[caption id="attachment_382372" align="aligncenter" width="300" caption="Herjunot Ali dan Paula Verhoeven dalam Supernova: Ksatrai, Putri dan Bintang Jatuh (kredit foto: http://movieholictasikmalaya.blogspot.com)"][/caption]
Hanya untuk film Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuhsaya menggunakan dua standar. Untuk me-review film sebagai seorang pecandu film sekaligus pencinta film Indonesia kontemporer, saya menyambut baik kehadiran film yang diproduksi oleh Soraya Intercine Film dan disutradarai oleh Rizal Mantovani.Secara keseluruhan film ini menghibur. Para pemeran utamanya rata-rata ganteng dan cantik dan akting mereka menghanyutkan. Bisa dinilaitiga bintang dari sudut ini.Dari segi tema ini sebuah terobosan bagus bagi perfilman Indonesia.
Cara bertuturnya runtut dengan tekanan melodrama percintaan segitiga antara sang CEO Ferre (Herjunot Ali) dan sang wartawati Rana (Raline Shah) yang sudah bersuami Arwin (Fedi Nuril) memang menjual sebagai tontonan, terutama bagi segmen penonton usia remaja dan 20 tahunan.Dari segi ini tampaknya Sunil Soraya dan timnya berhasil memikat segmen ini mau datang, buktinya di sebuah bioskop di Depok Sabtu13 Desember Supernova menjadi pilihan bersaing ketat dengan Kukejar Cintaku Ke Negeri Cina dan 7/24.
Sinopsis
Supernovadibuka dengan pertemuan Ruben dan Dhimas di Washington D.C. Mereka saling mengetahui bahwa mereka gay, saling tertarik dan akhirnyaberjanji bahwa suatu hari mereka akan menulis sebuah buku, sebuah cerita roman sains yang menggerakkan hati banyak orang. “Kisah tentang Ksatria Puteri dan Bintang Jatuh”. Cerita kemudian melompat ke Jakarta, dari sebuah kantor eksekutif, sebuah wawancara mendadak antara Ferre seorang eksekutif muda, kaya, pintar dan terkenaldengan Rana, wakil pemimpin redaksi majalah wanita papan atas di Indonesia; mengubah jalan hidup keduanya.
Dalam wawancara terungkapkejujuran tentang cinta, pengorbanan, dan kebebasan. Obrolan manis penuh hentakan denyut jantung dan tatapan yang amat dalam, bahkan terlalu dalam bagi Ferre dan Rana. Singkatnya keduanya jatuh cinta. Sayangnya Rana telah bersuamikan Arwin seorang pengusaha dari keluarga terkenal dan terpandang di Jakarta. Pernikahan sesuai dengan kriteria keluarga: bebet, bibit, bobot, seperti itu.
Ferre dan Rana saling jatuh cinta bagaikan Ksatria dan Puteri di kerajaan cinta. Keteraturan kehidupan pribadi rumah tangga Rana dan Arwin yang baik-baik saja, menjadi terasa salah. Sementara di bagian lainDiva, seorang model papan atas tiba-tiba muncul dalam kehidupan Ferre. Dengan segala kekacauan dan keteraturan semesta, di bawah malam penuh bintang dan kelebat bintang jatuh; Diva hadir. Diva diceritakan tinggal di cluster yang sama dengan Ferre, bahkan rumah mereka saling berhadapan.Reuben dan Dimas, Ferre, Rana, Arwin dan Diva, akhirnya bertemu tanpa saling mengenali satu sama lain dalam sebuah blog agresif, puitis, romantis, fenomenal bernama Supernova.
Sebagai Truedee melihat film ini
Ketika novel bertajuk yang sama ditulis oleh Dewi “Dee” Lestari dirilis booming, heboh, menjadi pop art karena ditulis seorang artis yang menawarkan sudut pandang berbeda memandang persoalan kehidupan, dengan timing yang tepat ketika internet baru populer, segmen penonton usia remaja dan 20 tahunan sekarang masih usia kanak-kanak atau usia ABG.Jadi lain ceritanya bagi mereka yang sudah membaca novelnya pada 2000, bahkan sebagianikut komunitas penggemarnya di milis grub internet bernama Truedee, lalu saling berinteraksi, paham siapa itu Dimas, Ruben, Ferre, Arwin, dan Diva.
Saya termasuk di antara mereka di Plaza Senayan Jum’at 12 Desember malam, punya pandangan tersendiri. Segmen penonton yang kepalanya sudah dipenuhi pertanyaan seperti apa film yang diangkat dari novel yang terbit empat belas tahun yang lalu, ketika itu usia kami sama seperti segmen penonton yang saya ulas di atas.Saya menonton bersama tujuh truedeer lainnya –berusia antara 35 tahun ke atas –mengambil dua kesimpulan.
Secara sinematografiSupernova: Kstaria, Putri dan Bintang Jatuh memuaskan mata.Sutradara Rizal Mantovani dengan latar belakang pembuat video klip mampu menghadirkan panorama yang menyejukkan mata mulai dari kantor Ferre yang megah dan membuat seorang Truedee ingin berkantor di tempat itu,kapal pesiar tempat Ferre sang ksatria berkasih dengan Rana, sang putri,akad nikah Aswin dan Rana yang megah, serta landscape kota, pegunungan, hingga Aswin berburu mengingatkan saya iklan sebuah rokok.
Kekuatan sinematografi menjadi lebih kokoh dengan penggunaan animasi yang menakjubkan, seperti saat wawancara Rana dengan Ferre di meja keluar kupu-kupu, ketika Ferre berada di tengah bintang-bintang.Yang paling mengundang decak kagum ialah cerita tentang ksatria mengejar putri dengan bantuan kupu-kupu, elang, lalu dengan bantuan bintang jatuh.Sang ksatria digambarkan bergaya setengah Jawa, rumah bergaya oriental, bintang jatuh mengingatkan saya pada film fiksi ilmiah Tron. Realisme dan surealisme. Yahud.
Adanya smartphone, laptop yang belum umum ada pada 2000 menjadi bagian integral film ini menginsyaratkan Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh ber-setting masa sekarang, bukan disesuaikan dengan latar belakang suasana ketika novel itu dirilis. Saya tidak keberatan dengan perubahan setting waktu ini karena ceritanya jadi millennium benar seperti ruh novelnya. Namun ketika sekuel Supernova mau diangkat juga ke layar lebar, bakal jadi persoalan, karena setting waktunya lebih jelas.
Kasting Kurang Pas
Catatan untuk jajaran kastingnya: Sepertinya para pemeran utamanya tidak punya cukup waktu untuk “reading” dan memahami karakternya, termasuk cara berdialog yang mirip dengan sinetron. Adegan di rumah sakit ketika Rana ditengok Ferre: Kau adalah obat buat aku, bawa aku pergi-mirip dengan dialog sinetron di televisi.Selain itu mungkin karena cara bertutur Dee yang berat, kata-katanya bersayap dengan ungkapan ilmiah turbulensi, para pemain sepertinya menghafal dialog tidak berimprovisasi seperti dialog wajarnya.Dialog-dialog tertolong oleh animasi percakapan di internet: Supernova saya sudah menikah, mencintai pria lain: apakah salah? Dialog digital ini cukup menolong bagi pembaca novel era 2000 seperti saya untuk kembali ke pakem.
Porsi cerita lebih banyak menekankan pada kisah cinta segitiga Arwin-Rana-Ferre pas untuk selera penonton sekarang, tidak dengan Truedee seperti saya yang mengharapkan porsi Diva harusnya besar. Justru Divalah “ideologi’ ceritanya dan dalam film Diva diberikan porsi yang sedikit.Paula Verhoeven cukup berkarisma sebagai model papan atas yang juga punya jualan sendiri, sekaligus juga cerdas dan kritis.Adegan ketika Diva membuat menangis kliennya bernama Nanda (Ronny Waluya-cameo seperti ini justru bermain apik, tidak saya kenali sebagai Ronny). “ Kalau kamu mencintai istri kamu, ngapain kamu di sini bersama saya?” Menohok sekali. Atau ketika Diva dari atas balkon memandang Ferre dengan narasi, “Sudahkah aku pernah wahai yang sedang jatuh cinta? “Sayangnya Paula dialog terkadang seperti menghafal. Tetapi baiklah ini film pertama dia.
Raline Shah dan Fedi Nuril pada scene di mobil yang dikemudikan Arwin menarik, ketika Rana melihat ke luar jendela dengan hampa mencerminkan suasana hubungan suami-istri itu. Begitu juga Rana bertatapan mata dengan Ferre di villa begitu hangat. Saya juga suka melihat Fedi Nuril menembak rusa, tetapi dekat senapannya ada “Majalah Lestari”-tempat istrinya bekerja dengan foto Ferre dengan banner “Aku Ingin Jadi Ksatria” memberikan intepretasi suasana hatinya setelah mendapat informasi istrinya kemungkinan berselingkuh.Sayangnya beberapa kali Fedi Nuril masih terlihat Fedi seperti di film sebelumnya, begitu juga Raline Shah.
Herjunot Ali juga masih sedingin karakternya dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Hamish Daud dan Arifin Putralumayan memerankan Ruben dan Dimas karena ditolong berbagai virtual digital dan animasi.Boleh jadi karena Fedi Nuril, Raline Shah, Herjunot Ali artisdari kelompok Soraya hingga mereka diutamakan, tetapi harusnya sutradara Rizal Mantovani mampu mengarahkannya. Timbul pertanyaan juga mengapa tidak mencoba pemain lain yang bukan dari lingkaran Soraya?
Catatan lain: kalau dari sudut novel, Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh adalah masterpiece dari Dewi “Dee” Lestari yang mampu membuat turbelensi-meminjam istilah dia- para penggemarnya hingga mau mengikuti Supernova berikutnya.Novel yang di luar “mainstream-nya” seperti Perahu Kertas, Madre, serta kumpulan cerita Rectoverso, bagi saya biasa-biasa saja. Tetapi ketika novel-novel yang tidak berhubungan Supernova ini diangkat ke layar lebar justru bagus.
Pemilihan Adipati Dolken, Maudy Ayunda, Elyzia Mulachela, Reza Rahadian dan bintang lain dalam Perahu Kertas begitu hidup. Mungkin karena Hanung Bramantyo punya kelebihan dalam mengarahkan karakter? Rectoverso ketika diangkat ke layar lebar dengan lima sutradara juga mengagumkan, baik cara bertutur maupun dari segi akting. Mungkin juga karena Rectoverso tidak mengandung “ideologis” seberat Supernova, hingga lebih enak menggarapnya
Mungkin karena ceritanya berat, maka Sunil Soraya dan Rizal Mantovani memilih "angle "yang kompromis. Itu artinya lebih berpihak kepada segmen penonton yang lebih luas dibandingkan memuaskan penggemar novelnya.
Irvan Sjafari
Foto 1,2http://movieholictasikmalaya.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H