Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Review Film “Yasmine”: “Karate Kid” dari Brunei yang Inspiratif

26 Agustus 2014   01:16 Diperbarui: 4 April 2017   17:00 1779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_355175" align="aligncenter" width="546" caption="Film Yasmin/Kompasiana (screenshot youtube.com)"][/caption]

Judul  Film           :  Yasmine

Sutradara            :   Siti Kamaluddin

Bintang                 :   Liyana Yus, Reza Rahadian, Dwi Sasono, Agus Kuncoro, Roy Sungkono, Nabila Huda, Mentari de Marelle, Dian P. Ramlee.

Rated                    :   **

“Jadilah air yang mengalir, kalaumasuk cawan maka dia menjadi cawan,kalau masuk ke dalam botol, maka dia menjadi botol”

Cik Gu (panggilan orang Brunei untuk guru) Tong Fu (Dwi Sasono)  mengajarkan filosofi itu pada tiga epserta ekstra kurikuler silat di Perguruan Tinggi Syahbandar (setingkat SMA) ,yaitu  Yasmine Fatia (Liyana Yus),  Nadia (Nadiah Wahid),  Ali (Roy Sungkono).  Sekali pun sebetulnya Tong Fu lebih pandai teoritikal daripada praktik hingga ketiga muridnya akhirnya mencari guru lain di luar sekolah, yaitu Jamal (Agus Kuncoro) yang memakai kursi roda.   Mereka bertiga bertekad mengikuti kejuaraan silat antar sekolah se-Brunei Darussalam.

Bagi Yasmine mengikuti silat,  awalnya didorong motivasi pribadi.  Adi, pria pujaan sewaktu kecil adalah juara silat sudah tingkat internasional. Sayang sahabatnya sewaktu  kecil itu sudah menjadi kekasih Dewi  Isyana (Mentari de Marelle), yang juga juara silat dari Sekolah Tinggi Internasional. Keduanya digambarkan berseteru sejak awal.  Misalnya pada scene di loker sekolah ketika Yasmine kangen teman sekolah sebelumnya. Dewi dengan ketus berkata: “Kita jumpa di gelanggang”

Bila menonton film ini saya teringat plot  Karate Kid-nya Hollywood.  Sekali pun dalam yasmine diceritakan ayah Yasmine, Fahri (Reza Rahadian) tidak menyetujui putrinya mengikuti kegiatan silat.  Sang ayah yang berprofesi sebagai pegawai perpustakaan kerajaan ini   diceritakan single parent berupaya mencegah niat putrinya, di antaranya dengan mencarikan guru mengaji untuk menyibukannya.  Tentunya Yasmine lebih cerdik untuk bisa ikut kejuaraan silat.

[caption id="attachment_355155" align="aligncenter" width="300" caption="Adegan dalamYasmine (kredit foto ANpublicitist/Origin Film)"]

14089648821490699646
14089648821490699646
[/caption]

Cerita terus bergulir.  Yasmine digambarkan cewek berkarakter gigih memilih guru yang mau mengajarkannya jurus yang lebih mumpuni untuk bisa bertemu seterunya Dewi di final.  Di antaranya menemui Datuk Hitam. Dari sini  akhirnya Yasmine  tahu mengapa ayahnya mempunyai trauma terhadap silat setelah dia memukul “knock out”  lawannya di semifinal.  Selain itu Yasmine jadi arogan dan berselisih dengan Ali dan Nadia.

Mereka bertiga bisa rukun lagi dan final pun dimulai. Seperti lazimnya cerita semacam Karate Kid (sebetulnya juga pola cerita laga),  “final fighting” adalah adegan kunci.  Bagi saya  pertarungan antara Yasmine dan Dewi  Isyana adalah adegan terbaik dalam film ini, baik dari segi teknik, maupun segi filosofis: apa itu silat sebenarnya. Tanpa harus berdarah-darah laga keduanya tidak kalah dengan scene  film laga kung fu atau pun laga film barat, apalagi Karate Kid.

[caption id="attachment_355156" align="aligncenter" width="300" caption="adegan dalam Yasmine (kredit foto ANpublicitist/Orign Film)"]

14089651931180671588
14089651931180671588
[/caption]

Melihat Budaya Brunei di Layar Lebar

Saya suka film ini karena pertama kali melihat Brunei di layar kaca.  Sebagai negara yang mengadopsi syariah Islam, Brunei digambarkan tidak ketat-ketat sekali. Brunei memberikan banyak kebebasan berekspresi bagi warganya.  Misalnya wajib berkerudung di sekolah, tetapi di luar bebas.  Yasmine bahkan digambarkan sempat memakai kerudung warna merah berlawanan dengan kawan-kawan di sekolahnya.  Waktu perkenalan  Yasmine dengan santai mengomentari Ali berpakaian seperti pegawai kerajaan (pegawai negeri).  Yasmine memang termasuk remaja yang trendi.  Tetapi teman-temannya malah menyebut penampilannya : Astagfirullah!” termasuk gurunya. Adegan ini dikemas jenaka.

Brunei digambarkan sebagai negara yang makmur. Setiap anak pergi ke sekolah membawa mobil. Yasmine anak pegawai kerajaan saja membawa Morris yang di Indonesia termasuk mobil mewah. Panorama jalanan Brunei yang tertib masjid raya,  dermaga yang tenang, termasuk juga kehidupan sosial Brunei menambah wawasan.

Film ini adalah film features pertama Brunei dan disutradarai oleh perempuan pula, Siti Kamaluddin. Nafas emansipasinya terasa. Walau ada adegan yang berlebihan.  Sekalipun  saya suka Yasmine menghajar tiga preman pelabuhan, namun menurut saya adegan ini  tidak terlalu perlu. Lagipula  buat apa tiga  orang preman mengeroyok seorang remaja putri, di negara yang masyarakatnya konservatif pula.  Masa para preman ini tidak tahu bahwa tindakan mereka bisa jadi bahan tertawaan.

Catatan lain ialah soundtrack salah satu  film ini juga menyengat: “ Ayah bimbinglah aku, tetapi jangan atur hidup aku”.  Pas untuk renungan bagi para orangtua memahami anak muda sekarang.  Dalam satu adegan seorang teman Fahri dengan entengnya memberikan buku bagaimana mendidik remaja, yang kenyataannya berbeda dengan yang ada di lapangan atau di dunia nyata.

Dari Departemen casting, saya jatuh hati pada Lisyana Yus pas memainkan Yasmine dengan emosi turun naik. Cewek yang bisa melakukan pekerjaan laki-laki, tetapi tidak kehilangan feminin-nya.  Tokoh manusiawi, tidak sempurna, punya kesalahan seperti lazimnya manusia.  Saya jatuh hati pada tokoh Yasmine. Pemeran Nadia yaitu Nabila Huda juga menyenangkan. Cewek gendut tetapi gagah di arena silat.  Dia diceritakan ikut silat untuk menguruskan badan.  Sangat manusiawi.   Tentunya juga pemain-pemain asal Indonesia, seperti Reza Rahadian, Dwi Sasono (guru silat lebih banyak teori) dan Agus Kuncoro.

Sayang sekali kok film bertema pencak silat akhir-akhir  ini jarang  diangkat sineas Indonesia. Akhir-akhir ini lebih banyak sineas asing mengangkat silat, sementara sineas Indonesia banyak yang  mengadopsi budaya luar, bukan hanya dari Barat tetapi juga Korea dan Jepang?  Yasmine mengajarkan bahwa nilai-nilai religi  juga bisa dikompromikan dalam film tanpa harus cerewet.   Akhirnya saya menyambut Yasmine sebagai tontonan yang menyegarkan dan memberikan inspirasi bahwa untuk berhasil perlu kerja keras dan kekuatan itu harus digunakan hanya seperlunya.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun