Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gajah dan Manusia dalam Sejarah: Bukan hanya Meninggalkan Gading

11 Agustus 2015   15:13 Diperbarui: 11 Agustus 2015   15:13 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada April 1637 seorang pedagang Inggris bernama Peter Mundy memberikan kesaksian parade suatu skuardron pasukan gajah pada pemerintahan Sultan Iskandar Thani. Setiap gajah mempunyai semacam menara kecil dengen serdadu berseragam merah denagn surban emas di punggungnya. Pasukan gajah ini melengkapi pasukan berkuda, lengkap dengan senapan dan iring-iringan musik (seperti drum dan terompet) dalam parade yang melintasi masjid.

Thomas Allsen, seorang sejarawan Asia dari AS menulis bahwa Aceh mengekspor gajah ke Kerajaan Mughal dan kerajaan Hindu Golkanda, India pada abad ke 17. Gajah digunakan sebagai transportasi, bagian angkatan perang, hingga gaya hidup seperti berburu di beberapa kerajaan di Asia, di India, Mongolia, Siam, Turki hingga Mesir. Sejarawan Asia dari Amerika lainnya David Joel Steinberg menyebutkan bahwa gajah di Kerajaan Thailand dan Burma menjadi alat transportasi untuk mengangkut komoditi hisil hutan,kapas, sutera dan perak. Rombongan gajah melewati rute utara Burma dan Thailand menuju Vietnam dan China Selatan. Gajah juga jadi bagian angkatan perang. Di sejumlah distrik dalam wilayah kerajaan Thailand profesi pelatih gajah masuk dalam jabatan pemerintahan.

Selain Aceh dan beberapa kerajaan di Sumatera, Banten dan Cirebon pada abad ke 17 juga menggunakan gajah sebagai transportasi. Pelabuhan Karangantu juga disebutkan mengekspor barang-barang yang laku dijual di pasar internasional, seperti keramik, gerabah,gading gajah, beras dan rempah-rempah. Adanya gading gajah di pasar merupakan bukti bahwa perburuan gajah sudah terjadi pada abad ke 17. Kemungkinan berharganya gading gajah ini diperkenalkan oleh pedagang-pedagang asing. Bahkan menggunakan gajah ini juga sudah terjadi sejak masa Tarumanagera abad ke 5 terbuktinya dengan adanya prasasti telapak gajah.

Jean Baptise de Guilhen, saudagar Trascon yang bertugas di Banten pada 1634 hingga 1708 menceritakan perjalanan duta kerajaan siam ke Prancis,termasuk pengangkutan dua ekor gajah serta perseidaan makanan dan minuman yang sangat banyak bagi hewan tersebut (Dorleans, halaman 86).

Seorang orientalis, pionir berkebangsaan Inggris William Marsden singgah di Sumatera pada abad ke 19 juga memberikan catatan sendiri soal keberadaan gajah. Menurut ia gajah hidup berkelompok menjelajahi rimba. Pada masa itu gajah sudah menjadi ancaman besar bagi kebun-kebun rakyat karena menghancurkan tanaman yang mereka lewati. Gajah menyukai makanan pisnag dan tebu yang idtanam rakyat. Petani mengetahui kesenangan gajah menaruh racun dalam belahan batang tebu dan membuat gajah yang memakannya tewas. Sayangnya Marsden tidak memerinci kapan persisnya gajah merusak kebun rakyat. Marsden di bagian lain menyebutkan adanya tanaman tebu di kawasan Lampung. Marsden hidup antara tahun 1754 hingga 1836.

Tanaman tebu sudah dikenal di nusantara abad ke15 dibawa oleh pedagang Cina (bahkan sudah ada sejak 400 SM sebagai tanaman). VOC dan kemudian Belanda memperluasnya sejak abad ke 17 dan mencapai puncaknya setelah tanam paksa di Jawa. Jadi kemungkinan tebu ada di Sumatera ada di Lampung dan Sumatera Selatan. Beberapa litertarur menyebutkan bahwa kesultanan Palembang antara abad ke 18-19 mengekspor beberapa produk di antaranya gula.

Suara-suara Pertama Keprihatinan Terhadap Gajah
Perburuan gajah yang diambil gadingnya berlanjut ke abad 19 ketika Belanda sudah menduduki kerajaan-kerajaan di Sumatera. Catatan Syahbandar Kesultanan Deli pada 1862 menyebutkan angka ekspor selama 12 bulan memasukan gading gajah sebanyak 400 pasang, selain komoditi lain seperti rotan, 2000 ikat, tembakau 500 pikul, lada 8300 pikul, gambir 500 pikul. Orang Belanda juga menjadikan berburu gajah sebagai kesenangan dibuktikan dengan foto perburuan di Langkat, Sumatera Selatan pada 1920.

Namun akhirnya Pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa gajah Sumatera bakal punah. Satwa ini telah dilindungi sejak 1931, yaitu melalui Peraturan Perlindungan Binatang-binatang Liar 1931.

Di Indonesia masalah perburuan gajah sudah mendapatkan perhatian serius pada awal 1950, sekali pun dari segelintir ahli kehutanan. R.Koesnadi P. Satmoko adalah di antaranya dalam sebuah artikelnya berjudul “Arti perburuan Sekarang” melihat telah terjadi perubahan cara pandang perburuan. Manusia tidak lagi hidup berburu, kemudian bergeser kegemaran dan rekreasi, beregser lagi menjadi perdagangan gelap. Sejak masa Hindia Belanda badak di Ujung Kulon dan Sumatera sudah menjadi perhatian untuk dilindungi dan masalah perdagangan gelap atas mawas (orang hutan) juga marak terjadi (Rimba Indonesia Nomor 11,12,13, 1953).

Inventarisasi yang dilakukan sebelum perang oleh Dr. Ir FC Van Heurun dan W.Groeneveldt menyebutkan terdapat sekitar 2000 ekor gajah di Sumatera sebelum perang. Ketika dilakukan pemeriksaan antara Oktober dan November 1951 jumlah gajah yang tersisa sekitar 900 ekor. Di Gunung Sugih-Menggala, Dusun Tulung Julak pada sebelum perang terdapat 50 hingga 60 ekor gajah dan pada 1951 hanya tampak 40 ekor. Di kawasan itu paling 9 ekor gajah tewas ditembak mati. Kawanan gajah dilaporkan diburuh oleh anggota tentara dan polisi (lihat Rimba Indonesia Tahun IV, nomor 3,4,5, 1955)

Laporan lain juga dilakukan Tjoa Tjien Mo dalam artikelnya “Kebuasan Manusia Terhadap Binatang Liar Harus Dikekang” menuturkan bahwa sekitar 1920-1930-an gajah di Sumetera Selatan hidup tenang dan aman. Tetapi pada 1953 dilaporkan 200 ekor gajah mati ditembak, masuk lubang perangkap dna mati kelaparan atau mati kena ranjau. Pada 1954 sekitar 15 ekor gajah dibunuh dan pada 1955 terdapat 100 ekor gajah dibunuh (Rimba Indonesia Januari-Februari 1957).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun