Sejarah kemudian mencatat bahwa peristiwa PRRI/ Permesta terjadi. Perang saudara pun tak bisa dihindari lagi. Pemerintah memecat secara tidak terhormat perwira-perwira TNI-AD yang terlibat seperti Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Diikuti oleh kebijakan KSAD yang membekukan semua kodim di daerah yang terlibat. Peristiwa PRRI/Permesta menjadikan Djuanda tidak terlalu kuat dan yang menentukan selanjutnya adalah Presiden Sukarno dan Nasution. Mungkin ini kelemahannya sebagai teknokrat di panggung politik. Kiprahnya sebagai Perdana Menteri berakhir tak lama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Jadi Insinyur di Usia 22 Tahun
Latar belakang Djuanda dari keluarga menak,lahir di Tasikmalaya 14 Januari 1911 Ayahnya Raden kartawidjaja seorang guru muda dari Leles dan ibunya Nyi Momot dari Tasikmalaya. Djunada menempuh pendidikan ELS di Cisalengka dan menjadi siswa dari kalangan pribumi yang cerdas. Terbukti ia mampu melompat dari kelas V ke kelas VII. Kemampuannya melahap buku berbahasa Belanda menyebabkan jalannya menyelesaikan pendidikan mulus.
Pada 1924 ia menyeyelesaikan ELS dan lulus ujian HBS di Jalan Belitung Bandung. Dari 343 murid, hanya Djuanda termasuk dari lima murid bumi putera. Djuanda kemudian masuk Technise Hoogeschool te Bandung (ITB sekarang) dan menjadi insinyur sipil-pengairan pada Mei 1933 (dalam usia 22 tahun, suatu hal yang langka di kalangan bumiputera waktu itu).
Dengan kualiifikasi pendidikan yang begitu tinggi di kalangan bumi putera Djuanda justru memilih mengajat di Kweekschool Muhamadyah di Jakarta dan mengajar ilmu pasti dengan gaji yang ala kadarnya. Baru pada 1939 ia menjadi insinyur di Jawatan Pengairan Provinsi Jawa Barat (Provinciale Waterstat) yang kemudian menjadi Departemen Verker on waterstar (Departemen Pekerjaan Umum). Pada 1940 ia pindah ke Bandung karena jawatannya pindah dan berdiam di Jalan Ciliwung
Djuanda menikah dengan Julia Wargadibrata, seorang guru taman kanak-kanak di kota Bandung dan dikaruniai tiga putri dan seorang putra. Semasa pergerakan dia aktif di Paguyuban Pasundan dan dekat dengan Oto Iskandar Di Nata. Kedekatannya dengan Soekarno dimulai karena Paguyuban Pasundan bergabung dalam PPPKI (Perhimpunan Kebangsaan Indonesia 14 September 1927).
Saat agresi militer ke II 19 Desember 1948 Djuanda sedang berada di istana Yogyakarta. Ia ditangkap tentara Belanda kemudian dilepaskan. Belanda membujuknya untuk menjadi bagian pemerintahan negara Pasundan, yang ditampiknya. Pada perundingan KMB Djuanda duduk di komisi ekonomi dan keuangan dalam delegasi RI.
Setelah Indonesia merdeka Djuanda mendapatkan tugas dari kementerian perhubungan untuk membereskan per keretaapian, yaitu menjadi Kepala Jawatan Kereta Api. Penunjukan Djuanda merupakan awal karirnya sebagai teknokrat dalam politik nasional. Sejarah kemudian mencatat hanya dua tokoh dalam sejarah Indonesia yang terus menerus mendapatkan kursi dalam kabinet, yaitu Leimena dan Djuanda. Yang menarik ialah sepanjang karirnya Djuanda tidak pernah memasuki partai politik. Djuanda menduduki satu kali menteri muda, 14 kali menjadi menteri dan kemudian menjadi Perdana Menteri untuk 17 kabinet hingga akhir hayatnya pada 1963.
Sebagai Menteri Kemakmuran Djuanda menginginkan berjuta-juta rakyat Indonesia mendapatkan cukup pangan, cukup sandang, cukup perumahan dan keperluan primer lainnya. Djuanda mengakui bahwa awal kemerdekaan Indonesia tetap harus mengakui hak konsesi dan izin-izin untuk perusahaan asing agar ekonomi Indonesia tidak kacau. Kalau pun ada penyitaan harus diatur menurut hukum-hukum internasional.
“Politik kita terhadap panestrasi modal asing ialah kita menjaga jangan sampai kepentingan Indonesia terdesak kepentingan asing” (Djamin, 2001 halaman 100).
Membangun Infrastuktur Perhubungan