (kata bahasa sekarang)  Presiden Soekarno yang dasarnya memang anti Barat  tentunya termasuk juga di pihak para penentang.  Begitu  juga  parlemen  -masa itu era demokrasi parlemen, tak satu pun partai  yang setuju  acara ratu-ratuan.  Semangat  anti kolonialisme,impreliasme budaya  masa itu begitu gencar.  Apalagi  irian Barat masih di tangan Belanda  dan bisa dituduh mempromisikan budaya imprealis-kolonialisme,  ya, menyerahlah  panitya.

Pada akhir 1950-an  di Kota Bandung diselenggarakan kontes mengendarai skuter  khusus untuk perempuan tanpa  tantangan.  Sekalipun  itu sebetulnya  kontes kecantikan plus keterampilan.   Kritik hanya pada peserta yang dianggap  berbusana tidak pas dengan warna skuternya.   Pada perkembangannya kontes ini menjadi Ratu Vespa pada 1960-an, embrio kontes kecantikan.  Namun waktu itu kontes kecantikan  mewakili perorangan bukan daerah.

Kontes kecantikan Ala Indonesia Versus Lisensi Asing  

Setelah runtuhnya Orde Lama, kontes ratu-ratuan marak sejak 1960-an akhir.  Bukan saja ratu-ratuan tetapi majalah hiburan dengan cover perempuan  dengan pakaian seksi tumbuh bak jamur di musim  hujan.   Pengaruh budaya popular dari negara lain, terutama Amerika  Serikat dan Prancis masuk dengan deras melalui film, media cetak.  Tetapi  di sisi lain muncul gagasan kompromi,  kontes ratu-ratuan ala  Indonesia .  Idenya  perempuan cantik dengan kecerdasan menjual pariwisata Indonesia. 

Penggagasnya antara lain Ali Sadikin,  mulanya dengan Miss Jakarta kemudian menjadi None Jakarta dan akhirnya awal 1970-an menjadi Abang dan None Jakarta  karena menyertakan  peserta dari kalangan pemuda.  Misinya sama: mempromosikan pariwisata.   Kontes serupa diikuti daerah lain,munculah   Mojang dan Jajaka  dari Bandung, Bujang dan Dara Riau , Cak dan Ning  Surabaya. 

Dari segi perempuan beauty terakomodir, brain dapat (pasti harus punya pengetahuan dan berbahasa asing untuk jadi duta wisata), behavior pasti harus mereka punya dan terhindar dari tudingan eksplotasi perempuan karena ada pasangan laki-lakinya.   Mereka juga membawakan gaun malam, tetapi juga pakaian adat, bisa berbahasa asing, tetapi juga mahir bahasa daerah.   Tidak ada resistensi serius  terhadap kontes  jenis ini hingga kini.  Bisnis pun dapat karena sponsor bisa masuk.  Karir?  Wah alumni Abnon, Moka juga bisa dapat tiket ke dunia hiburan,  pengusaha, manajer,  bahkan politik (tanpa harus ikut ajang lainnya seperti Puteri Indonesia).

Persoalannya kontes seperti Abang dan None Jakarta tidak klop dengan keinginan kapitalisme global yang didominasi budaya patriarki  hingga sulit go  internasional.  Miss Universe dan Miss World kemudian masuk dengan memberikan lisensi kontes serupa di Indonesia tentunya dengan bungkus  Beauty, Brain, Behavior sebetulnya nyaris serupa  dengan kontes ratu-ratuan awal. 

Di  sebuah situs  ada yang  memberikan gagasan bahwa kontes seperti ini baik, karena mencerminkan  perempuan harus maju pemikirannya, tidak hanya  tahu dapur dan melayani suami menrut saya seharusnya gugur karena event  ini justru memperkuat budaya patriarki. Apalagi di tingkat internasional  ada sesi peserta  memakai pakaian renang, entah jenis swimsuit atau bikini  dengan  ukuran-ukuran proporsional bersifat fisik.   Sulit dipungkiri bahwa sesi ini adalah hiburan bagi laki-laki (jujur saya laki-laki normal).   Even seperti memberikan kosntruksi apa yang disebut cantik dan proporsional dan itu berkaitan dengan produk.   

Hapuskan  Perwakilan Daerah untuk Puteri Indonesia Mau pun Miss Indonesi                                                                 

Ok, saya fine saja dengan keberadaan kontes kecantikan seperti ini karena sudah keniscayaan sebagai kebudayaan popular global.  Mau dibendung seperti apa  dengan adanya teknologi informasi, mau diblur seperti apa pun di televisi yang katanya menutup aurat perempuan percuma.  Kalau penasaran,  orang yang ingin tahu bisa search di Google.  Di dunia maya ada ribuan situs tentang peserta kontes ratu-ratuan sejagad dengan detail dari negara mana pun.

Yang jadi persoalan ialah ketika  konsep Miss Universe atau Miss Indonesia diadaptasi di Indonesia dengan peserta dari daerah layaknya kontes Miss di Amerika Serikat  dengan wakil negara bagian.  Amerika Serikat cenderung homogen,  sementara Indonesia itu  heterogen.  Daerah itu punya karakteristik khas.   Aceh misalnya adalah daerah Serambi Mekah,  punya aturan daerah sendiri tentunya berang ketika ada peserta mengklaim   mewakili  daerahnya tetapi tidak menampilkan  karakteristik daerah, ya tentu saja banyak yang  berang.  Masih ingat kasus salah seorang peserta  sebuah kontes terkait masalah prostitusi?  Daerah  yang diwakilinya  juga merasa tercoreng. 

Jadi penyelenggara  Putri Indonesia atau Miss Indonesia bukan saja memberikan beban bagi lembaganya sendiri menjaga integritas pesertanya,  tetapi juga daerah yang diwakilinya.  Sensitifitas masyarakat Indonesia tidak semerata di Amerika Serikat dalam  memandang norma.   Boleh saja netizen mencibir hipokrit lah, dikait-kaitkan dengan PNS  daerah itu yang suka pornografi,  dikait-kaitkan dengan daerah itu ada korupsinya, atau alasan lain yang terkesan mencari celah pembenaran, tetapi  tidak bisa dijadikan alasan untuk bisa membenarkan seorang peserta dari suatu aderah mewakili daerah lain yang budayanya bertentangan.

Saya usul kalau begitu pihak  penyelenggara kontes Miss Indonesia atau Puteri Indonesia menghapuskan saja sistem  perwakilan daerah masa mendatang.  Peserta adalah individual mirip pemilihan Wajah Femina.  Peserta boleh mencantumkan asal kota tempat tinggalnya tetapi tidak provinsinya.  Dengan demikian  tidak ada peserta yang terbebani harus berhijab karena dari daerah tertentu.   Kalau dia memang tinggal di Banda Aceh tidak jadi soal,  karena  dia hanya pendatang dan bukan orang asli.   

Selain itu penghapuskan sistem perwakilan daerah tidak memaksa daerah yang tidak  ada warga aslinya berminat mengirim peserta dengan kualitas asal jadi, yang penting ada.   Sebaiknya peserta suatu daerah  yang banyak perempuan yang berminat  ikut dan berkualitas tetapi harus terseleksi karena kuota hanya satu  orang  bisa terakomodir.      

Kalau mau adu kebanggaan daerah, bisa digagas  semacam Abang dan None  Jakarta untuk tingkat nasional.  Jadi perwakilan laki-laki dan perempuan untuk jadi duta wisata nasional.  Abnon DkI Jakarta diadu  pengetahuan, perilaku, penampilan  dengan duta wisata  Jawa Barat, Aceh hingga Papua.  Mereka bebas menampilkan karakter daerah  dan adat istiadat dari pakaian,  tetapi  uji integritas sama bahwa mereka dalam pengetahuan NKRI,  tahu positif dan negatifnya sebuah industru  wisata,  hingga bahasa asing.   Selain  antar daerah bisa saling memahami, ajang ini bisa jadi counter culture bagi  budaya popular luar.

 

Irvan Sjafari  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun