Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jelajah Gua Pawon ke Taman Batu: Panorama Eksotis di Padalarang

25 Mei 2015   17:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:37 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_420095" align="aligncenter" width="300" caption="Goa pawon dari bagian dalam"][/caption]

Tidak ada kemacetan yang  kami temui ketika menempuh perjalanan dari Situ Ciburuy ke arah Rajamandala, setidaknya sampai tiba di gerbang situs wisata Gua Pawon yang terletak di kawasan perbuktian kapur Padalarang, Jawa Barat.  Bahkan perjalanan dari alun-alun Bandung dengan Bus Damri ke Situ Ciburuy juga hanya melewati satu atau dua titik kemacetan  di daerah Cimahi.  Sabtu 23 Mei 2015,  Saya dan rekan saya Widya tiba sekitar pukul  9 pagi setelah menempuh sekitar satu setengah jam perjalanan. Udara terasa panas tetapi tidak terlalu  menyengat. Dari gerbang kami mengendarai ojek  sejauh sekitar dua kilometer ke gerbang loket Situs Purbakala Goa Pawon itu, Desa Gunung Masigit itu.

Pemandangan menakjubkan seakan menyambut kami begitu tiba di pelataran yang sudah tertata cukup rapi. Sebuah bukit menjulang tinggi tempat gua yang akan dikunjungi begitu elok.  Bersama puluhan pengunjung lainnya-terutama dari mahasiswa NHI, Bandung, kami mendaki jalan setapak yang terjal antara 45 hingga 50 derajat tidak berpagar menuju pintu gua.  Jalannya bertanah dan bisa dibayangkan akan licin di musim hujan. Dari kontur tanah awal saja, menjelajah situs itu lebih berat dari Gunung Padang, Cianjur yang kami kunjungi Maret lalu.

Seperti anjuran beberapa artikel yang sudah lahap sebelumnya-Widya  rupanya lebih tahu dan sudah bawa masker dari  Bandung - saya mengenakan masker yang saya beli dari warga lokal.   Pasalnya memang bau kotoran kelelawar cukup menyengat.  Begitu memasuki gua tampak stalaktit berwarna hijau khas gua yang begitu mengagumkan. Lorong jalur dalam gua juga berliku dan agak curam, hingga untuk naik lebih ke atas untuk melihat tempat tulang belulang manusia era purbakala dipandu anak tangga yang terbuat dari kayu sekitar dua hingga tiga meter atau merangkak lewat jalan yang juga  tidak landai.  Variasi ketinggiannya berbeda mulai dari  dua meteran hingga kira-kira 30 meter.  Di tingkat tiga (kalau saya tak salah hitung) kami menemukan replika tulang belulang manusia purba, karena yang asli sudah dipindahkan ke museum.

“Saya bisa membayangkan bagaimana manusia gua zaman dahulu tinggal, mulai mencari makan hingga tidur,” ujar Widya berfantasi.

Beruntung di lokasi berjumpa dengan Tony Jubiantoro, staf pengajar NHI juga mantan arkeolog dari Bandung  menerangkan bahwa kerangka manusia yang ditemukan tergolong homo sapiens (sama seperti manusia  sekarang, hanya saja umurnya sepuluh  tahun)  jadi bukan pithecanthropus erectus. Sementara lembah yang di bawah Gua Pawon bukanlah lembah danau Bandung seperti informasi yang banyak beredar, tetapi danau lainnya. Danau Bandung itu di belakang bukti Kapur hingga meliputi Kota Bandung sekarang dan bekas kaldera. Sementara bibirnya ada di Dago Pakar.

“Daerah ini bisa menjadi potensi wisata tetapi tidak instan. Situs wisata sejarah budaya tidak boleh dirubah. Jadi tepat pemerintah Kabupaten Bandung Barat membeli sekian puluh hektar wilayah sekitar gua agar tidak tergerus eksplorasi kapur,” tutur Tony.

[caption id="attachment_420096" align="aligncenter" width="300" caption="Menuju mulut gua"]

1432549435618631846
1432549435618631846
[/caption]

Menurut arkeolog Lutfi Yondri dalam tulisannya “Situs Gua Pawon  Dalam Lintasan Budaya Prasejarah Jawa Barat”  yang dimuat dalam buku Amanat Gua Pawon, terbitan 2004  secara garis besar kawasan Gua Pawon merupakan gua tebing yang terletak pada ketinggian antara 700 meter di atas permukaan laut.  Serpihan batu yang ditemukan dari jenis batu oksidan (batu yang terbentuk dari letusan gunung berapi). Gua Pawon adalah tempat berteduh manusia purba yang hidup kira-kira sepuluh ribu tahun lalu.

[caption id="attachment_420099" align="aligncenter" width="300" caption="Widya dan Tony Djubiantoro"]

14325494961837515398
14325494961837515398
[/caption]

[caption id="attachment_420100" align="aligncenter" width="300" caption="replika kerangka manusia pawon"]

1432549549832760555
1432549549832760555
[/caption]

[caption id="attachment_420103" align="aligncenter" width="300" caption="sudut gua pawon"]

1432549654615890321
1432549654615890321
[/caption]

[caption id="attachment_420105" align="aligncenter" width="300" caption="romantisme anak alay di pawon"]

143254969181426242
143254969181426242
[/caption]

Lutfi Yondri kepada Kompas.com beberapa tahun lalu menyebutkan bahwa pada penggalian Gua Pawon selama beberapa tahun ke belakang, Lutfi selalu menemukan fosil-fosil dari sampah makanan berupa cangkang moluska, seperti siput dan kerang. Hal ini menjadi indikasi bahwa manusia Gua Pawon juga memakan golongan siput dan kerang. Secara kebudayaan seperti  ada kemiripan antara manusia Gua Pawon dan manusia Sunda modern saat ini.

“ Namunperlu penelitian berupa sinkronisasi DNA untuk membuktikan apakah manusia prasejarah Goa Pawon memang benar merupakan nenek moyang orang suku Sunda,” katanya.

Sayang di beberapa dinding sudah ada tulisan tangan tak bertanggungjawab yang merusak situs ini.  Rupanya kesadaran menjaga kelestarian sejarah budaya bagi sebagian wisatawan hanya terbatas untuk selfie dan romantisme ala anak alay. Menurut saya wisata ini tidak direkomendasikan untuk mereka yang membawa anak-anak  balita.

“Puspa Indah Taman Batu”

Sekitar pukul sebelas siang, saya dan Widya melanjutkan segmen kedua ke Taman Batu atau Stone Garden.  Kami menempuh jalan setapak mendaki dengan derajat kemiringan rata-rata enam puluh derajat.  Beberapa kali saya harus berpegangan pada tanaman. Rekan saya asyik memotret beberapa spesies bunga di pinggir jalan setapak.   Di tengah perjalanan, kami harus mengaso melihat ketinggian yang cukup mencekam. Nafas saya mulai tersengal-sengal setelah setengah jaman mendaki. Kemudian kami terus kami terus mendaki sekitar setengah jam lagi.

[caption id="attachment_420107" align="aligncenter" width="300" caption="segmen dua: menuju Taman Batu (stone garden)"]

14325497511197297192
14325497511197297192
[/caption]

[caption id="attachment_420108" align="aligncenter" width="300" caption="saya dan rombongan mahasiswa NHI"]

1432549804360955491
1432549804360955491
[/caption]

[caption id="attachment_420110" align="aligncenter" width="300" caption="tempat parkir"]

14325498502018201130
14325498502018201130
[/caption]

[caption id="attachment_420111" align="aligncenter" width="300" caption="Taman Batu Stone Garden"]

14325498922113716344
14325498922113716344
[/caption]

[caption id="attachment_420113" align="aligncenter" width="300" caption="Taman Batu"]

14325499501235393754
14325499501235393754
[/caption]

[caption id="attachment_420114" align="aligncenter" width="300" caption="Taman batu"]

1432549986404401526
1432549986404401526
[/caption]

[caption id="attachment_420115" align="aligncenter" width="300" caption="taman batu"]

1432550014587889816
1432550014587889816
[/caption]

Kami melanjutkan perjalan dan tiba di shelter di mana terdapat beberapa warung makan tepat tengah hari. Kami menikmati indomie telur yang terasa lezat waktu itu. Benar-benar lapar.  Di shelter kami bertemu rombongan mahasiswa NHI dan beberapa anak muda  dari Jakarta yang juga kelelahan. Heran juga saya, masih ada  anak muda cewek ke tempat seperti ini menggunakan rok pendek (salah satu wisatawan Jakarta). Pakai jalur yang sama seperti kami. Katanya  dia tidak  menyangka bakal mendaki dari bawah begitu curam dan lebih dari satu jam. Untung tidak ada binatang seperti lintah atau ulat yang bisa bebas merayap di kakinya yang nyaris tak terlindung.   Hanya ada cacing tanah yang  mati kepanasan. Kalau saja dia terpelset lebih mudah cidera, dibanding menggunakan celana panjang.   Toh, empat anak muda itu (semua mahasiswa)  puas berselfie dan tidak menjawab komentar kawannya di Jakarta ada di mana mereka berada.  Biar disangka mereka berada  di kawasan terpencil. Tersenyum juga saya mendengar candaan mereka.

Rupanya kami semua baru tahu bahwa di dekat shelter itu ada arena parkir kendaraan dan pangkalan ojek.   Dari ibu penjual indomie kami diberitahu bahwa Taman Batu ini ditemukan enam bulanan yang lalu oleh beberapa pemanjat tebing. Tadinya hanya kebun dan pohon-pohon.  Kejadiannya seperti penemuan Tebing keratin, yang pernah saya tulis juga baru tren.  “Di sekitar Taman Batu dan Goa Pawon terdapat 50 rumah warga. Aktifitas sampai pukul enam sore,” tutur ibu itu.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan sekitar lima menit dan melewati pepohonan di mana kera saling bekejaran.  Hasilnya kami menjumpai hamparan batu yang tersusun secara alami begitu eksotis dan indah.  Luasnya  ribuan meter persegi, saya perkirakan lebih luas dari alun-alun Bandung, mungkin empat atau lima kalinya. Beberapa tingkat, namun banyak tempat landai.  Ketinggian batunya juga variasi, mulai dari satu hingga lebih dari 20 meter.

Bebeberapa anak muda di puncak batuan tinggi untuk berselfie. Berani juga, karena kalau jatuh fatal akibatnya.  Beberapa bagian formasi batu itu disukai Widya, karena mengingatkannya pada suatu tempat di Bali, yaitu berbentuk lorong. Saya justru lebih ingat panorama  seperti ini mengingatkan pada  masa purbakala.      Secara keseluruhan anak-anak cukup aman dibawa ke kawasan Taman Batu atau Stone Garden ini asalkan bukan dari jalur mendaki, tetapi mengendarai mobil ke area parkir. Namun bagi remaja hingga dewasa muda  sebaiknya satu paket dengan Gua Pawon, sensasi petualangannya sangat terasa.

Setelah satu jaman menjelajah saya dan Widya turun dengan ojek dengan tarif yang sama ketika naik ke jalan Padalarang-Bandung. Dari sana kami kembali menggunakan angkot ke Situ Ciburuy dan kembali ke Bandung dengan Bus Damri. Badan rasanya remuk redam, tetapi dengan kepuasan luar biasa.

Cara Mencapai Situs Goa Pawon

Bus Damri (AC) dari Alun-alun Bandung ke Situ Ciburuy  Rp10.000/orang

Angkot ke arah Rajamandala berwarna kuning    Rp4000/orang

Jalan Masuk Goa Pwon ke Gerbang loket ojek Rp10.000/orang

Harga Tiket Rp 5500/orang

Bandung 23 Mei dan Jakarta 25 Mei 2015

Irvan Sjafari, Widya Yustina,

Foto-foto Irvan Sjafari dan Widya Yustina

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun