Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inspirasi Jawa Barat 1950-an (6) Karnah Sukarta Pelempar Lembing Ulung (Nyaris Terlupakan)

20 Oktober 2015   20:16 Diperbarui: 20 Oktober 2015   20:59 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Karnah dalam pemberitaan Majalah Aneka pada 1959"][/caption]

Sudah lewat pukul 12 siang,  Letnan Kolonel Rivai masih sabar menunggu di dalam Cabriolet Deluxe miliknya yang siap sedia di dekat Stasiun Kereta Api Bandung.  Hari itu 4 Juli 1958, Perwira Menengah Siliwangi itu  tidak sedang dalam tugas militer menjaga keamanan kota di masa pemberontak Darul Islam masih berkecamuk.  Dia menanti idolanya Karnah Sukarta, atlet Lempar  Lembing Putri asal Ciamis yang baru saja mendapatkan medali perunggu di Asian Games  ke  III di  Tokyo.

Misi “penculikan”-nya berhasil Karnah  berhasil dibawa dalam mobilnya ke Balaikota Bandung untuk sebuah upacara penyambutan.   Rivai  melemparkan senyum kemenangannya kepada panitya kerja, seolah-olah hendak berkata : 1-0 euy!  Tidak tanggung-tanggung Letkol Rivai bersedia menjadi supir Karnah.  Di dalam mobilnya ada perwira menengah lainnya Mayor Tatang Aruman.

Seharusnya kereta api rombongan atlet Asian Games asal Jawa Barat dari kota Jakarta  tiba jam 11.57 namun baru tiba di Stasiun  Bandung 12.35.   Rombongan lainnya terdapat nama coach Renang MF Siregar, Atlet  polo air,  Roedy Oen, Coach Atletik,  Letnan Abdul Askar Djundjunan dengan total 18 orang.   Mobil rombongan  bergerak perlahan karena jalan  yang dilalui menuju Balai Kota penuh sesak dengan warga Kota Bandung yang ingin menyaksikan kedatangan para pahlawan olahraga seperti yang terjadi pada kedatangan Tan Joe Hok  beberapa waktu sebelumnya. Penyambutan sepanjang meriah dengan adanya hujan kertas dari toko-toko dan rumah-rumah yang bertingkat sepanjang jalan, serta sorak-sorai warga kota.  Seorang pemilik toko besar di Bandung  melepas 1000 balon,  di antaranya terdapat 10 balon berisi kertas dengan tanda tangan yang bisa ditukarkan hadiah.    

 Begitu tiba di balaikota sambutan singkat disampaikan Panitya Kerja Tatang Prawira Sastra, serta lagu-lagu dari Korps musik tentara. Karnah tidak dapat menahan air matanya dan menyenderkan badannya kepada atlet tenis  Tuti Pandji yang ikut dalam rombongan.  Hadir juga dalam upacara penyambutan Raja Bulutangkis Tan Joe  Hok.

Ke Kampung Halaman  di Ciamis

 Hari itu juga Karnah mengunjungi kampung halamannya di Ciamis.  Sejak dari Tarogong, Garut sorenya rombongan Karnah dikawal sejumlah panzer wagen dari RI 10 (kesatuan militer masa itu), serta sejumlah sepeda motor dari Ikatan Motor Priangan Tasikmalaya.  Dari Singaparna rombongan ganti dikawal panzer wagen dari RI 11 hingga tiba di Pendopo Tasikmalaya pukul 16.30.   Karnah disambut ratusan pelajar, sejumlah pejabat sipil dan militer, serta mendapatkan bingkisan dan tanda mata dari masyarakat Tasikmalaya. Rombongan kemudian melanjutkan perjalanan dan tiba di Ciamis pukul 19.30 di bawah hujan lebat.  Yang ikut menyambut adalah Bupati Ciamis, Kepala Pendidikan Jasmani Kabupaten Ciamis,  Kepala Pendidikan ciamis, Guru Olahraga SGB Negeri II CIamis, berapa ormas pemuda setempat (Galuh Taruna).  Warga Ciamis begitu bangga pada pahlawan olahraga Indonesia dari daerahnya. 

Dalam ajang Asian Games ke III  yang berlangsung pada 24 Mei hingga 1 Juni 1958 di Tokyo,  Karnah mendapatkan medali perunggu nomor lempar lembing di bawah peraih emas Yoriko Shida (Jepang) dan perak oleh atlet India Elizabeth  Davenport.  Indonesia meraih lima medali perunggu, selain Karnah peraih perunggu lainnya, dua di nomor renang Habib Nasution dan Ria Tobing, satu polo air dan sepakbola. Sebagai catatan prestasi sepakbola Indonesia di Tokyo tertinggi sepanjang keikutsertaan di Asian Games.Karnah lahir pada 1 Februari 1940 di Rancah, Ciamis mendapatkan pendidikan formalnya pada usia 9 tahun di Sekolah Rakyat Pangambiran, Cisaga.  Dia kemungkin melanjutkan sekolahnya di sekolah guru SGB.   Sejak kecil  Karnah  menunjukkan bakat olahraganya  mulai dari bola keranjang, kasti hingga panca lomba (Atletik).   Karnah mendapatkan prestasi pada 1956 dalam kejuaraan di Garut, Jawa Barat   dan Pon ke iV di Makassar memperkuat tim Jawa Barat. memborong gelar di nomor panca lomba yang mencakup,  lari 100 meter,   lompat jauh,  lompat tinggi,  lempar lembing,  dan lempar cakram di PON IV.  Dia pun kemudian mendapatkan kesempatan untuk  ikut seleksi Asian Games.               

Berubah Drastis

Prestasinya menarik perhatian seorang pengusaha batik asal Bandung bernama Sukarna Saputra mengangkatnya sebagai anak asuh. Karnah kemudian diboyong ke Bandung untuk melanjutkan sekolah di SGPD (Sekolah Guru Pendidikan jasmani). Nama Karnah pun diganti   mirip dengan bapak asuhnya menjadi Sukarnah.   Sebetulnya biaya pendidikannnya di SGPD ditanggung oleh PPK Jawa Barat,  namun ketika Karnah sudah terlanjur kuliah janji itu tidak terlaksana,hingga akhirnya Sukarna yang membiayai pendidikannya.  Uang pertama diterima dari  Sukarna sebesar Rp1.650 yang digunakannya untukbiaya kuliah dan pemondokan. Karnah  juga pernah dibantu  Ibu Djuanda sebesar Rp1000 untuk  membeli bajunya  yang sudah banyak yang using dan tak layak dipakai pelajar.  Pihak lain yang membantunya Nangkah Hadinoto, seorang pegawai Kedutaan Jerman sebesar Rp500.   Semua bantuan itu diterima pada 1959.  Namun  bantuan keuangan ini menimbulkan permasalahan, Karnah mendapatkan hukuman skorsing dari perkumpulan atletiknya GABA Bandung,  karena statusnya  sebagai atlet amatir.

Asian Games ke 3 1958 memang prestasi puncak Karnah.  Selanjutnya dia melanjutkan kuliah di  Fakultas Sosial  IKIP Bandung pada 1962.  Di IKIP, dia terpilih sebagai ketua bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Dewan Mahasiswa (Dema). Sikapnya yang mengidolakan Soekarno mendorongnya menjadi orator yang cukup ulung. Karena itu, dia diposisikan sebagai Humas. Sayang ketika Bung Karno   jatuh, maka ia terkena getah dituduh antek PKI.  Rumahnya di Bandung dibakar massa.  Karnah pun bercerai dengan suaminya.   Dia sempat ditahan  dan  kemudian bebas pada 1966.  Karnah kemudian sempat mengajar di SMA Negeri 3 Bandung.  Peristiwa Malari 1974  membuatnya kembali meringkuk di jeruji besi.  

Pada 1978 dia sempat menikah lagi tetapi bercerai dua tahun kemudian,  Karnah merupakan cerita unik.  Lolos tes kelamin  untuk Asian Games III  sebagai perempuan,  namun Karnah tak menyadari  bahwa ia sebetulnya berkelamin ganda.  Begitu juga sejumlah pihak.  Pada 1950-an kemungkinan  fasilitas kesehatan masih sulit dan  di daerah identifikasi jenis kelamin bisa keliru. Saat berusia 40 tahun hal itu terungkap.  Karnah kemudian berganti kelamin menjadi laki-laki dan namanya pun berganti Iwan Setiawan dan menikah dengan seorang perempuan pada 1981 bernama  Pudjiastuti dan mempunyai seorang anak.  Hidupnya berakhir sebagai petani di Ciamis  yang hidup bersahaja.

 

Perhatian   pemerintah  baru terjadi  pada 2007  ketika  Kementerian  Kepemudiaan dan Olahraga memberikannya uang dan rumah.  

Irvan  Sjafari               

Sumber :  Aneka Tahun X 20 Oktober 1959

Pikiran Rakjat, 5  Juli 1958

http://rancah.blogspot.co.id/2008/01/kisah-sukarnag.html 

 

Sumber Foto :Karnah (Aneka 1959)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun