Persoalannya calon-calon yang disebut oleh kawan Thomson Cyrus sebagai “pengembira” itu tidak punya konsep apa pun seperti apa Jakarta dibangun. Karena kebanyakan calon yang dimajukan itu berlatar belakang politisi. Ada kesan bahwa calon-calon dari politisi (apalagi politisi Senayan) kurang dipercaya dan membuat tanda tanya besar ada apa dengan kaderisasi partai. Apa hanya bisa menghasilkan pemimpin yang jago bicara Nah Kang Emil sudah punya protipe, begitu juga Tri Rismaharini . Persoalannya apakah protipe Kang Emil cocok Jakarta? Saya kira tidak. Begitu juga dengan Tri Rismaharini.
Dari sejarahnya Jakarta itu gabungan kampung besar ( The Big Village) yang disatukan oleh Ali Sadikin yang mentransformasi Jakarta menjadi kota metropolitan. Hingga 1950-an akhir sebetulnya kota metropolitan dalam arti gaya hidup dan ruang hidup justru Bandung. Ali Sadikin punya trek dan konsep yang jelas dan juga keras pada kebijakannya. Sikap inilah yang dibutuhkan oleh Jakarta. Sampai saat ini menurut saya yang mendekati Ali Sadikin adalah : Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Pemimpin yang keras bisa menghadapi kelompok-kelompok informal di Jakarta. Selain itu kesetiaan warga Jakarta terhadap kotanya tidak seperti kesetiaan warga Bandung atau kota seperti Yogyakarta, karena banyak dari mereka pendatang yang kerap pulang kampung. Mengatur tata kota Jakarta juga lebih sulit karena karakter di bagian utara beda dengan di bagian Selatan. Demografinya juga beragam. Belum lagi terlalu banyak kepentingan di Jakarta. Kota ini jadi strategis dan politis hanya karena dia ibukota. Coba kalau ibukotanya pindah dan Jakarta hanya kota perdagangan.
Saya pribadi tidak suka pada calon-calon berlatar belakang politisi untuk memimpin kota : berisik (banyak omong, banyak jargon, dan terlalu banyak hitung-hitungannya). Kota itu harus dibangun seorang insinyur, ahli tata kota, ekonom, profesional seperti dokter, seorang budayawan atau militer. Sampai saat ini kota yang jelas treknya ialah yang dibangun oleh insinyur, seperti Solo, Surabaya dan Bandung. Paling tidak tata kotanya bagus. Kalau di tangan ekonom, kehidupan ekonomi warganya baik, di tangan budayawan, kehidupan sosial maju, kalau di tangan militer paling tidak tata tertib ditegakan. Lain halnya kalau memimpin propinsi seperti Jawa Barat atau menjadi presiden tentu faktor politik penting.
Dari situ saya nggak yakin Kang Emil juga cocok menjadi Gubernur Jawa Barat, karena propinsi ini bukan hanya Bandung. Jadi menggadang-gadang Kang Emil untuk posisi ini juga tidak terlalu tepat. Jadi sebenarnya apa maunya para politisi itu mengusung Kang Emil? Rasanya saya setuju dengan Thomson Cyrus targetnya jadi calon presiden untuk 2019. Sebab di kelompok Gerindra dan PKS kalau tetap mengusung Prabowo akan selalu mendapatkan resistensi: lain halnya dengan Kang Emil. Tetapi kan untuk menjadi kandidat Presiden ada faktor momentum dan calon alternatif? Dan itu tidak harus dari Gubernur DKI Jakarta atau Gubernur Jawa Barat, tetapi juga bisa dari wali kota.
Tetapi sebelum itu saya menunggu Bandung menjadi kota paling kreatif, warganya paling happy, UKM paling maju, warga yang punya pendidikan tinggi paling banyak dan paling hebring setidaknya se-Indonesia, barulah bicara Kang Emil jadi presiden. Tentunya tidak tergesa-gesa dan bukan sekadar memuaskan keinginan para politisi parpol.