Persoalannya kontes seperti Abang dan None Jakarta tidak klop dengan keinginan kapitalisme global yang didominasi budaya patriarki hingga sulit go internasional. Miss Universe dan Miss World kemudian masuk dengan memberikan lisensi kontes serupa di Indonesia tentunya dengan bungkus Beauty, Brain, Behavior sebetulnya nyaris serupa dengan kontes ratu-ratuan awal.Â
Di sebuah situs ada yang memberikan gagasan bahwa kontes seperti ini baik, karena mencerminkan  perempuan harus maju pemikirannya, tidak hanya tahu dapur dan melayani suami menrut saya seharusnya gugur karena event ini justru memperkuat budaya patriarki. Apalagi di tingkat internasional ada sesi peserta  memakai pakaian renang, entah jenis swimsuit atau bikini dengan ukuran-ukuran proporsional bersifat fisik.   Sulit dipungkiri bahwa sesi ini adalah hiburan bagi laki-laki (jujur saya laki-laki normal).  Even seperti memberikan kosntruksi apa yang disebut cantik dan proporsional dan itu berkaitan dengan produk.  Â
Hapuskan Perwakilan Daerah untuk Puteri Indonesia Mau pun Miss Indonesi                                Â
Ok, saya fine saja dengan keberadaan kontes kecantikan seperti ini karena sudah keniscayaan sebagai kebudayaan popular global. Mau dibendung seperti apa dengan adanya teknologi informasi, mau diblur seperti apa pun di televisi yang katanya menutup aurat perempuan percuma. Kalau penasaran, orang yang ingin tahu bisa search di Google. Di dunia maya ada ribuan situs tentang peserta kontes ratu-ratuan sejagad dengan detail dari negara mana pun.
Yang jadi persoalan ialah ketika konsep Miss Universe atau Miss Indonesia diadaptasi di Indonesia dengan peserta dari daerah layaknya kontes Miss di Amerika Serikat  dengan wakil negara bagian. Amerika Serikat cenderung homogen, sementara Indonesia itu  heterogen. Daerah itu punya karakteristik khas.   Aceh misalnya adalah daerah Serambi Mekah, punya aturan daerah sendiri tentunya berang ketika ada peserta mengklaim  mewakili  daerahnya tetapi tidak menampilkan karakteristik daerah, ya tentu saja banyak yang berang.  Masih ingat kasus salah seorang peserta sebuah kontes terkait masalah prostitusi? Daerah  yang diwakilinya juga merasa tercoreng.Â
Jadi penyelenggara Putri Indonesia atau Miss Indonesia bukan saja memberikan beban bagi lembaganya sendiri menjaga integritas pesertanya, tetapi juga daerah yang diwakilinya. Sensitifitas masyarakat Indonesia tidak semerata di Amerika Serikat dalam memandang norma.   Boleh saja netizen mencibir hipokrit lah, dikait-kaitkan dengan PNS daerah itu yang suka pornografi,  dikait-kaitkan dengan daerah itu ada korupsinya, atau alasan lain yang terkesan mencari celah pembenaran, tetapi tidak bisa dijadikan alasan untuk bisa membenarkan seorang peserta dari suatu aderah mewakili daerah lain yang budayanya bertentangan.
Saya usul kalau begitu pihak penyelenggara kontes Miss Indonesia atau Puteri Indonesia menghapuskan saja sistem  perwakilan daerah masa mendatang. Peserta adalah individual mirip pemilihan Wajah Femina. Peserta boleh mencantumkan asal kota tempat tinggalnya tetapi tidak provinsinya.  Dengan demikian  tidak ada peserta yang terbebani harus berhijab karena dari daerah tertentu.   Kalau dia memang tinggal di Banda Aceh tidak jadi soal, karena  dia hanya pendatang dan bukan orang asli.  Â
Selain itu penghapuskan sistem perwakilan daerah tidak memaksa daerah yang tidak  ada warga aslinya berminat mengirim peserta dengan kualitas asal jadi, yang penting ada.   Sebaiknya peserta suatu daerah yang banyak perempuan yang berminat ikut dan berkualitas tetapi harus terseleksi karena kuota hanya satu  orang  bisa terakomodir.    Â
Kalau mau adu kebanggaan daerah, bisa digagas semacam Abang dan None Jakarta untuk tingkat nasional. Jadi perwakilan laki-laki dan perempuan untuk jadi duta wisata nasional. Abnon DkI Jakarta diadu pengetahuan, perilaku, penampilan  dengan duta wisata Jawa Barat, Aceh hingga Papua. Mereka bebas menampilkan karakter daerah  dan adat istiadat dari pakaian, tetapi uji integritas sama bahwa mereka dalam pengetahuan NKRI, tahu positif dan negatifnya sebuah industru  wisata, hingga bahasa asing.   Selain  antar daerah bisa saling memahami, ajang ini bisa jadi counter culture bagi budaya popular luar.
Â
Irvan Sjafari Â