Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Djuanda Kartawidjaja : Teknokrat Pertama di Arena Politik 1950-an

16 Oktober 2015   21:36 Diperbarui: 16 Oktober 2015   22:24 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumbangan terbesar Djuanda sebetulnya pada pembangunan perhubungan . Dia melihat bahwa perhubungan laut merupakan urat nadi sebuah negara kepulauan.  Pada 17 Agustus  1950 pemerintah mendirikan Yayasan Penguasaan Kapal-kapal (Pepuska) yang menyewa-belikan kapal-kapal kepada perusahaan nasional yang berdiri beberapa bulan sebelumnya.  Namun kemudian pemerintah merasa perlu membentuk sebuah perusahaan nasional sendiri dan akhirnya pada 1952 dibentuk Perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) dengan kekuatan 16 kapal milik Pepuska  dan 45 kapal yang  baru dibeli. 

Dananya didapat dari boom karet karena terjadinya kenaikan ekspor karet akibat Perang Korea dan Perang Vietnam.  Djuanda mengakali persyaratan pinjaman dari Eximbank bahwa kapal harus buatan AS (yang mahal harganya)  dengan cara membeli mesin diesel  dari AS dan badan kapal dari negara-negara Eropa, seperti Jerman Barat, Belgia dan Italia.  Dengan cara ini Djuanda mendapatkan cukup dana untuk membeli kapal berukuran 250 hingga 650 dwt dengan syarat maksimum (draft)  3,5 meter  yang cocok untuk perairan Indonesia.

Untuk Angkutan Darat Djuanda berhasil  memperbaiki prasarana kereta api dan infrastrukturnya.  Dengan bantuan pinjaman dari Eximbank, Djuanda membeli 100 buah lokomotif Type D-52 buatan Krupp,Jerman.  Dari negeri itu juga dipesan rel kereta api sepanjang 100 km. Selain itu di bawah Djuanda kementerian perhubungan  mampu menambah mobil angkutan penumpang dari 22.164 buah pada Januari 1950 menjadi 73.719 pada Januari 1957.

Perhubungan Udara juga menjadi perhatian Djuanda. Pada 31 Maret 1950 berdiri NV Garuda Indonesian Airways dengan modal 50 persen milik pemeirntah dan 50  persen milik KLM/KNILM.  Empat tahun kemudian pemerintah mengambil alih  saham KLM/KNILM. Untuk memperkuat armada Djuanda memesan pesawat convair-240 juga dengan kredit Eximbank.  Sementara untuk mendidik SDM penerbang dikirim ke negeri Inggris dan Belanda.  Pada 1953 GIA juga mendapatkan tenaga dari TNI AU dan mendirikan akademi penerbang di Curug.    

Djuanda juga berhasil membangun infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Pusat Pos, Telepon dan Telegrap  dikembalikan dari Yogyakarta ke Bandung. Para pegawainnya juga mengalami peremajaan.

Nasionalisme Maritim

Sumbangan terbesar Djuanda ialah apa yang disebut sebagai Deklarasi Djuanda  pada 13 Desember 1957 yang menentukan  wilayah perairan RI  yaitu bagian laut  yang terletak di sekitar dan di antara pulau-pulau yang  sebelumnya  adalah lautan bebas menjadi lautan nasional.  Dengan Deklarasi Djuanda itu ditentukan batas hukum negara kesatuan.  Pernyataan yang dibacakan Djuanda dalam sidang kabinet kala itu, menjadi landasan hukum bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dipergunakan untuk menggantikan Territoriale Zee and Maritime Kringen Ordonantie pada 1939. Terutama, pasal 1 ayat 1 yang menyatakan wilayah teritorial Indonesia hanya 3 mil diukur dari garis air rendah setiap palung

Dekalarasi Djuanda mempunyai nilai yang sangat tinggi sebagai pemersatu dan persatuan bangsa. Sebelumnya  di masa Hindia Belanda, laut-laut antara pulau Indonesia dianggap sebagai laut bebas. Artinya, siapa saja boleh mengambil kekayaan alamnya, termasuk ikan, orang bebas melakukan segala hal di kawasan itu.  Dengan adanya deklarasi Djuanda itu Indonesia mempunyai fondasi otoritas maritimnya.  Merdeka  nomor 3 edisi  18 Januari 1958 mengulas  bahwa  kebijakan 12mil dari laut ini mendapat tantangan dari  Amerika Serikat, SEATO   tetapi disokong RRC dan Uni Soviet.  Meskipun  Deklarasi Djuanda baru diakui PBB, dan diakui secara internasional sejak 16 November 1994, namun  apa yang dilakukan Djuanda membuktikan bahwa ia seorang visioner ke depan.

Pada 9 Desember 1957  Perdana Menteri/Menteri Pertahanan  Djuanda  selaku pimpinan tertinggi militer mengeluarkan suatu peraturan  yang menempatkan seluruh perkebunan milik  Belanda di bawah yuridikasi Pemerintah RI. Djuanda memberikan wewenang kepada Menteri  Pertanian untuk mengeluarkan suatu peraturan yang dianggap perlu.  Pada keesokan harinya Menteri Pertanian mengeluarkan peraturan yang menempatkan semua perkebunan milik Belanda tersebut  di bawah pengawasan teknis sebuah organisasi baru bernama Pusat Perkebunan Negara (PPN) yang kelak menjadi embrio Jawatan Perkebunan.  Langkah ini juga mempunyai visi ke depan.      

 

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun