Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bandung 1958 (14) : Si Gadis dan Bengawan, Kelangkaan Rokok dan Kriminalitas Anak-anak

20 Januari 2016   19:41 Diperbarui: 21 Januari 2016   19:25 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang akhir 1958 ekonomi tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Para spekulan memanfaatkan gonjang-ganjing harga sejumlah komoditi untuk kepentingannya. Harga emas 24 karat sudah mencapai Rp130-140/per gram. Masalah beras  juga masih sulit diselesaikan. Harga beras di Bandung memasuki Oktober 1958 masih tetap tinggi. Beras giling kualitas I dibandroll dengan harga Rp6,50 per liter (atau  sekitar Rp 10/kg), sementara kualitas II dan III Rp 6 dan Rp 5,50  perliternya. Sementara untuk beras tumbuk dibandroll dengan harga Rp 5.50 hingga Rp 6 per liter (atau antara Rp 7-9 per kg).   Harga emas di kota kembang untuk 24 karat Rp130/gram  belum termasuk pajak 10%.

Kepala Daerah Swastantra I Jawa Barat Oja Somantri mengemukakan gagasan  salah satu solusi mengatasi kesulitan beras untuk warga Jawa Barat ialah memperbanyak tanaman gadung1, yang memang menjadi makanan rakyat. Namun ia mengakui bahwa tanaman gadung tidak bisa seterusnya dijadikan pengganti beras.  Catatan sejarah menunjukkan ketika Batavia dikepung pada 1628 masyarakat di dalam kota memakan singkong dan gadung. Namun belakangan diketahui apabila tidak dikelola dengan baik gadung bisa menjadi racun. Pada perkembangannya gagasan ini tidak mendapatkan dukungan.  

Politisi  lainnya, yaitu anggota DPRD Swatantra I Jawa Barat Abdul Hamid yang juga menjadi anggota Badan Pembelian Padi Jawa Barat mendukung kebijakan angkatan perang  untuk menertibakan perdagangan antar pulau hingga mempersempit ruang gerak para spekulan. Persoalan utama ialah harga di Jawa dan di luar Jawa perbedaan sangat tinggi. Pemerintah bisa saja menekan harga beras di Jakarta Rp6.50/kg tetapi di Palembang harganya  menjadi Ro 12,50/kg, Pontianak Rp15/kg, Kalimantan Selatan Rp17,50/kg. Hal ini membuat pedagang beras tertarik untuk mengurangi peredaran beras di Jawa Barat.  Penguasa perang bahkan mengeluarkan aturan bahwa peredaran beras 5kg saja harus memakai surat keterangan.         

Cara lain ialah  menyalurkan beras injeksi untukmenstabilkan harga  juga juga tidak mudah. Beras injeksi selain menghadapi kendala kenaikan transport,  harga beras import JUBM ini terlalu rendah dibanding harga di luar. Padahal  beras ini vital karena ditunjukan untuk pegawai dan rakyat kecil. Menteri Perdagangan Muljomiseno akhirnya juga menaikan harga beras injeksi menjadi Rp6/kg ketika sudah berada di tangan pembeli. Namun gozali Sahlan anggota Dewan Bahan Makanan  meminta keputusan itu baru berlaku sejak 1 Januari 1959. Resminya harga beras ijeksi untuk Jawa Barat Rp5,50 tetapi kenyataanya di pasar beras tetap tinggi.  

Usaha lain meningkatkan produksi beras dilakukan pemerintah dengan menunjuk Jawatan Pertanian Jawa Barat melaksanakan proyek meningkatkan produksi padi dengan cara memperbaharui bibit. Balai Penyelidikan Padi di Bogor memberikan petunjuk dengan mengenalkan bibit yang disebut jenis Bengawan dan Si Gadis. Pembaharuan bibit ini sebenarnya sudah dilakukan sejak 1934 atau vermeerderaars system. 

Bibitnya dinamakan bibit vermeerderas (bv). Pada 1934-1954 tanaman bibit 5000 hektar. Balai Penyelidikan Bogor kemudian menyebar bibit jenis Si Gadis ketiga tempat yaitu Tjihea (Cianjur), Binong (Purwakarta) dan Buahbatu (Kabupaten Bandung). Akhir Oktober-November bibit direncanakan dipinjamkan ke petani untuk dijadikan bibit perluasan 10 ribu hektar. Degenerasi akibat percampuran dengan jenis lain adalah resikonya. 

Menurut Sumardi (1983,25-27), Si Bengawan dan Si Gadis ditemukan seorang alumnus Sekolah Menengah pertanian Bogor, yang bekerja dalam penelitian padi masa Hindia Belanda  bernama Hadrian Siregar. Dia menemukan Si Bengawan dan Si Gadis bersama varietas unggul lain seperti Fajar, Cahaya.  Pada 1945 dia diangkat menjadi pegawai tinggi  pada Balai Besar Penelitian Pertanian Bogor

Namun hingga  1965, hasil tiap-tiap hektar padi di Indonesia relatif rendah. Penyebab rendahnya hasil disebabkan oleh karena keadaan iklim, kurangnya penggunaan pupuk, dan obat-obatan pengendalian hama dan penyakit. Varietas-varietas padi yang digunakan pada waktu itu, umumnya mudah rebah dan hasil gabahnya banyak yang hampa apabila diberi pupuk nitrogen yang banyak. Varietas-varietas tersebut juga tergolong varietas yang berbatang tinggi, berdaun lebar, dan berumur sedang sampai dalam. Secara fisiologis sifat-sifat tanaman seperti ini adalah kurang menguntungkan untuk pertanian intensif.

Ketika Rokok Hilang dan Ancaman Spekulan  Benang

Pada akhir Oktober 1958  sesudah beras, bensin, dan minyak tanah menghilang, rokok pun menyusul hilang di toko-toko  Kota Bandung, baik merek dalam kelompok  BAT mau pun merek lain.  Harga rokok di eceran meningkat tinggi.  Satu bungkus rokok yang tadinya dibandroll Rp0,50 menjadi Rp1,25 bahkan bisa mencapai Rp6. Rokok yang hilang  mulanya merek Commodore yang membuat perokok beralih ke Lancer dan Escort. Tetapi rokok kedua merek ini menyusul hilang. 

Para pedagang  menyebutkan alokasi  berkurang. Biasanya satu bal menjadi beberapa slof saja.  Rokok Lancer yang biasanya satu ball per minggu hanya 3 slof saja. Hilangnya rokok sebetulnya hanya sedikit menganggu  golongan menengah ke atas. Hingga 1960-an rokok merek luar negeri masih tergolong barang mewah. Namun karena terlalu banyak komoditi yang hilang,  kelangkaan rokok ikut menjadi isu.  

Harga benang katun juga dilaporkan mengalami kenakan berkisar Rp 200-250.  Harga Benang katun per baal dijual antara Rp 11.000 (10/s) hingga Rp14.000 (40/s).  Sementara benang jenis stpale fibre mencapai Rp 13.500 per baal.  

Kenaikan harga benang dikhawatirkan bakal memukul industri tekstil. Di Jawa Barat terdapat 9261 alat tenun mesin dan 56.455 bukan mesin.  Pemerintah pada masa itu sebetulnya memberikan fasilitas  kepada industri tekstil nasional bantuan benang, tetapi aturan yang dikeluarkan Menteri Perdagangan malah dijadikan bahan sepekulan oleh pemegang uang dengan memepralat pengusaha ekonomi lemah. Hal itu diperingatkan M.Tabrani dari DPRD Swastantra Jawa Barat.

Hantu spekulan juga terjadi pada produk lain. Kebijakan lain dari menteri perdagangan ialah keputusan menetapkan harga eceran tertinggi di seluruh Indonesia untuk susu bayi. Untuk sekaleng susu SMA dibandroll Rp15,90, Dumex Rp16,75, Eledon Rp17,30, Camelo II Rp16,72 Lactigen Rp18,50, Eledon Rp17,30, Elwitt Melkpoeder Nutricia dijual Rp29. Selain harga eceran ditetapkan ditetapkan abhwa seorang pembelimkasimal hanya dua kaleng,

Peningkatan  Angka Kriminalitas 

Tekanan ekonomi  meningkatkan angka kriminalitas. Kepolisian Keresidenan Priangan mengeluarkan laporan pada pertengahan Oktober 1958 apabila pada  triwulan kedua  angka kriminalitas 4940 kasus, maka paad triwulan ketiga meningkat  menjadi 5119 kasus. Jumlah kasus yang diselesaikan pada triwulan kedua 1375 perkara dan triwulan ketiga jumlah yang diselesaikan 1527 perkara. Jumlah kerugian pada triwulan kedua mencapai Rp 9.697.249,85  maka triwulan kedua  jumlah kerugian menjadi Rp15.827.985,16.

Barang yang menjadi favorit pencuri adalah sepeda. Pada 1958  jumlah sepeda di kota Bandung mencapai 250 ribu buah. Kepala Reserse Kriminal Keresidenan Priangan Iman Supojo merilis laporan pada akhir Oktober 1958 sekalipun terjadi penurunan jumlah sepeda yang dicuri dibanding 1957, tetapi  jumlah sepeda yang hilang setiap bulannya tetap besar. Apabila pada 1957 jumlah sepeda yang dilaporkan hilang rata-rata 300 per bulan, maka 1958 jumlahnya 200 per bulan.

Polisi kemudian  menekan toko, sekolah, perkantoran agar menyediakan karcis bagi mereka yang memarkir sepeda. Toko penjual sepeda rongsokan  diminta mendaftarkan diri dua kali seminggu. Mereka harus melaporkan jumlah sepeda yang dibeli atau yang dijual. Kepolisian Keresidenan Priangan  juga mengeluarkan peraturan agar pemilik sepeda mendaftarkan sepedanya pada November 1958. Pemilik sepeda diminta membawa surat keterangan penduduk, surat keterangan kepemilikan sepeda, serta surat keterangan pemilikan sepeda dari lurah.

Keterlibatan anak-anak baik sebagai korban dan pelaku kriminal  juga menjadi perhatian aparat kepolisian. Surat pembaca Pikiran Rakjat dalam Oktober 1958 menceritakan kasus yang menimpa siswi Sekolah Rakyat bernama Ani Sumarni yang dicegat di depan Toko Irian, Jalan Oto Iskandar Di Nata oleh seorang perempuan usia 20 tahun. Anak itu sempat dibawa naik beca dan hendak dibawa ke Banjaran, namun akhirnya diturunkan di jalanan dan anting-antingnya diambil. Kasus lain Patimah, murid Sekolah Rakyat usia 15 tahun mengalami pelecehan seksual oleh seorang pemuda bernama Djuanedi. Kasus yang sudah dilaporkan ditarik karena Djuanedi mau menikahi Patimah.

Kepala Reskrim Keresidenan Priangan,  Kom.Pol Iman Supojo (soepojo ejaan lama) dalam tulisannya “Menghadapi Masalah anak-anak, Orang Dewasa Banjak salah” dalam Pikiran Rakjat 28 Oktober 1958 menyebutkan beberapa kasus kriminal melibatkan anak usia 12-15 tahun di Kota Bandung  harus masuk penjara.  

Ahun, 15 tahun mencuri pakaian lalu dijual di tukang loak di Balubur pada maret 1958 mendapatkan Rp10 terkena pasal 362 KUHP. Edin Bin Hoe, 12 tahun menggelapkan uang penjualan es krim dari seorang pedagang Tionghoa di dekat Capitol pada 11 Mei 1958 terkena pasal 372 KUHP. Kerugian sang pedagang Rp12,30. Embik, 14 tahun murid Sekolah Rakyat bersama dua kawannya Komar,15 tahun murid Sekolah Rakyat, serta Tjatja bin Apin,15 tahun ditangkap karena mencuri 88 biji sabun untuk membeli alat-alat sekolah dan menolong ibu mereka yang kurang penghasilan.

Kriminalitas melibatkan anak-anak  ini menambah problem polisi karena waktu itu marak crossboy dan cross girl. Iman Supojo menawarkan solusi yang harus dilaksanakan pemerintah, yaitu petugas khusus pemeliharaan anak dan dipisahkan dari pengaruh jelek dari  tahanan  dewasa. Ia juga mengusulkan pembentukan polisi bagian kanak-kanak  dengan polisi wanita khusus hingga pengadilan anak-anak. Pada waktu itu polisi Bandung seperti diungkapkan Iman Supojo  juga menyadari memasukan anak-anak ke penjara sama dengan menyekolahkan mereka sekolah kriminal yang lebih tinggi.

“Keselamatan anak-anak tidak boleh bertentangan dengan negara, melainkan kebalikannya keselamatan negara adalah tergantung dari cara bagaimana anak-anak dilindungi dan dituntun,”  kata Iman Supojo.  

Irvan  Sjafari

Catatan tambahan

1. Beberapa tempat di Kota Bandung kemungkinan dari nama tanaman. Cigadung misalnya dari tanaman Gadung, nama Cihampelas kemungkinan diambil dari nama Hampelas (bahasa Sunda dan bahasa Melayu) atau rampelas (bahasa Jawa). Tumbuhan hampelas termasuk keluarga Moraceae yang tingginya sampai 20 meter dengan gemang 50 cm, tumbuh di seluruh Indonesia, tersebar pada ketinggian kurang dari 1.300 m dpl. Kesambi atau kosambi (Schleichera oleosa) mungkin menginspirasi nama sebuah pasar di Kota Bandung  adalah nama sejenis pohon daerah kering, kerabat rambutan dari suku Sapindaceae. Beberapa nama daerahnya, di antaranya kasambi (Sd.); kesambi, kusambi, sambi(Jw., Bal.); kasambhi (Md.); kusambi, usapi (Tim.); kasembi, kahembi (Sumba); kehabe (Sawu); kabahi(Solor); kalabai (Alor); kule, ule (Rote); bado (Mak.); ading (Bug.). Dadap atau cangkring adalah sejenis pohon anggota suku Fabaceae (=Leguminosae). Tanaman yang kerap digunakan sebagai pagar hidup dan peneduh ini memiliki banyak sebutan yang lain. Di antaranya dadap ayam, dadap laut (Jw.; dadap blendung (Sd.); theutheuk (Md.); dalungdung (Bal.); deris (Timor);galala itam (Maluku) dan lain-lain. (http://oenank.tumblr.com/post/2823020104/nama-daerah-nama-tanaman)  diaskes pada 18 Januari 2016.

Sumber:        

Pikiran Rakjat  11 Juli 1958, 15 Juli 1958, 6 Agustus 1958,  8 Agustus 1958, 11 agustus 1958, 12 Agustus 1958,   16 Agustus 1958, 1 Oktober 1958,  11  Oktober 1958,  16 Oktober 1958,  17 Oktober 1958, 21 Oktober 1958, 22 Oktober 1958, 23 Oktober 1958,  29 Oktober 1958,   30 Oktober 1958

Creutzberg, Pieter; Laanen, J.T.M. van Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia hal.39 – 40. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

Shahab, Alwi, Saudagar Baghdad dari Betawi, Jakarta, Republika, 2004

Sumardi, Drs, Hadrian Siregar: Hasil Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Depdikbud,1983

https://santijehannanda.wordpress.com/category/tentang-bandung/  diakses pada 18 Januari 2016

http://mynature-faiq.blogspot.co.id/2010/07/padi.html   diakses pada 20 Januari 2016

https://alwishahab.wordpress.com/2008/06/05/kehidupan-ramaja-1950-an/  diakses pada 20 Januari 2016

 

Sumber Foto:

Toko Irian di Jalan  Oto Iskandar Di Nata 1950-an  (kredit foto https://onthelclassic.files.wordpress.com/2011/12/jln-raya-timur-bandoeng-1950an.jpg)

Rokok tempo dulu (kredit foto  http://tonyantique.blogspot.co.id/2012_10_01_archive.html)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun