Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertemu Kembali Sahabat dari BSB Alang-alang dari Ciawi (Merambah Pamulang)

21 Januari 2016   20:53 Diperbarui: 22 Januari 2016   00:54 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Walau pun tak semua anak menyimak. Kegiatan menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan Pancasila, hingga berdoa rutin dilakukan (kredit foto Irvan sjafari)"][/caption]

Sepintas rumah yang terletak dalam sebuah kompleks hunian di kawasan Pamulang itu tidak ada bedanya dengan rumah lain.  Namun ketika saya  dan tiga anak bimbingan saya di WartaTV memasuki rumah  itu ruang tamunya  disulap menjadi ruangan TK lazimnya,  ada matras dan kursi kecil. Di dinding ada tabel berisi kegiatan yang disusun arah  jarum  jam.  Mulai dari Morning Routine, pledge (membuat janji), greeting time, group time, snack time, planning time, free time,recall time, evaluation time, after school routine, dan  fun adventure.  Maksudnya Mourning Routine ialah meletakan sepatu di rak yang sudah disediakan di  beranda rumah,  cuci tangan,kemudian  mengikuti upacara bendera, menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, membaca Pancasila hingga Sumpah Pemuda.   Hari itu Kamis, 21 Januari 2016 saya mengajak tiga anak PKL dari sebuah SMK untuk membuat berita video dengan konsep Citizen Journalism.   Saya memilih lembaga pendidikan ini untuk latihan peliputan mereka.

 

Ada sekitar tujuh anak  anak usia 2-6 tahun mengikuti prosesi itu walau yang menyimak hanya seorang dan yang lain ada yang berbaring dan bermain.  Empat pendidik di sana membiarkan saja karena memang begitulah anak-anak umumnya.  Paling tidak  anak-anak itu mendengar lagu “Indonesia Raya”, pembacaan Pancasila  tiga hari berturut-turut, yaitu Rabu-Jum’at  setiap minggu.  Kemudian seorang pembimbing memimpin mereka membaca doa  (kebetulan semua muslim).  Tetapi  bila ada siswa non muslim boleh membaca doa menurut kepercayaannya.     

Anna Effana,33 tahun (coordinator) Student Center dari lembaga bernama KAIT  a Tailored Education ini memperkenalkan kami satu demi pada anak-anak.  Kami berempat digambar di papan tulis putih dan anak-anak itu bertanya siapa nama masing-masing  dari para tamu  yang ingin meliput  kegiatan belajar dengan cara bertanya yang polos.  Menurut Anna  konsep pengajarannya disesuaikan dengan kebutuhan  anak, seperti baju yang dijahit sesuai dengan badan si anak.       

“Selain  itu setiap pelajaran ditanamkan nilai. Pelajaran menggambar misalnya anak-anak bersyukur bahwa diberikan Tuhan tangan,”  ungkap Anna. Menurut cerita dia di akhir belajar, ada sesi di mana anak-anak diajarkan merenung perbuatan baik apa yang mereka lakukan hari ini.    

Hal  yang senada  juga diungkap  R Egi Wahyuni,35  tahun  salah seorang instruktur  melihat manfaat positif lain bila seorang anak menemukan karakter dirinya.   Bila seorang anak menyadari dirinya unik dan punya karakter unik, dia tidak akan membully anak lain yang dianggap unik (aneh).  Bully itu sebetulnya hanya dilakukan oleh seorang anak yang tidak suka pada seorang anak, tetapi teman-teman lain mengikuti.  Bila semua anak  bisa diajarkan  menyadari betapa setiap anak masing-masing unik maka perilaku bully ini bisa dihilangkan.

“ Tak jauh dari tempat anak-anak itu belajar terdapat sebuah rumah yang mempunyai tanaman yang rimbun.  Anak-anak itu kemudian mengamati banyaknya ulat. Ada yang memperhatikan bagaimana ulat hijau begitu rakus mengunyah daun.   Kemudian kami mengajarkan soal kupu-kupu, sambil bercerita soal ulat.  Hal ini yang kami ajarkan agar anak mengenal  lingkungannya. Ini  yang membedakan dari TK lain  yang cenderung seragam kurikulumnya,” tutur perempuan yang pernah menjadi pengara TK dan Pre School Internasional  ini.

Hari itu  kami  melihat bagaimana anak-anak bermain  sesuai keinginannya  pada segmen free time.  Ada yang bermain robot.  Ada yang yang main dokter-dokteran.  Para instrukturnya hanya menemani seperti yang mengingatkan saya pada falsafah  Ki Hajar Dewantoro, tut wuri handayani.    Sebelum snack time dan free time, anak-anak   juga diberikan kesempatan sepuluh menit untuk menonton Upin dan Ipin, hingga akhirnya diajarkan mengenal tanah dan tanaman.  Kegiatan ini diakhiri dengan cuci tangan dengan sabun.    Kami terkesima  anak  umur dua tahun  dengan santai naik turun tangga tanpa takut jatuh.  

[caption caption="Anak-anak belajar mengenal lingkungan tempat tinggal dan tempatnya belajar."]

[/caption]

Para pendidik di sini tahu bahwa anak-anak sebetulnya punya radar (insting), tetapi lingkungannya yang membuat radar itu tidak dipergunakan. “Kalau begitu yang namanya phobi itu tidak ada?” tanya saya. Egi menjawab bahwa phobi itu seharusnya tidak terjadi apabila orangtua dan lingkungan di sekitar anak tidak membuat anak-anak muncul takutnya.  Hal itu  (tidak sengaja) tertanam waktu kecil dan akhirnya menjadi phobi  setelah dewasa.

[caption caption="Anak-anak boleh bermain apa yang dibutuhkannya."]

[/caption] 

Berawal dari BSB Alang-alang

Dua dari lima instruktur di KAIT  ini sudah saya kenal  sewaktu mengunjungi   Bermain Sambil Belajar  (BSB) Alang-alang  di kawasan Ciawi hampir empat tahun lalu ( Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/intip-belajar-sambil-bermain-alang-alang-di-ciawi_550de466813311c72cbc6012 )  dan http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/falsafah-burung-hantu-di-bsb-alang-alang-ciawi-bogor_5510dd5b813311573bbc7094). Kedua sahabat saya itu,  Tuti Lestari, 25 tahun bukan lagi siswi SMK  tetapi seorang ibu rumah tangga yang juga menimba ilmu di universitas terbuka, sekaligus instruktur utama.  

Tuti ini bahkan dulu didikan BSB Alang-alang ketika masih kanak-kanak.  Lainnya adalah Nova Agnesha, 29 tahun yang saya kenal juga di Ciawi, Bogor.  Ibu rumah tangga  ini juga menimba ilmu di jurusan komunikasi sambal menjadi instruktur.  Dia punya cita-cita tak ingin perempuan di daerahnya (dipaksa) menikah muda, pendidikannya terbengkalai hingga menyadari soal  kesehatan reproduksi.  Selain di Pamulang dan KAIT di Ciawi, Nova juga mempelopori sebuah lembaga pendidikan di kampungnya untuk menyiapkan anak-anak agar menjadi SDM yang cakap di berbagai bidang, di antaranya wisata.  Apalagi Disneyland dikabarkan akan didirikan di daerah Lido.  “Saya tidak ingin anak muda kampung kami hanya menjadi tukang sapu atau menjadi tukang ojek,” katanya.     

Alang-alang kini sudah merambah.  Anak-anak yang dididik di lembaga ini  merupakan salah satu contoh masyarakat madani.  Sewaktu  saya berkunjung ke BSB Alang-alang di Ciawi, saya diajak melihat aktifitas sosial memberi makan lansia  yang terlantar di rumah gubuk  oleh para remaja.  Nah anak-anak di sini diajar  mengetuk rumah tetangga  menawarkan kue yang mereka buat bersama (tentunya dibawah bimbingan)  dalam program cooking.  Inilah  lembaga pendidikan yang mengajak anak bermain sambal belajar  sekaligus  menanamkan ahlak.

Saya tidak tahu  bisa berkata apa kalau ada anak kecil –di kompleks perumahan di  Jakarta  (dan sekitarnya)  kerap tidak mengenal tetangganya- tiba-tiba mengetuk rumah dan menawarkan:  “Om, mau kue yang saya buat?” Sambil memperlihatkan wajahnya yang polos.

Irvan Sjafari  (bersama anak-anak PKL SMK Link and Match,  Ogi Shonya Tiara, Riko Septian, Dafa Nugraha)   

Foto-foto dokumen pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun