Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Review “Ketika Tuhan Jatuh Cinta”: Film Religi dengan Kharakter Realistis

10 Juni 2014   19:02 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:24 6820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_341686" align="aligncenter" width="300" caption="Poster Ketika Tuhan Jatuh Cinta (www.21cineplex.com)"][/caption]

JudulFilm:Ketika Tuhan Jatuh Cinta

Sutradara:Frasiska Fiorella

Bintang:Reza Rahadian, Aulia Sarah, Renata Kusmanto, Enzy Storia, Ibnu Jamil, Tamara Tyasmara, Didi Petet

Rated:***

Saya lega ketika keluar dari bioskop setelah menyaksikan Ketika Tuhan Jatuh Cinta di sebuah biskop di kota Depok. Tadinya saya khawatir film religi ini nyinyir berdakwah (seperti sejumlah sinetron di televisi dan beberaap film religi di layar lebar), tokoh utamanya pria berbaju kokoh dengan perilaku bak “Nabi”, danmelihat sebuah permasalahan dengan hitam-putih.Ternyata dugaan saya sekali meleset.Tidak ada hakim-menghakimi dalam film yang diangkat dari novel karya Wahyu Suljani ini (yang belum saya baca). Saya benar-benar menyaksikan realita kehidupan.

Tokoh utamanya Fikri (Reza Rahadian), tinggal di sebuah desa di kawasan pantai Garut, Jawa Barat, digambarkan rambutnya gondrong, bajunya seperti orang kebanyakan, dan dia seorang seniman melukis pasir. Sejak awal ayahnya (Joshua Pendelaki)tidak setuju Fikri melanjutkan kuliah sekaligus menjadi seniman, tetapi ingin menjadi marbot masjid.Sementara adiknya Humairo (Tamara Tyasmara) ingin bekerja di kota Bandung tetapi kantor yang dilamarnya memintanya melepaskan jilbab.

Singkat cerita dua-duanya nekad ke Bandung. Fikri berhasil menjadi seorang pelukis berkat bantuan Koh Acong (Didi Petet) pemilik sebuah galeri yang tinggal bersama putrinya Lidya (Renata Kusmanto). Fikri melanjutkan kuliahnya dan mendapatkan kenyataan, kawan seangkatannya Leni (Aulia Sarah) sudah menjadi asisten dosen. Bisa ditebak Fikri dan Leni saling jatuh cinta.Sayangnya Leni sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan pria pilihannya.Saya suka tokoh Fikri dengan tegas menolak kawin lari dengan Leni. Fikri ikhlas menikah dengan pria lain.Dia memilih berpisah walaupun hal ini menyedihkan baginya. Suatu sikap yang tidak mudah.

Cerita berkembang dengan munculnya tokoh Irul (Ibnu Jamil) playboy kampus, kawan Fikri.Dalam sebuah adegandieprlihatkan irul habis didamprat dua perempuan di sebuah kafe (adegan yang sebetulnya klise).Nah, Irul inimendekati Lidya, tentu saja dengan memanfaatkan akses sebagai teman Fikri.Persoalannya hubungan keduanya terlalu jauh hingga Lidya hamil dan Irul tidak mau bertanggungjawab. Tokoh pria tak bertanggungjawab dan menggampangkan perempuan ini selalu ada di setiap zaman dan hampir selalu “menang” karena sistem sosial yang patriarki (serta menenangkan orang yang kaya)cenderung mendukung eksistensinya.

Tentu saja Fikri merasa harus bertanggungjawab, apalagi Koh Acong meninggal karena mengetahui anaknya hamil. Apa yang dilakukan Fikri? Mendamprat irul? Tentu dia mendatangi dan dia tahu Irul bersembunyi, tetapi dia bukan “pahlawan remaja” alafilm Indonesia 1970-an langsung pukul memukul.Fikri hanya bilang pada pembantu rumah tangga anak orang kaya itu: Bilang pada Irul, saya mencarinya. Sebaliknya dia yang melindungi Lidya. Aplaus sekali lagi buat Fikri.

Di sisi lain Humairo adiknya melepas jilbab untuk bisa bekerja di sebuah hotel. Bagi saya persoalan jilbab ini lebih serius,karena realitasnya ada di tengah masyarakat. Masa jilbab dianggap sebagai penghalang seorang karyawati bisa bekerja?Tentu saja Fikri terpukul melihat adiknya bersikap demikian. Tetapi dia bersikap arif dan tidak menghakimi.Sekali lagiFikri digambarkan tidak hitam putih memandang kehidupan.Apalagi kemudian kedua orangtua mereka meninggal dalam kecelakaan.

[caption id="attachment_341583" align="aligncenter" width="300" caption="Reza Rahadian dan Aulia Sarah dalam Ketika Tuhan Jatuh Cinta (kredit foto Muvila)"]

14023736061114797107
14023736061114797107
[/caption]

Di bagian lain Leni tidak bahagia dengan rumah tangganya. Dia selalu menolak berhubungan badan dengan Andi.Saya justru memberikan aplaus pada Andi yang masih bersabar karena dia mencintai Leni. Dia pun menolak permintaan Leni untuk berceraidan sampai kapan pun menunggu Leni sampai mau pada dia. Jarang ada laki-laki yang mampu bersikap seperti ini.Sebaliknya Fikri menanggapi keinginan Leni berceraidengan bijak. “ Kamu ada di masa lalu!”

Di tengah dilemanya soal cinta dan karirnya sebagai seniman yang melejit, muncul Shira (Enzy Storia) seorang pengagum lukisan Fikri. Tentunya arah film ini kepada siapa cinta Fikri berlabuh dan sekaligus jawaban atas ujian-ujian pada Fikri menandakan Tuhan sedang jatuh cinta.

Tokoh-tokohperempuan dalam film inimempunyai sikap berbeda terhadap kehidupan.Shira menurut saya perempuan modern, terdidik, mandiri dan bisa menentukan sendiri dengan siapa dia menikah. Hal ini bertolak belakang dengan Leni. Dia bisa memberontak dengan caranya , tetapi tidak bisa melawan sistem.Sementara Lidya adalah perempuan yang hanya bisa pasrah terhadap nasibnya. Dia seorang perempuan yang peduli terhadap orang terdekatnya (seperti ayahnya dan Fikri), namun sebetulnya rapuh.

Untuk jajaran akting, Reza Rahardian bermain memukau sebagai Fikri. Sekali lagi dia menunjukkan kepiawaian di dunai seni peran.Saya memberikan apresisasi pada Enzy Storia yang keluar dari kharakter ABG Ababil menjadi perempuan dewasa, yang saya sendiri terpukau pada perilakunyayangsmart dan dewasa. Lainnya ialah pendatang baru Tamara Tyasmara sebagai gadis desa yang bersemangat menjadi pekerja keras di kota. Dia harus memilih tunduk pada tata nilai keluarganya, tunduk pada realitas atau kompromi alias “bermain di dua perahu”.

Setting sosial tepat.Saya merasakan ketika menonton film inimasyarakat Jawa Barat kontemporer (dalam hal ini Priangan Selatan)yang sedang gelisah. Di satu sisi nilai-nilai religi yang mereka anut ketat berhadapan dengan kenyataan bahwa nilai-nilai western sudah merasuk jauh ke pedalaman. Film ini digarap dengan apik untuk setting sosialnya pemandangan ikan asin yang dijemur dan panorama pantai, amboi indahnya.Bahasa Sunda paar penuturnya terdengar fasih dan tidak kaku.

Film ini seperti halnya 99 Cahaya di Langit Eropa dan Ketika Cinta Bertasbih mempunyai sekuelnya.Saya menantikan pada bagian kedua apakah tokoh Fikri ini konsisten atau tidak pada sikapnya?

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun