Wartawan Indonesia pertama kali mengadakan unjuk rasa bukan untuk menuntut kesejahteraan, tetapi menuntut haknya yang terkait dengan kebebasan pers. Di antaranya Hak Tolak atau hak ingkar/hak dimana wartawan karena profesinya, menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Rabu, 5 Agustus 1953 pukul 9.30 aksi unjuk rasa ini dimulai dengan berkumpulnya sekitar seribu wartawan di depan Gedung balai Wartawan Jakarta.
Para jurnalis ini datang dari Persatuan Wartawan Indonesia Kring (Cabang ) Jakarta, yang diperkuat oleh Serikat Perusahaan Surat kabar (SPS), Persatuan Wartawan Tionghoa, Reportersclub, para mahasiswa Akademi Wartawan . Ikut berunjukrasa para wartawan dari kota-kota lain seperti Bandung, Medan, dan Surabaya. Ketua panitya aksi unjuk rasa wartawan itu adalah Mochtar Lubis, pimpinan Indonesia Raya.
Pukul 10.00 para demonstran bergerak menuju Gedung Kejaksaan Agung. Rombongan demonstran ini didahului serombongan pengendara sepeda motor. Berjalan di belakang pengendara motor, Asa Bafaqih yang diapit oleh dua puteri mahasiswi Akademi Wartawan. Asa Bafaqih, salah satu pimpinan Kantor Berita Antara waktu itu, serta salah seorang wartawan yang pernah ikut menyebar berita tentang Proklamasi Kemerdekaan RI pada awal kemerdekaan. Kelahiran 18 Desember 1918 ini adalah editor harian Pemandangan sejak masa Kolonial (1933-1938).
Para wartawan diterima oleh Jaksa Agung. Mereka melanjutkan perjalanan ke Gedung Parlemen dan diterima oleh Mr. Sartono. Sesudah selesai kunjungan pada Ketua Parlemen, para jurnalis bergerak ke Gedung Dewan Menteri di Pejambon. Wakil Perdana Menteri Mr. Wongsonegoro, Zainul Arifin, Menteri Kehakiman Mr. Djodi Gondokusumo, serta Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan Ruslan Abdulgani.
Para wartawan memprotes tuntutan jaksa terhadap Asa Bafaqih yang dituntut Kejaksaan Agung karena menolak menyebutkan sumber beritanya mengenai rencana penanaman modal asing baru yang dimuat di “Harian Pemandangan” 18 Maret 1953 dan rancana gaji baru bagi pegawai negeri di harian Pemandangan 21 Agustus 1953. Kabinet Wilopo menuding Pemimpin Redaksi “Harian Pemandangan”, Asa Bafaqih membocorkan rahasia negara melalui sejumlah pemberitaan tentang rencana pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri dan membuka investasi asing bagi 21 jenis industri baru. Rupanya pemerintah waktu itu belum terbiasa menghadapi hak merahasiakan narasumber wartawan.
Dalam demonstrasi itu para wartawan juga memprotes perlakukan terhadap wartawan A.A, Johansyah yang menulis di “Harian Tugas”, Balikpapan diperlakukan seperti kriminal.
Tuntutannya :
Pemerintah membatalkan penuntutan terhadap Asa Bafaqih.
Pemerintah mengoreksi perlakuan tidak selayaknya pada wartawan.
Agar pemerintah memberi jaminan akan memberikan perlakuakn selayaknya terhadap wartawan.
Agar pemerintah memperhatikan kemerdekaan pers dan berbicara.
Agar pemerintah mengakui Hak Ingkar (verschoningsrecht) wartawan.
Agar pemerintah dam parlemen mempercepat terbentuknya Undang-undang Pers yang menjamin hak-hak kemerdekaan pers dan bicara.
Agar pemerintah segera menghapuskan undang-undang kolonial yang merupakan ranjau pers.
Agar pemerintah sebelum terbentuknya undang-undang pers dan penghapusan undang kolonial itu, telah menjalankan kebijaksanaannya yang sesuai dengan dasar-dasar kemerdekaan pers dalam negara merdeka.
Para demonstran melihat bahwa alasan penuntutan khususnya terhadap Asa Bafaqih adalah ancaman langsung pada kebebasan pers. Tuntutan itu didasarkan pada undang-undang kolonial yang seharusnya sudah dihapuskan. Akibat tuntutan jaksa ini memaksa wartawan memperkosa kode etik jurnalistik.
Jaksa Agung Suprapto menanggapi tuntutan wartawan menyebutkan sebagai jaksa agung dalam menjalankan tugasnya selalu memperhatikan kepentingan negara. Jaksa Agung Suprapto memperingatkan pemerintah telah meminta kepadanya agar mengambil tindakan seperlunya mengenai soal tersebut. Suprapto mengatakan bahwa ia belum mengambil suatu tindakan dan ia masih mengambil pertimbangkan segala sesuatu lebih lanjut.
Mr. Wongsonegoro sebagai wakil pemerintah dalam kata sambutannya antara menuturkan bahwa peristiwa ini mendapat perhatian pemerintah. Dia mengakui Hak Kemerdekaan Pers salah satu segi demokrasi. Kemerdekaan pers adalah bagian dari hak asasi manusia. Wongsonegoro berjanji bahwa masalah ini akan ditinjau oleh kabinet baru (Perdana Menteri pada waktu itu Ali Sastroamidjojo). Menteri Kehakiman Mr. Djodi Gondokusumo malah menyebutkan bahwa dirinya pernah jadi wartawan “Pemandangan” antara 1935-1940. Ruslan Abdulgani menyebutkan pers tidak bisa dilepaskan dari perjuangan.
Di antara para demonstran terdapat nama Suardi Tasrif SH, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Kode Etik Indonesia, seorang pengacara dan jurnalis besar Indonesia. Kasus ini kemudian dipetieskan. Namun sejarah pencatat justru Mochtar Lubis masuk penjara sebagai jurnalis.
Irvan Sjafari
Sumber:
Pikiran Rakjat, 6 Agustus 1953
Semma, Dr.Mansyur, Negara dan Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor, 2008
http://aji.or.id/read/berita/204/tasrif-award-dan-udin-award-2013.html diakses 9 Februari 2016
Sumber Foto:
Pikiran Rakjat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H