Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nani Wartabone: Penegak Republik di Gorontalo (Membaca Perjuangan Kemerdekaan di Tingkat Lokal-1)

16 Agustus 2015   17:49 Diperbarui: 21 Juni 2017   23:58 1608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Usianya sudah melewati 50 tahun sewaktu pria itu singgah di Jakarta dari yang jauh dari  kampung halamannya. Suatu hari dalam bulan Juli 1958, peristiwa PRRI/ Permesta dan kemelut Irian Barat membuat kesibukan Residen Koordinator Sulawesi Utara  bertambah.  Saat dijumpai wartawan di salah satu tempat di ibukota, pria bernama Nani Wartabone ini ditanya soal kemungkinan harus menghadapi lagi militer Belanda seperti waktu Perang Kemerdekaan.

 

“Kita sudah biasa menghadapi Belanda. Kalau Belanda menginginkan kekerasan, kita pun harus menggunakan kekerasan. Kalau Belanda membandel, kita  harus melangkah lebih jauh.  Soal intervensi Negara lain, sudah kami rasakan waktu di Sulawesi,” ujar pria dari Gorontalo itu.  Pernyataan ini sudah menegaskan bahwa Nani Wartabone mencintai tanah airnya.

 

Orang Gorontalo punya pahlawan, seorang pejuang masa remajanya hingga akhir hayatnya menunjukkan kecintannya terhadap NKRI bernama Nani Wartabone.  Patungnya berdiri megah di pusat kota Gorontalo sebagai ikon kebangaan negeri yang dijuluki Serambi Medinah.  Pria yang Lahir di Suwawa, Sungai Bone pada 30 April 1907  dengan nama asli Abdul Kadir Wartabone.  Sementara nama Nani Wartabone nama  pemberian Ayah bundanya, serta saudara-saudaranya sebagai nama kesayangan.  

 

 

Sang Ayah,  Zakaria Wartabone merupakan seorang tuan tanah dan Kepala Distrik di desanya dan bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda. Ibunya merupakan keturunan bangsawan.  Keluarganya termasuk keluarga berada untuk ukuran orang Gorontalo masa itu. Nani mengenyam pendidikan yang cukup baik, mulanya bersekolah di MULO Tondano dan kemudian mampu bersekolah bahkan sampai ke Surabaya.  Dia pergi bersama pamannya  Rasjid Tangahu Wartabone. Sang Paman bekerja di Institut Buys, lembaga yang dimiliki orang Belanda.

 

Saat ibunya jatuh sakit dan berobat ke Surabaya, Nani Wartabone ikut mendampingi ibunya dan bersekolah di sana. Selain bersekolah, Nani Wartabone juga selalu mengikuti pertemuan dengan para tokoh pemuda antara lain Sukarno. Dia banyak mendengar, menyimak, dan berdialog dengan para tokoh tersebut. Pandangan mereka akan cinta tanah air menjadi cita-cita Nani Wartabone saat pulang ke Gorontalo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun