[caption id="attachment_367065" align="aligncenter" width="300" caption="Soekarno dan Sanusi Hardjadinata (kredit foto http://adisaittaqasoedarso.files.wordpress.com/2013/07/20130628_144845.jpg 0"][/caption]
Desember 1956MohammadHatta resmi tidak lagi menjabat menjadi Wakil Presiden RI, sebagai realisasi surat pengunduran dirinya pada parlemen20 Juli 1956.(http://sejarah.kompasiana.com/2013/12/31/bandung-1956-3-mutasi-bupati-bandung-male-wiranatakusumah-dan-front-pemuda-sunda-621138.html )Mundurnya Hatta sudah menjadi pengetahuan umum.Sejumlah tokoh yang ikut dalam Revolusi Kemerdekaan mengkhawatirkan peristiwa ini akan menimbulkan reaksi berantai dan bahkan membuat Indonesia mendapatkan masalah politik yang besar.
Pada November 1956 Sutomo atau lebih dikenal dengan Bung Tomo, tokoh 10 November 1945 mengirimkan surat terbuka kepada Bung Karno meminta supaya Bung Hatta mengemudi pemerintahan.Bung Tomo menuding bahwa PM Ali Sastroadmidjojo tidakmampu menjalankan pemerintahan.Pemukapolitik dari berbagai partai, terutama Masyumi dan NU, bahkan juga PNI menilai Ali tidak dapat dipertahankan (PikiranRakjat 29 November 1956).
Berbagai isu politik seperti grasi terhadap Mr. Djody Gondokusumo yang tersangkut kasus korupsi oleh Presiden Soekarno dimana Hatta tidak diajak bicara membuat ketidakpuasan di kalangan elite politikanggota parlemen.Begitu juga ketika Kabinet Ali memecat Mayor JendralSimatupang sebagai Kepala staf Angkatan membuat masalah kian kompleks.Pemberian lisensiistimewa terhadapIskak Tjokrohadisuryo dianggap menghancurkan ekonomi dan keuangan negara(Pikiran Rakjat, 1 Desember 1956).
Situasi semakin runyam ketika munculketidakpuasan beberapa daerah di Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan tersebut didukung oleh beberapa panglima militer. Mereka membentuk berbagaidewan-dewan militer daerah, seperti :Dewan Banteng di Sumatra Barat dipimpin oleh Kolonel Achmad Husein (Komandan Resimen Infanteri 4) dibentuk pada 20 Desember 1956, diikuti Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I (TTI) pada tanggal 22 Desember 1956, serta Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian. BahkanGubernur Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo menyerahkan pimpinan kepada Ahmad Husein (Pikiran Rakjat, 27 Desember 1956).
Seperti dikutip dari buku Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta, LP3ES, 1986 yang ditulis oleh sejarawan Ulf Shundaussen dari Australia, rakyat di daerah khawatir bahwa Soekarno makin condong ke kiri, serta semakin majunya kaum komunis.Mundurnya Hatta yang dianggap sebagai pengimbang Soekarno dan sebagai wakil kepentingan luar Jawa di Jakarta makin memperburuk keadaan. Kabinet Ali dituding memanipulasi kurs devisa telah merugikan pulau-pulau penghasil ekspor di luar Jawa dan menganakemaskan pulau Jawa yang mengimpor barang-barang konsumsi. (halaman 184-185)
Ketidakpuasan juga terjadi di Jawa Barat terutama yang dicetuskan Front Pemuda Sunda. DalamSidang parlemen yang dihadiri 158 anggota pada Desember 1956,PM Ali Sastroamidjojo menjawab pertanyaan Gatot Mangkupradja soal surat selebaran Front Pemuda Sundabahwa itu hanya ketidakpuasan terhadap hasil pemilu yang tidak memberikan kursi pada kelompok ini, hingga ketidakpuasan terhadap politik kepegawaian (Pikiran Rakjat, 15 Desember 1956). Jawaban pemerintah terhadap FPS mendapatkan reaksi keras. Dewan Pagayuban Pasundan menganjurkan agar pemerintah dan alat-alatnya menyelami hasrat dan kemauan masyarakat Sunda sebelum menjelaskan persoalan yang ada di daerah (Pikiran Rakjat 21 Desember 1956).
Situasi nasional semakin runyam ketika pada awal Maret 1957 Letkol Ventje Samual memproklamirkan Pemerintahan Militer Sementara (Permesta). Seluruh wilayah Indonesia Timurdalam keadaan perang(Pikiran Rakjat, 4 Maret 1957). Permesta menyatakan solider terhadap gerakan PRRI.Akhirnya Presiden Soekarno pada 14 Maret 1957 mengumumkan negara dalam keadaan bahaya, istilahnya masa itu SOB (staatvan overleg beleg).
Di Jawa Barat rasa sentimen daerah makin tebal, ketikaPARKI atau Partai Kebangsaan Indonesia (nama Paguyuban Pasundan hasil Kongres 29 hingga 31 Januari 1949 di Bandung)mengeluarkan siaran pers yang dimuat dalam Pikiran Rakjat 20 Desember 1956 tentang kronologi pembunuhan atas diri Raden Oto Iskandar Di Nata padaDesember 1945 menimbulkan tanda tanya. Dalam siaran pers itu disebutkan saat terjadi revolusi terjadi penculikan terhadap beberapa tokoh Paguyuban Pasundan seperti Puradiredja, Ukar Bratakusumah dan Nitisumantri oleh suatu kelompok pemuda.
Oto sendiri berangkat ke Jakartadan diangap melarikan diri.Oto kemudian ditangkap oleh sekelompok pemuda dari Pasukan Hitam pada Desember 1945 dan dibawa ke rumah penjara di Tangerangtetapi kemudian dipindahkan ke Mauk.Oto dibunuh dengan parang oleh seorang bernama Mudji Taba pada 20 Desember 1945 di tepi pantai Mauk.Mulanya Oto dibacok di bagian pundak kiri, tetapi ketika jatuh dia dibantai dengan kejam oleh anggota pasukan itu, di antaranyamelibatkan anggota BKR laut.1
Pikiran Rakjat edisi 4 Januari 1957 menulis berita "Pembunuh Oto tertangkap" yang dilansir dari "Harian Pemandangan". Pelakunya yang ditangkap bernama Mudjitaba yang namanya sudah disebut oleh Front Pemuda Sunda sebagai pembunuh utama. Mudjitaba ditangkap pada 27 Desember 1956 oleh pihak berwajib di kawasan Jonggol, Bogor. Penangkapan ini dilakukan melalui Komandan Militer setempat. Mudjitaba ditahan di penjara Cipinang. Mudjitaba sendiri adalah salah seorang komandan militer.
Pada 18 Februari 1957 diadakan konperensi GAPPI Jawa Barat.Konferensi ini menyerukan bahwa perusahaan-perusahaan asing supaya dinasionalisasi.Mereka mengungkapkan bahwatoko-toko, rumah-rumah dan tanah-tanah yang dulu diduduki Belanda, kemudian malah diduduki Tionghoa asing. Dewan Pemerintahan Sementara (DPS) Kota Bandung juga menghadapi tudingan bahwa kota ini bakal dikuasai etnis Tionghoa (Pikiran Rakjat, 8 dan 20 Februari 1957).Salah satu toko yang gencar disebut bakal dinasionalisasikan adalah sebuah toko di Jalan Braga nomor 36 yang dimiliki oleh orang asing (Pikiran Rakjat, 6 Maret 1957).
Rencana Pendirian Universitas Negeri di Bandung
Rencana pemerintah untuk membuka sebuah universitas negeri di kota Bandung rupanya mmebuat ketegangan di Jawa Barat tidak setinggi sejumlah daerah lain. Rencana itu terungkap pada Januari 1957 dalam rapat sidang pleno di Balaikota Bandung, antara lain untuk menyamapaikan laporan delegasi yang dipimpin Mr. Mohamad Yamin. Universitas di Bandung itu akan terdiri dari Fakultas Hukum, Ekonomi, PTPG, Fakultas Teknik dan Fakultas MIPA.Setelah itu akan disusul Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ketataprajaan.
Dalam rapat itu ada pilihan apakah Fakultas Teknik dan Fakultas MIPAmelepaskan diri dari Universitas Indonesia atau kedua Fakultas ini berkembang sendiri menuju Universitas of Technolgy and Science.Prof. Ir. Sutedja menyebutkan Fakultas Teknik Bandung yang merupakan universitas terua di Indonesia berdiri sendiri dan terlepasdari universitas negeri ini nantinya (Pikiran Rakjat 7 Januari 1957). Persoalannya menurut Yamin, pemerintah tidak mungkin mendirikan dua universitas negeri sekaligus karena menimbulkan iri hati daerah lain (Pikiran Rakjat, 8 Januari 1957).
Pada akhir Maret 1957 berlangsung Kongres Nonoman Sundadi Bandung selama tiga hari.Kongres itu antara lain menyatakan tuntutanagar bekas Wakil presiden Mohammad Hattaditunjuk sebagai Perdana Mentri, Ir Djuanda menjadi Menteri dalam Negeri, Mr. Kosasih Purwangeraa menjadi Menteri Keuangan dan Mr.Iwa Kusuma Sumantri menjadi Menteri Pertahanan. Nonoman sunda menuntut agar kongres Rakyat Seluruh Indonesia segera dibubakan karena dalam kenyataan telah diperalat oleh golongan tertentu.
Kongres juga menyokong pembukaan Universitas Negeri Padjadjaran di Bandung dan sebagai Presidennya diambil dari Suku Sunda.Nonoman Sunda juga menuntut percepatan penterjemahan buku-buku dalam Bahasa Asing ke dalam Bahasa Indonesia (Pikiran Rakjat, 1 April 1957).
Sanusi Hardjadinata
Gubernur Jawa Barat, Sanusi Hardjadinata bersikap lebih tenang dalam menghadapi situasi. Dalam pidato tahun barunya yang disiarkan RRI malam 31 Desember 1956, Sanusi antara lain berkata:
“Suasana politik dalam negeri tahun 1956 merupakan hal yang suram dalam sejarah kita dan hanya dengan kejakinan besar jang dapat menolong masyarakat ke luar dari keadaan suram itu. Diharapkan kebidjakan para pemimpin untuk melaksanakan kepertjaan rakjat dan mentjari penjelasaian dengan memperhatikan keinginan dan kehidupan rakjat…” ( Pikiran Rakjat), 2 Januari 1957
Sanusi menjelaskan bahwa hasil Pemilu menunjukkan tiadanya suatu golongan atau partaimenjadi terbesar mutlak. Golongan dalam parlemen bertamabh jumlahnya dibandingkan parlemen sementara.Hasil inimembuat keharusan adanya Kabinet koalisi,sekalipunsulit sekali untuk memelihara suasana give and take karena terlalu banyaknya golongan.Menurut Sanusi perlu jiwa besar agar keluar dari suasana suram.
Keadaan keamanan di Jawa Barat masih runyam.Dalam Pikiran Rakjat edisi 12 Januari 1956 disebutkan selama 1950 hingga 1956 sudah 8360 jiwa terbunuh, ratusan orang diculikdan 3859 dianiaya akibat aksi gerombolan bersenjata di Jawa Barat dan kerugian harta benda mencapai lebih dari Rp209 juta, jumlah yang besar masa itu.
Pada 27 Maret 1957 Letkol Kosasihmenggantikan Letkol Dadang Suprayogi sebagai Panglima Teritorial III Siliwangi.Serah terima jabawan dihadiri oleh Wakil KSAD Kolonel Gatot Subroto (Pikiran Rakjat 28 Maret 1957). Dalam amanatnya pada 2 April 1957 di Lapangan Tegallega menyatakan soal kekuasaan militer. Menurutnya kekuasan militer berartiAngkatan Perang diserahi tugas dan tanggungjawab menegakkan hukum dan kejujurandalam membela dan menegakkan cita-cita prokalamasi 17 agustus 1945. Kekuasaan militer bukan berarti orang militer mengeluarkanketentuan baru (Pikiran Rakjat, 3 April 1957).
Sejarawan Ulf Sundhaussen menyebutkan Dadang Suprayogi sebetulnya merupakan orang dekat dari A.H Nasution merupakan tokoh dari tentara yang punya pengaruh kuat dalam politik dan juga mantan Panglima Siliwangi.Sementara kalangan perwira Siliwangi sendiri terdapat sejumlah perwira yang kritisterhadap pemerintahan Ali.Sebuah resolusi yang disetujui dalam suatu rapat para perwira Siliwangi di Sukabumimenyatakan bahwa Siliwangi bertekad memberantas setiap perbuatan korupsi. Para perwiraSiliwangi ini sebetulnya khawatir bahwa Suprayogi tidak dapat diharapkan untuk bertindak tegas.Pada masa kepemimipinannya Suprayogi berupaya jangan sampai para perwiranya mencampuri urusan pemerintah (halaman 177-178)>
Pada 2 April 1957, pukul 3 dini hari Walikota Bandung Rd. H. Enoch wafat di rumahnya di Jalan Supratman, setelah menderita penyakit gagal ginjak sejak Agustus 1956. Jenazah Enoch diangkat dengan kereta dari rumah kediamannya dan disemayamkan di halaman balaikota dengan upacara yang diahdari para pegawai kotapraja.Enoch kemudian dikebumikan di Karanganyar. Tentunya Bandung dihadapkan dengan pergantian pimpinan di tengah situasi politik nasional yang menegangkan.
Siapa pengganti walikota sudah menjadi isu politik selama Enoch sakit dan dirawat di RS Santo Bromeos.Nama yang disebut bakal menggantikan Enoch adalah tokoh perempuan bernama Emma Puradireja. Pendukungnya antara lain Omar Soeraatmadja dari Masyumi Bandung (Pikiran Rakjat, 26 Maret 1957). Tokoh pergerakan inipernah dekat dengan Iwa Kusumasumantri.2Selain itu nama Priyatnah Kusumah juga disebut bakal menggantikan Enoch.
Emma Poeradiredja, kelahiran Cirebon 1902,putri dari Raden Kardata Poeradiredja,menamatkanH.I.S. (Hollandsche Inlandsche School) Tasikmalaya pada1917, kemudian melanjutkan skeolah ke Mulo Bandung dan Batavia hingga tamat 1921. Selama masa pergerakan, Emma menjadi anggota “Bond Inlandsche Studeerenden” disingkat (B.I.S. yang didirikan pada1917, menjadi anggota Jong Java pada 1918, Pagujuban Pasundan juga pada 1918 pada usia yang masih remaja.3
Tahun 1957 menjadi lengkap dalam soal suksesi kepemimpinan di Jawa Barat ketika Sanusi Hardjadinata menjadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Zaken yang dipimpin oleh Juanda.Dengan masuknya Sanusi Hardjadinatamaka persoalan bertambah dengan mencari penggantinya sebagai gubernurJawa Barat.Sanusi dalam pernyataan persnya menyebutkan bahwa otonomi daerah merupakan prioritas dan harus diselesaikan satu demi satu (Pikiran Rakjat 15 April 1957).
Di tengah menguatnya Front Pemuda Sunda, pergolakan daerah makin bertambah rumit dengan munculnya gerakan Permesta, muncul isu bahwa pengganti Sanusi Hardjadinata adalah Winarno Danuatmodjo, bekas Gubernur Sumatera Selatan yang hengkang karena terjadi pergolakan di daerah.Sanusi pun membantahhal itu.Sejarah kemudian mencatat bahwa yang menggantikan Sanusi Hardjadinata adalah Ipik Gandamana, Bupati Bogor, pertama dan pernah menjadi wakil Gubernur Jawa Baratpada akhir masa masa Revolusi.4
Foto :Soekarno dan Sanusi HardjadinataKredit Foto : http://adisaittaqasoedarso.files.wordpress.com/2013/07/20130628_144845.jpg
Irvan Sjafari
Catatan Kaki
1.IIpD. Yahyadalam artikelnya berjudul “Oto Iskandar Di Nata” Setelah 65 Tahun dimuat dalam Pikiran Rakyat, 31 Maret 2010 memuat berapa kesaksian pelaku sejarah selain Oto (dan tokoh Paguyuban Pasundan lainnya) difitnah karenamundurnya pasukan dari Bandung, diartikan Oto menjual Bandung kepada sekutu, Oto dianggap sebagai mata-mata sekutu.
2.Dalamhttp://historia.co.id/artikel/persona/1334/Majalah-Historia/Cerita_Cinta_Iwadiakses pada 9 Oktober 2014.
Da
3.http://rsbep.wordpress.com/2009/04/09/sejarah-emma-poeradiredjadiakses pada 9 Oktober 2014
4.Latar belakang Ipik Gandamana bisa ditemui di beberapa situs http://dpadmadiredja.blogspot.com/2010/10/sepak-terjang-bupati-ipik-gandamana.htmldiakses 17 Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H