Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tjilik Riwut : Jurnalis, Perawat, Tentara dan Anak Hutan (Membaca Perjuangan Kemerdekaan di Tingkat lokal-2)

17 Agustus 2015   20:28 Diperbarui: 17 Agustus 2015   20:28 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Agresi Pertama Belanda pada 21 Juli 1947 sudah berlangsung hampr empat bulan.  Militer Republik Indoensia merasa perlu membuat kejutan dengan melakukan penyelusupan, di antaranya dengan cara yang tak disangka oleh pasukan Belanda.  Pada 16 Oktober 1947 di Yogyakarta  sekitar pukul 23.50 sebanyak empat belas pemuda dengan pakaian sederhana cukup dan bersenjata meninggalkan Hotel Tugu menuju Lapangan Maguwo. Mereka dipimpin seorang perwira menengah yang usianya belum mencapai 30 tahun.  

 

Perwira itu adalah Tjilik Riwut, ia memimpin para pemda asal Kalimantan yang menjadi paratroop dengan tujuan Kalimantan.   Pada  17 Oktober 1947 jam 02.30 Dakota RI-002 yang membawa mereka berangkat dari Lapangan Udara Meguwo Yogyakarta.  Dalm bukunya Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan (kemudian diperbaharui Nila Riwut terbitan Yogyakarta, Galang Press, 2007 Tjilik Riwut menulis:

 

Jam 07.00 tept kami melayang di atas bukit  dan di seelah utaranya kurang lebih lima mil ada ladang kasar  yang di mana-mana masih ada tonggak-tonggak bekas tebangan pohin besar dan beberapa rumah panggung di celah hutan luas, Kalimantan Selatan. Di sanalah para anggota para troop diterjunkan, Mula-mila kami berputar sekali untuk melihat keadaan di bawah, sekitar dan arah angin, terdengarlah bel satu kali, lima orang satu per satu terjun ke bawah.

 

Ke empat paratroop itu akhirnya terjun semua. Buku Sejarah Sosial Palangka Raya yang ditulis oleh JID Patianom dan H.J. Ulaen menyebutkan nama Tjilik Riwut sebagai rombongan ke II Tentara ekspedisi 96 yang masuk ke Kalimantan dari Jawa untuk menghadapi Belanda.  Dia memimpin Operasi penerjunan Pasukan Payung yang pertama kali dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik indonesia (17 Oktober 1947), tepatnya di Desa Sambi, Pangkalanbun. Kalimantan. Dengan pasukan MN 1001 Brigade Mobil. Pendaratan itu disambut oleh rakyat kampung Sambi, Riam dan Panahan. Tentara Belanda segera mengerahui dan mengadakan pengepungan dan penyeruan sehingga tiga anggota pasukan payung, Kapten Udara Harry Aryadi Sumantri, Letnan Muda Iskandar dan Sersan Mayor Kosasih gugur.

 

Awalnya Jurnalis

Dia kerap menyatakan dirinya sebagai orang hutan. Lelaki berdarah Suku Dayak kelahiran Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah 2 Februari 1918 tumbuh besar di hutan belantara Kalimantan.  Tjilik Riwut, demikian namanya. Dia adalah salah seorang tokoh perjuangan kemerdekaan di bumi Kalimantan.  Masa sekolah Tjilik Riwut lebih banyak dihabiskan di luar desanya, Kasongan, sebuah desa yang terletak di propinsi Kalimantan Tengah.

Pendidikan awal dimulai dengan masuk Sekolah Desa (Volkschool) di Kalimantan Tengah. Lulus Sekolah Desa (Sekolah Rakyat) pada  1930, Tjilik Riwut mengikuti seorang pendeta dari Swiss yang sedang bertugas di Kalimantan Timur yatu Pendeta Sehrel. Oleh Pendeta Sehrel Tjilik Riwut dibawa ke Pulau Jawa untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Perawat Taman Dewasa hingga lulus tahun 1933. Sekolah Taman Dewasa sebenarnya merupakan jenjang lanjutan Sekolah Taman Muda dalam pendidikan Taman Siswa. Hanya anak-anak berprestasi baik yang dapat melanjutkan ke sekolah ini dan Tjilik Riwut adalah adalah salah satu di antaranya. Dua juga mengenyam pendidikan sekolah perawt.

Sekalipun sepak terjangnya pada masa kemerdekaan lebih banyak di bidang militer, Tjilik memulai perjuangannya di dunia junalistik.   Padahal sebetulnya  latar belakang pendidikannya  sekolah perawat di Bandung dan Purwakarta. Tjilik Riwut belajar dunia  jurnalistik melalui sebuah kursus pada . Pada 1940 Tia  menjadi seorang pemimpin redaksi majalah Pakat Dayak bersama Suara Pakat.  Dia juga menjadi Koresponden Harian Pemandangan, pimpinan M. Tambrani.  Ia juga menjadi koresponden Harian Pembangunan, pimpinan Sanusi Pane, seorang sastrawan Indonesia angkatan pujangga baru. Pegulatan di bidang tulis menulis ini membuatnya berkenalan dengan perjuangan kemerdekaan.

Pada masa pendudukan Jepang,  Tjilik direkrut untuk mengumpulkan data-data seputar keadaan Kalimantan demi kepentingan militer Jepang. Ia mempergunakan kesempatan ini untuk tujuan lain membangun jaringan, komunikasi dan mengkordinasi suku-suku di pedalaman yang kelak pada Perang Kemerdekaan merupakan kekuatan baginya.

Tjilik adalah salah seorang tokoh yang mewakili 142 suku Dayak yang berada di pedalaman Kalimantan (185.000 jiwa) yang menyatakan diri dan melaksanakan Sumpah Setia dengan upacara adat leluhur suku Dayak kepada pemerintah Republik Indonesia (17 Desember 1946) di gedung Agung, Yogyakarta. Di bidang politik  Tjilik pernah menjadi seorang anggota KNIP (1946 – 1949). 

Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 mulanya tak terdengar di Kalimantan, karena sejk Jepng berkuasa alat-alat penghubung dirusak dan disita Jepang . Kecuali beberapa uah radio Rimbu yang disimpan dan masih dapat dikapai. Dengan sisa radio ini orang Kalimantan mencri berita secra sembunyi.  Merek tahu Jepang kalah perang dan bertekuk lutut.  Kedatangan  A.A. Hamidhan dan A.A Rivai di Banjarmasin dan kandangan diketahui Borneo Simun dan proklamai diketahui.  Pemerinath kemudian mengangkat Ir. Pangeran Muhammad Noor sebagi Gubernur Kalimantan.

 

Untuk memperkenalkan diri siapa gubernur mereka, maka direncanakan gubernur beserta rombongan untuk mengadakan perjalanan ke Banjarmasin.  Bersama rombongan gubernur ikut pula anggota Palang Merah yang salah seorang anggotanya adalah Tjilik Riwut (karena latar belakangnya pendidikan perawat).  Tetapi keberangkatan mereka terpaksa ditunda. Kapal yang mereka tumpangi, Kapal Merdeka, tertembak oleh pasukan Sekutu yang pada saat itu sedang terjadi pertempuran besar antara Surabaya melawan Sekutu pada 10 November 1945.

Kegagalan pemberangkatan ke Kalimantan    membawa perubahan yang sangat penting di dalam kehidupan seorang pemuda bernama Tjilik Riwut.  Tjilik meninggalkan dunia  Palang Merah dan memilih terlibat langsung dalam kegiatan kemiliteran, karena itu kini Tjilik Riwut mempunyai ketrampilan di bidang militer yang diperolehnya dari hasil pendidikan militer terhadap pemuda-pemuda Kalimantan di Pulau Jawa.

Mayor Tjilik Riwut memimpin pasukan mengelilingi Kalimantan Selatan, Barat, Tengah dan Timur dengan nama  Pasukan MN 1001 dan mendirikan pemerintah sipil untuk memberikan peneranngan pada puluan tempat, seperti Tabuk, Sukamara, Kotawringin, Nangabulik, Nanga Gatal, Smbi, Kandangan, Amuntai, Banjarmasin, Lamandau dan sebagainya.   Pasukannya yang juga disebut Pasukan ekspedisi dua mendarat di Sungai Tabuk pada 6 Maret 1946. Kedatangan mereka disambut baik masyarakat setempat. Selanjutnya dibentuk  tiga kelompok dengan tujuan operasi yang berbeda.  Pertempuran yang paling heroik  yang melibatkan pasukan ini antara lain terjadi dalam Maret 1946 di mana para pejuang  menyeragap pasukan NICA di Teluk Bogam. Dua kapal motor boot ditenggalamkan, sekitar 40 tentara NICA dipimpin Letnan De Vries tewas.

Setelah perang Tjilik merintis karir politiknya. Pada 1950 ia  menjadi Wedana di Sampit, Kalimantan Tengah, 1950-1951. Dia kemudian  menjadi Bupati Kotawaringin Timur, 1951-1956 sebagai Bupati Kepala Daerah Swantara Tk.II Kotawaringin Timur.Tjilik Riwut juga kerap mengemban berberapa tugas jabatan berbeda dalam rentang waktu yang sama. Misalnya pada 1957 ia adalah residen pada kantor persiapan / pembentukan daerah swantara TK 1 Kalimantan Tengah di Banjarmasin.

Pada 1958, ayah dari 5 anak ini menjadi residen DPB pada pemerintahan swantara Tingkat 1 Kalteng; 1958-1959 menjadi Penguasa/ Pemangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah Swantara Tingkat.I Kalimantan Tengah. Sementara pada 1957-1959 Tjilik Riwut adalah juga Anggota Dewan Nasional RI. Pada puncaknya, Tjilik Riwut menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Tengah pertama pada 1959-1967. Tjilik Riwut pulalah yang memimpin, mendirikan serta membangun hutan di sekitar desa Pahandut menjadi Kota Palangkaraya, Ibukota Kalimantan Tengah.  Tjilik menjadi koordinator masyarakat suku-suku terasing untuk seluruh pedalaman Kalimantan, dan terakhir sebagai anggota DPR RI.

Semangat nasionalismenya tampak dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kalimantan (1952) Maneser Panatau Tatu Hiang  (1965) dan  Kalimantan Membangun (1979). Dalam bukunya ia menyoroti  antara lain semangat nasionalisme orang Dayak yang bergabung dalam Serikat Dayak 1919-1926 yang ingin memajukan Suku Dayak.  Tjilik memang terikat dengan kebudayaan leluhurnya.

Angka 17

Pernah dalam suatu kesempatan, ia dapat pulang kembali ke tanah leluhurnya. Di sana Tjilik  bertapa di Bukit Batu. Pada pertapaannya kali ini ia memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa untuk perjuangannya melawan penjajah yang pada saat itu sedang “bertengger” di Indonesia. Dalam kesempatan itu ia  bernazar untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka.

Setelah ia selesai melakukan pertapaanya, ia memperoleh suatu benda, yaitu sebuah batu yang berbentuk seperti daun telinga. Petunjuk yang ia peroleh sewaktu bertapa mengatakan bahwa batu yang ia peroleh itu dapat dipergunakan untuk mendengar dan memantau musuh apabila di letakkan berdekatan dengan daun telinganya. Namun setelah kemerdekaan Indonesia, batu itu pun gaib keberadaannya.

 

Sebagai seorang pejuang yang sangat mencintai kebudayaan leluhurnya, ia sangat fanatik dengan angka 17, yaitu angka kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Karena begitu menyatunya dengan angka 17 ini pada dirinya maka sebagaian besar kehidupannya dipengaruhi oleh angka 17, berikut beberapa contohnya.

 

  1. Pelaksanaan sumpah setia 142 suku di pedalaman Kalimantan yang ia wakili kepada pemerintah Republik Indonesia secara adat dihadapan Presiden Soekarno di Gedung Agung, Yogyakarta 17 Desember 1946.
    2. Desa Pahandut yang merupakan cikal bakal dari ibukota Kalimantan Tengah, yaitu Palangka Raya. Merupakan desa yang ke-17 yang dihitung dari sungai Kahayan.
    3. Peletakkan batu pertama kota Palangka Raya yang melambangkan perjuangan yang telah memberikan hasil kepada masyarakatnya, pada tanggal 17 Juli 1957.
    4. Ia menjadi gubernur yang pertama bagi provinsi yang ke-17, yaitu provinsi Kalimantan Tengah
    5. Kelahiran provinsi Kalimantan Tengah tepat pada masa pemerintahan Republik Indonesia Kabinet yang ke-17.

Boleh dibilang kebetulan atau tidak Tjilik Riwut tutup usia pada  17 Agustus 1987 pukul 04.55 WIT di Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin karena menderita penyakit lever / hepatitis dalam usia 69 Tahun.  jenasahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya.
Pada 1998 Presiden RI menganugerahkan Bintang Mahaputra Adipradana dan Gelar Pahlawan Nasional bagi Almarhum Tjilik Riwut.

Penderitaan yang boleh dikatakan hampir belum pernah dienyam seumur hidup dialami. Dalam menjalani hidup selalu menjadi buronan musuh, terpaksa harus berhati-hati agar bisa lolos dari pengepungannya. Suasana ujung bayonet musuh inilah yang menyebabkan kami tidak tentu tempat kediaman. Tidak tentu pula tempat beristirahat. Kadang-kadang berlantaikan tanah, berkasurkan rumput basah, berselimutkan embun sejuk, beratapkan langit, berdindingkan kayu-kayu besar, berbantalkan akar, berlampukan bulan dan bintang. Makan minum tidak tentu, berhujan, berpanas, berjemur, kebasahan, pendeknya beragam-ragam pengalaman yang harus kami lalui. Meskipun demikian dorongan hasrat yang bernyala-nyala hingga ketujuan suci bisa tercapai. Itulah yang agaknya yang menyebabkan semangat dalam jiwa kami ” tak akan lekang oleh panas, tak akan lapuk oleh hujan”.

 

Tjilik Riwut

seperti yang ditulis putrinya Nila Riwut (www.nila-riwut.com)

Irvan Sjafari

Sumber lain : http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=310  diakses 16 Agustus 2015

Foto:

Tjilik Riwut-1   (kredit foto  https://folksofdayak.files.wordpress.com/2013/09/20100618-tjilik.jpg)

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun