Sumbangan terbesar Djuanda sebetulnya pada pembangunan perhubungan . Dia melihat bahwa perhubungan laut merupakan urat nadi sebuah negara kepulauan. Pada 17 Agustus  1950 pemerintah mendirikan Yayasan Penguasaan Kapal-kapal (Pepuska) yang menyewa-belikan kapal-kapal kepada perusahaan nasional yang berdiri beberapa bulan sebelumnya. Namun kemudian pemerintah merasa perlu membentuk sebuah perusahaan nasional sendiri dan akhirnya pada 1952 dibentuk Perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) dengan kekuatan 16 kapal milik Pepuska  dan 45 kapal yang baru dibeli.Â
Dananya didapat dari boom karet karena terjadinya kenaikan ekspor karet akibat Perang Korea dan Perang Vietnam.  Djuanda mengakali persyaratan pinjaman dari Eximbank bahwa kapal harus buatan AS (yang mahal harganya) dengan cara membeli mesin diesel dari AS dan badan kapal dari negara-negara Eropa, seperti Jerman Barat, Belgia dan Italia. Dengan cara ini Djuanda mendapatkan cukup dana untuk membeli kapal berukuran 250 hingga 650 dwt dengan syarat maksimum (draft) 3,5 meter yang cocok untuk perairan Indonesia.
Untuk Angkutan Darat Djuanda berhasil memperbaiki prasarana kereta api dan infrastrukturnya. Dengan bantuan pinjaman dari Eximbank, Djuanda membeli 100 buah lokomotif Type D-52 buatan Krupp,Jerman. Dari negeri itu juga dipesan rel kereta api sepanjang 100 km. Selain itu di bawah Djuanda kementerian perhubungan mampu menambah mobil angkutan penumpang dari 22.164 buah pada Januari 1950 menjadi 73.719 pada Januari 1957.
Perhubungan Udara juga menjadi perhatian Djuanda. Pada 31 Maret 1950 berdiri NV Garuda Indonesian Airways dengan modal 50 persen milik pemeirntah dan 50 persen milik KLM/KNILM. Empat tahun kemudian pemerintah mengambil alih saham KLM/KNILM. Untuk memperkuat armada Djuanda memesan pesawat convair-240 juga dengan kredit Eximbank. Sementara untuk mendidik SDM penerbang dikirim ke negeri Inggris dan Belanda. Pada 1953 GIA juga mendapatkan tenaga dari TNI AU dan mendirikan akademi penerbang di Curug.  Â
Djuanda juga berhasil membangun infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Pusat Pos, Telepon dan Telegrap dikembalikan dari Yogyakarta ke Bandung. Para pegawainnya juga mengalami peremajaan.
Nasionalisme Maritim
Sumbangan terbesar Djuanda ialah apa yang disebut sebagai Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 yang menentukan wilayah perairan RI yaitu bagian laut yang terletak di sekitar dan di antara pulau-pulau yang sebelumnya adalah lautan bebas menjadi lautan nasional. Dengan Deklarasi Djuanda itu ditentukan batas hukum negara kesatuan.  Pernyataan yang dibacakan Djuanda dalam sidang kabinet kala itu, menjadi landasan hukum bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dipergunakan untuk menggantikan Territoriale Zee and Maritime Kringen Ordonantie pada 1939. Terutama, pasal 1 ayat 1 yang menyatakan wilayah teritorial Indonesia hanya 3 mil diukur dari garis air rendah setiap palung
Dekalarasi Djuanda mempunyai nilai yang sangat tinggi sebagai pemersatu dan persatuan bangsa. Sebelumnya  di masa Hindia Belanda, laut-laut antara pulau Indonesia dianggap sebagai laut bebas. Artinya, siapa saja boleh mengambil kekayaan alamnya, termasuk ikan, orang bebas melakukan segala hal di kawasan itu. Dengan adanya deklarasi Djuanda itu Indonesia mempunyai fondasi otoritas maritimnya.  Merdeka nomor 3 edisi 18 Januari 1958 mengulas bahwa kebijakan 12mil dari laut ini mendapat tantangan dari Amerika Serikat, SEATO  tetapi disokong RRC dan Uni Soviet.  Meskipun Deklarasi Djuanda baru diakui PBB, dan diakui secara internasional sejak 16 November 1994, namun apa yang dilakukan Djuanda membuktikan bahwa ia seorang visioner ke depan.
Pada 9 Desember 1957 Perdana Menteri/Menteri Pertahanan Djuanda selaku pimpinan tertinggi militer mengeluarkan suatu peraturan yang menempatkan seluruh perkebunan milik Belanda di bawah yuridikasi Pemerintah RI. Djuanda memberikan wewenang kepada Menteri Pertanian untuk mengeluarkan suatu peraturan yang dianggap perlu. Pada keesokan harinya Menteri Pertanian mengeluarkan peraturan yang menempatkan semua perkebunan milik Belanda tersebut di bawah pengawasan teknis sebuah organisasi baru bernama Pusat Perkebunan Negara (PPN) yang kelak menjadi embrio Jawatan Perkebunan. Langkah ini juga mempunyai visi ke depan.     Â
Â
Irvan Sjafari