Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1958 (12) Masalah Hak Asasi Manusia dan Poligami dalam Sidang Konstituante, Pro dan Kontra Ide Demokrasi Terpimpin

1 Januari 2016   14:40 Diperbarui: 1 Januari 2016   14:50 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal  Agustus 1958  Badan Konstituante kembali  menggelar rapat di Bandung.  Badan yang ditugaskan membuat undang-undang ini mulanya membicarakan soal bendera, lagu kebangsaan, lambang dan ibukota negara.  Sidang pagi pada 4 Agustus  dipimpin Ny. Ratu Siti Aminah Hidayat dengan empat pembicara Ruspandi (PNI), Ido Garnida (PRIM), A. Mukhlis (PKI) dan Usman Mufti Widaja (Republik Proklamasi).   Sementara pada malam hari   pembicara Sudijono Djojprajitno (Murba), Ketut Subrata (PNI), Ny. Romlah Aziz (Masyumi), H. Masjkun (PSII) dan Rutma Ikrab (Permai). Tidak terlalu banyak perdebatan soal lagu Indonesia Raya, Bendera Merah Putih, Lambang Negara Garuda  sepakat itu hasil perjuangan dan tidak dirobah.   Dalam pembicaraan mengenai ibukota, selain Jakarta, Bandung dan Malang disebut kandidat ibukota. 

Tensi perdebatan  mulai meninggi  ketika Sidang Konstituante  membicarakan  Hak Azasi Manusia  pada pertengahan Agustus 1958.    Hadir dalam sidang antara lain Wakil Ketua IV Ir. Sakirman dan Menteri Dalam  Negeri Sanusi Hardjadinata sebagai wakil pemerintah.  Isu dasar HAM seperti  HAM dan Hak Kewajiban harus dirumuskan dalam UU nanti diungkapkan Sabilah Rasyad (PNI).  Sementara diskriminasi dan tirani harus ditentang, HAM harus menjamin kebebasan dan rohaniah politik, sosial kenegaraan hingga kebudayaan   dilontarkan WJ Rumambi, (Parkindo).

Dalam sidang tanggal 12 Agustus 1958 , Muzani A. Rani dari Mayumi menentang adanya diskriminasi dari penguasa dan meminta setiap orang mendapat lindungan yang sama yang adil.  Kediaman (hunian)  berhak dimiliki setiap warga negara tidak boleh diganggu gugat.   Dua anggota Konstituante  Ny. Dalam Ibu Syamsudin (PNI) menyinggung penyalahgunaan poligami dan Ny. Sititati Surosto (PKI)  mengungkapkan soal HAM dan emansipasi wanita.

Soal  poligami  kemudian menjadi  polemik, ketika  Raja Keprabon (anggota perseorangan)  menyatakan bahwa  ia menyetujui poligami  terbatas seperti ajaran Islam.  Itu hal yang biasa.   Namun yang  mendatangkan reaksi ialah  perkataannya :  Jika perlu boleh lima sebab lima itu sesuai dengan Pancasila dan Islam pun terdiri dari  lima huruf.

Raja Keprabon  bahkan meminta UU mendatang  harus  mencegah poliandri, karena banyak wanita yang memelihara laki-laki secara gelap.  Kawin atau menikah dengan laki-laki lain di samping suaminya sendiri yang sah. Raja Keprabon bahkan mengatakan laki-laki berwenang memerintah sebab laki-laki adalah lebih utama dan lebih sempurna akalnya daripada perempuan. Indonesia kelebihan wanita, jadi siapa yang memeliharanya.

Hanya selang sehari wakil-wakil perempuan dalam  konstituante memberikan reaksi keras.  Mereka menyebutkan bahwa kalimat-kalima  dari Raja Keprabon merendahkan perempuan. Di antaranya Ny.Ratu Aminah Hidayat dari IPKI.  Sejak  Perang kemerdekaan Ratu Aminah merupakan aktifis.  Istri  dari seorang perwira Siliwangi  Kolonel Hidayat Martaatmadja, pada 3 April 1946 mendirikan  Persatuan Kaum Ibu Tentara (yang kemudian menjadi  Persatuan Isteri Tentara).  Ratu Aminah   merupakan Ketua ke V dari Badan Konstituante . Pada sidang Kamis malam  14 Agustus 1958 anggota-anggota perempuan dari Badan Konstituante mencetuskan  pernyataan sangat tersinggung dari kata-kata Raja Kaprabon. 

Warga kota Bandung pun bereaksi.  Tuti Otong warga Jalan Wayang nomor 5 dengan sinis menulis dalam surat pembaca Pikiran Rakjat 22 Agustus 1958  salut setinggi-tingginya dengan ide poligami lima wanita, tetapi ditekankan pada lima wanita yang liar dan akan mengurangi jumlah wanita liar. 

Apakah dapat Bapak Radja memberikan bukti nyata kebenarannja? Kami bosan dengan ide-ide jang terlalu muluk jang kadang-kadang  tjuma  bikin ketawa” . 

Polemik ini berhenti ketika Raja Keprabon akhirnya berdamai dengan wakil perempuan, Ny. Ratu Aminah Hidayat pada 24 Agustus 1958.  Keduanya diberitakan terlihat bersalaman. Masalah lain berkaitan dengan  HAM yang dibicarakan dalam Sidang Konstituante ialah mengenai hak demonstrasi dan mogok harus dicantumkan dalam UUD  dilontarkan Jahja Jacob dari PKI.  Politisi ini tidak setuju pengusaha menutup perusahaan dan memberhentikan buruh.  Lainnya  Yap Kian Cin dari minoritas Tionghoa menuntut perwakilan minoritas dan ikut memberikan keputusan dalam Konstituante.

Soal Hak Asasi Manusia sendiri dirumuskan pada 9 September 1958 ketika Konstituante mengadakan pemungutan suara mengenai judul bagian HAM.  Mayoritas suara, yaitu 352 dari 443 anggota yang hadir memilih judul HAM dan Hak-hak Kewajiban Warga Negara. Hak-hak individu dimuliakan dengan tetap menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Pada 9 Desember 1958 Panitia  Persiapan Konstitusi melengkapi keputusan mengenai rancangan pasal-pasal UUD mengenai   HAM dan kewajiban sebagai warga negara. Hal  yang bukan warga negara juga dimaksukan.

Wacana Demokrasi Terpimpin

Sejak pertengahan Juli 1958 wacana Demokrasi Terpimpin yang digagaskan Soekarno  mulai ramai dibicarakan elite politik Jawa Barat.  Masyumi Jawa Barat dalam pernyataanya menyerukan bahwa Presiden Soekarno kembali kepada Undang-undang Dasar Sementara. Hanya dengan jalan ini perdamaian nasional yang sekarang terancam dapat tercapai. Pernyataan ini reaksi atas konsepsi Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin  menujuh ke arah ditaktur  dan membuat tanah air dalam keadaan mengkhawatirkan. Konsepsi Soekarno muncul saat  Indonesia diliputi  perang saudara dan membukakan pintu bagi intervensi asing.  Pernyataan Masyumi ini ditandatangani  oleh TB Rachmat, M. Sapei,  Djerman Prawiradinata, K.Dadun Abdul Qahar dan Rusyad Nurdin. 

Selain Masyumi, kelompok Sunda Tunggal menyerukan untuk tetap  kembali ke UUDS 1950  dan meninggalkan cara penyelesaian dengan senjata ditegaskan bahwa Sunda Tunggal mensinyalir adanya anasir yang menjadi alat kekuatan luar negeri yang lebih taat  pada pemerintahan negara asing daripada kepentingan negara sendiri.      

Tokoh Islam lainnya Affandi dalam tulisan renungan Jum’at 11 Juli 1958  berjudul “Islam dan Guided Democracy”  dengan judul kedua “Islam Djualah Jang Menginginkan Demokrasi Terpimpin”  dengan pertanyaan betulkah demokrasi terpimpin tersebut sesuai dengan Islam?  Affandi menjawab Islam menyerukan umatnya memecahkan segala persoalan hidup mereka secara musyawarah. 

  1. Semua manusia mempunyai hak yang sama.
  2. Tak ada manusia yang sempurna dan senantiasa membutuhkan bantuan orang lain.
  3. Setiap manusia mempunyai kewajiban tanggungjawab
  4. Negara bukanlah kepunyaan seseorang atau pemerintah  melainkan amanat Tuhan kepada seluruh ummat.

Affandi mengutip cerita Medinah zaman Nabi ketika akan diserang kaum kafir.  Rasullullah bermusyawarah dengan para sahabat.  Rasul menghendaki kaum muslimin bertahan di dalam kota, sementara sebagian besar para sahabat  menyerang musuh di luar Medinah. Rasul akhirnya mengikuti kehendak terbanyak, sekali pun ternyata bertahan itu yang benar.

Dari cerita itu demokrasi terpimpin menurut Affandi:

  1. Persoalan bersama harus dipecahkan berdasarkan musyawarah
  2. Membantah pendapat pemimpin diperbolehkan
  3. Pendapat terbanyak pendapat menentukan
  4. Wahyu ketentuan dari Tuhan merupakan pimpinan tertinggi dalam hal ini tidak diperbolehkan adanya pendapat terbanyak.

Dukungan terhadap Demokrasi Terpimpin datang dari  beberapa tokoh PNI yang mendirikan kembali Partindo (Partai Indonesia Raya) pada Agustus 1958. Partindo sebetulnya pernah berdiri pada masa pergerakan nasional, 1931  di Bandung. Salah satu tokoh Partindo era 1950-an ini ialah Asmara Hadi menuturkan bahwa partainya berjuang berdasarkan marhaenisme yang disebutnya sebagai ajaran Bung Karno yang asli. 

Selain Asmara Hadi, tokoh-tokoh  lainnya adalah Winarno, Winoto, Dr. Buntaran, Budiarto Martoatmodjo.  Juga dukungan tokoh-tokoh  yang  disebut sejarawan Amerika tentang Indonesia  Daniel Lev sebagai  tokoh-tokoh nasionalis radikal.  Partindo berjuang dengan dasar marhaenisme yaitu marxisme yang disesuaikan dengan situasi dan watak Indonesia.  Sementara marhaenisme  PNI menurut Asmara Hadi telah direvisi oleh Ki Mangunsaskoro. 

Reaksi kehadiran Partindo datang dari  tokoh PNI seperti Selamet Ginting, Ketua PNI Sumatera Utara  yang menyebut pembentukan Partindo  seperti menikam  PNI dari belakang. Pimpinan-pimpinan PNI menolak tuduhan Partindo bahwa mereka menolak marxisme dan juga membantah marhaenisme adalah marxisme sederhana yang diterapkan untuk Indonesia. Pimpinan-pimpinan   PNI  melihat bahwa tokoh-tokoh Partindo mempunyai ambisi.

Yang lebih penting menurut saya  ialah pernyataannya bahwa Partindo menyokong Kabinet karya dan menganut politik luar negeri bebas aktif.  Selain mendukung dasar negara Pancasila, Partindo menyokong ide Demokrasi I Terpimpin. Dukungan terhadap Demokrasi Terpimpin juga datang dari kawan sepengasingan Soekarno pada 1930-an Gatot Mangkupradja.  Dia menyebut bahwa keadaan negara yang mengkhawatirkan akibat pergolakan daerah, serta impian Bung Karno tentang pembubaran atau sedikitnya penyederhanaan partai politik .    

Soal Demokrasi Terpimpin ini dibicarakan dalam pandangan umum konstituante pada 13 Agustus 1958.  Prof.S.M Abidin dari Partai Buruh menuding Demokrasi Terpimpin membuat negara menuju totaliter.  Surat kabar disuruh menulis yang baik-baik saja menurut ideologi golongan berkuasa.  Kenyataannya saat ini ekonomi mengkahwatirkan bisa dilihat dari jumlah pengemis  lebih banyak dari  zaman Belanda .

Dari kalangan tentara  seperti Nasution  memberikan pandangan yang bisa meredam keditaktoran.  Menurut dia kalau ditafsirkan secara positif terpimpin artinya terencana, yaitu menunjukkan pada satu program yang dirancang untuk mencapai tujuan keteraturan sosial  yang adil dan maju berdasarkan Pancasila.  Hanya saja Nasution setuju untuk  membatasi  jumlah  partai politik  untuk menghilangkan konsekuensi sistem multi partai yang tak dikehendaki.

Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraannya  pada 17 Agustus 1958 menyebutkan bila 1957 adalah “The Year of Decision”, maka 1958 adalah “A Year of Challenge” atau tahun penuh tantangan.  Bung Karno menyebutkan tantangan di sini datang dari DI/TII dan pemberontakan PRRI/Peresta, aksi jalan lain Irian Barat, serta kemungkinan pecahnya Perang Dunia ke III. Soekarno juga mengungkapkan  ada tantangan dari subversi dan intervensi asing.  Tantangan ketiga ialah keadaan liberalisme dan perlunya melaksanakan Demokrasi Terpimpin, serta penyerdehanaan kepartaian.  Dalam menghadapi  tantangan-tantangan ini kata Bung Karno kita tak boleh setengah hati dan harus berani sedikit main judi.

Reaksi  atas pidato Bung Karno datang dari sebuah partai kecil, yaitu Partai Acoma (Partai angkatan Komunis Muda).  Partai ini didirikan pada 1952 dan pandangannya lebih dekat dengan Partai Murba dan pandangan tokoh-tokohnya lebih dekat dengan Tan Malaka.   Dalam keterangan persnya mengenai pidtao Bung Karno, partai itu menyatakan  bahwa pidato itu seperti   menganjurkan merubah maklumat pemerintah 3 November 1945  yang sebetulnya sudah menolak liberalisme.  Yang bersalah sebetulnya pemerintah dan bukan partai-partai. 

Mantan Wakil Presiden Hatta  pada akhir 1958  juga menyatakan bahwa  dalam situasi seperti ini jangan bermain spekulasi.  Dia juga mengkhawatirkan adanya anggapan bahwa keuangan negara bisa diselamatkan  dengan mencetak uang terus-menerus.  Di mata  Hatta demokrasi terpimpin menghalangi sistem demokrasi sesungguhnya dan ke arah otoriter.  Sekalipun tujuan demokrasi terpimpin baik. Sejarah kemudian membuktikan bahwa keduanya kembali berbenturan, hanya saja Hatta lebih memlih mengalah kepada Soekarno.   

Irvan Sjafari

 

Sumber Surat Kabar : Pikiran Rakjat, 17 Juli 1958, 5 Agustus 1958,  7 Agustus 1958, 8 Agustus 1958, 13 Agustus 1958,   14 Agustus 1958,  15 Agustus 1958, 19 Agustus 1958, 22  Agustus 1958, 25  Agustus 1958, 8 September 1958

 

Buku dan literatur

 

Anwar, Rosihan, Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 3,  Kompas Media Nusantara, 2009.

 

Elson, R.E, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2009.

 

Latif, Yudi, Negara Paripurna:  Historisitas,  Rasionalistas dan Aktualitas Pancasila,  Jakarta: Gramedia Pustaka, 2011.

 

Lev, Daniel s, Transition  to Guided Democracy, Indonesian Politics 1957-1959, Singapore: Equinox Editon, 2009

 

Rosidi, Ajip, Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010.

 

Situs dan Blog

http://serbapersit.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-persit-kartika-chandra-kirana.html diakses pada 31 Desember 2015.

http://dirarahimsyah.blogspot.co.id/2011/05/mohammad-hatta-dalam-demokrasi-keadilan.html  diakses pada 1 Januari 2016.

 

 

Sumber Foto:

Sidang Konstituante di Bandung (kredit foto Wikipedia)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun