Harga benang katun juga dilaporkan mengalami kenakan berkisar Rp 200-250. Harga Benang katun per baal dijual antara Rp 11.000 (10/s) hingga Rp14.000 (40/s). Sementara benang jenis stpale fibre mencapai Rp 13.500 per baal.
Kenaikan harga benang dikhawatirkan bakal memukul industri tekstil. Di Jawa Barat terdapat 9261 alat tenun mesin dan 56.455 bukan mesin. Pemerintah pada masa itu sebetulnya memberikan fasilitas kepada industri tekstil nasional bantuan benang, tetapi aturan yang dikeluarkan Menteri Perdagangan malah dijadikan bahan sepekulan oleh pemegang uang dengan memepralat pengusaha ekonomi lemah. Hal itu diperingatkan M.Tabrani dari DPRD Swastantra Jawa Barat.
Hantu spekulan juga terjadi pada produk lain. Kebijakan lain dari menteri perdagangan ialah keputusan menetapkan harga eceran tertinggi di seluruh Indonesia untuk susu bayi. Untuk sekaleng susu SMA dibandroll Rp15,90, Dumex Rp16,75, Eledon Rp17,30, Camelo II Rp16,72 Lactigen Rp18,50, Eledon Rp17,30, Elwitt Melkpoeder Nutricia dijual Rp29. Selain harga eceran ditetapkan ditetapkan abhwa seorang pembelimkasimal hanya dua kaleng,
Peningkatan Angka Kriminalitas
Tekanan ekonomi meningkatkan angka kriminalitas. Kepolisian Keresidenan Priangan mengeluarkan laporan pada pertengahan Oktober 1958 apabila pada triwulan kedua angka kriminalitas 4940 kasus, maka paad triwulan ketiga meningkat menjadi 5119 kasus. Jumlah kasus yang diselesaikan pada triwulan kedua 1375 perkara dan triwulan ketiga jumlah yang diselesaikan 1527 perkara. Jumlah kerugian pada triwulan kedua mencapai Rp 9.697.249,85 maka triwulan kedua jumlah kerugian menjadi Rp15.827.985,16.
Barang yang menjadi favorit pencuri adalah sepeda. Pada 1958 jumlah sepeda di kota Bandung mencapai 250 ribu buah. Kepala Reserse Kriminal Keresidenan Priangan Iman Supojo merilis laporan pada akhir Oktober 1958 sekalipun terjadi penurunan jumlah sepeda yang dicuri dibanding 1957, tetapi jumlah sepeda yang hilang setiap bulannya tetap besar. Apabila pada 1957 jumlah sepeda yang dilaporkan hilang rata-rata 300 per bulan, maka 1958 jumlahnya 200 per bulan.
Polisi kemudian menekan toko, sekolah, perkantoran agar menyediakan karcis bagi mereka yang memarkir sepeda. Toko penjual sepeda rongsokan diminta mendaftarkan diri dua kali seminggu. Mereka harus melaporkan jumlah sepeda yang dibeli atau yang dijual. Kepolisian Keresidenan Priangan juga mengeluarkan peraturan agar pemilik sepeda mendaftarkan sepedanya pada November 1958. Pemilik sepeda diminta membawa surat keterangan penduduk, surat keterangan kepemilikan sepeda, serta surat keterangan pemilikan sepeda dari lurah.
Keterlibatan anak-anak baik sebagai korban dan pelaku kriminal juga menjadi perhatian aparat kepolisian. Surat pembaca Pikiran Rakjat dalam Oktober 1958 menceritakan kasus yang menimpa siswi Sekolah Rakyat bernama Ani Sumarni yang dicegat di depan Toko Irian, Jalan Oto Iskandar Di Nata oleh seorang perempuan usia 20 tahun. Anak itu sempat dibawa naik beca dan hendak dibawa ke Banjaran, namun akhirnya diturunkan di jalanan dan anting-antingnya diambil. Kasus lain Patimah, murid Sekolah Rakyat usia 15 tahun mengalami pelecehan seksual oleh seorang pemuda bernama Djuanedi. Kasus yang sudah dilaporkan ditarik karena Djuanedi mau menikahi Patimah.
Ahun, 15 tahun mencuri pakaian lalu dijual di tukang loak di Balubur pada maret 1958 mendapatkan Rp10 terkena pasal 362 KUHP. Edin Bin Hoe, 12 tahun menggelapkan uang penjualan es krim dari seorang pedagang Tionghoa di dekat Capitol pada 11 Mei 1958 terkena pasal 372 KUHP. Kerugian sang pedagang Rp12,30. Embik, 14 tahun murid Sekolah Rakyat bersama dua kawannya Komar,15 tahun murid Sekolah Rakyat, serta Tjatja bin Apin,15 tahun ditangkap karena mencuri 88 biji sabun untuk membeli alat-alat sekolah dan menolong ibu mereka yang kurang penghasilan.
Kriminalitas melibatkan anak-anak ini menambah problem polisi karena waktu itu marak crossboy dan cross girl. Iman Supojo menawarkan solusi yang harus dilaksanakan pemerintah, yaitu petugas khusus pemeliharaan anak dan dipisahkan dari pengaruh jelek dari tahanan dewasa. Ia juga mengusulkan pembentukan polisi bagian kanak-kanak dengan polisi wanita khusus hingga pengadilan anak-anak. Pada waktu itu polisi Bandung seperti diungkapkan Iman Supojo juga menyadari memasukan anak-anak ke penjara sama dengan menyekolahkan mereka sekolah kriminal yang lebih tinggi.