[caption id="attachment_392890" align="aligncenter" width="300" caption="Adegan dalam Kyoto Inferno (kredit foto https://remyvanruiten.files.wordpress.com )"][/caption]
Kenshin Himura (Takeru Sato) tertengun menyaksikan pedang katananya yang patah menjadi dua. Wajahnya tertunduk seakan tak percaya bahwa ia bisa dikalahkan oleh samurai yang menjadi alwannya wajahnya seperti anak-anak itu. Lawannya bernama Sujiro Seta (Ryunosuke Kamiki) tidak membunuhnya dan hanya tertawa riang, kharakter antagonis yang menakjubkan dalam film yang diangkat dari serial kartun Samurai X ke layar lebar berjudul Rurouni Khensin Kyoto Inferno. Adegan yang paling saya sukai menggambarkan bahwa Kenshin adalah jagoan yang bisa kalah dan bukan jagoan seperti jagoan film Hollywood serial Steven Seagal.
Absrudnya si samurai berwajah anak-anak ini tidak membunuh Kenshin, dia sudah merasa bahwa dengan mematahkan pedangnya sudah pukulan bagi kenshin. Padahal Sujiro dengan dingin dan santai membunuh setiap orang yang dianggap berbahaya bagi kepentingan tuannya Shishio Makoto, mantan samurai yang punya dendam pada Pemerintah Jepang. Caranya membunuh tanpa rasa bersalah dan menjadikannya seperti bermain menjadikan citra seorang sosiopat dan bukan hanya sekadar ronin.
Secara fisik bagi saya citra Sujiro Seta sebetulnya sepadan dengan Kenshin Himura yang digambarkan juga berwajah imut, hanya saja bedanya Kenshin jauh lebih cool, cenderung melankolis. Pedangnya didesain tumpul pada satu sisi agar tidak membunuh lawannya-itu sebabnya Kenshin sangat kehilangan pedangnya. Penggemar serial kartunnya lebih mengenal Kenshin sebagai Samurai X. Dia digambarkan selalu rendah hati walau pun tergolong mempunyai keterampilan bertarung tingkat tinggi. Kenshin diceritakan di era terakhir Tokugawa (abad ke 19) sebagai seorang pembantai (hingga dijuluki sebagai Hitoukiri Batosai) yang sudah bertobat-sayangnya bekas lawannya tidak memahami itu- dan mempunyai teman-temannya yang unik. Semua faktor ini membuat Samurai X menjadi populer di kalangan penggemarnya yang berusia remaja hingga dewasa muda.
Berbeda dengan samurai dalam film-film jepang-seperti karya Akira Korosawa- citra samurai dalam film-film Jepang kontemporer cenderung sangat pop art. Penampilan samurai tidak lagi berambut menjurus tidak ditata , garang, tetapi dibuat trendi, rambut dicat bewarna, seperti pirang, merah, cokelat (potongan rambutnya bahkan seperti Duran-duran) mode masa kini-tentunya tidak bakal sesuai fakta sejarah masa itu tentang sosok samurai. Kenshin ini dijuluki samurai X karena punya tanda silang dipipi dan rambutnya merah memakai baju samurai yang warnanya ngejreng. Usianya sekitar 30 tahun.
Mizuko Ito menyebut fenomena ini sebagai Samurai Champloo, di mana sebuah “lingkungan baru” terbentuk di mana dua budaya, yaitu Barat dan Jepang sama-sama menjadi eksotis dan berdampingan. Dengan representasi kompleks seperti ini sebagai tandingan, menjadi jelas bahwa representasi dari Jepang sebagai bangsa yang budaya 'tradisional' sedang dihancurkan oleh 'modernitas', sama sekali tidak ada hubungannya dengan hilangnya budaya nyata1
Cikal bakal Kenshin adalah manga dan anime karya Nobuhiro Watsuki yang dimuat di majalah mingguan Shinen Jump dan dibukukan menjadi 28 seri. Di Indonesia, manga ini diterbitkan oleh Elex Media Komputindo pada 2002 dengan judul Samurai X. Sebagai serial kartun samurai X berjumlah 95 episode.
Kyoto Inferno dan The Legend Ends serupa dengan The Hunger Games, The Matrix satu cerita yang sebetulnya satu tetapi dibuat beberapa sekuel. Lawan Kenshin Shishio digambarkan menyerupai mumi karena dia punya luka bakar yang nyaris sempurna dalam suatu pertempuran. Hal ini yang membuatnya ingin mengusai Jepang dan mengumpulkan para pertarung. Dia juga didampingi seorang kekasih –selain para jago-yang rela berkorban untuk dia
“Opening scene” dari Kyoto Inferno adalah pertarungan atara seorang polisi bernama Hajime Saito (Yosuke Eguchi, Goemon) dengan Shishio (Tatsuya Fujiwara, di sini juga dikenal lewat Death Note) di sebuah tempat seperti symbol "neraka" yang terakhir dari lubang lava. Adegan yang memberikan kesan pada penonton tentang kemarahan, kekejian dan dendam ketika Shishio menjatuhkan polisi yang ia tawan. Tragisnya sebetulnya Shishio adalah tentara yang sakit hati dan merasa dibuang oleh atasannya-suatu hal yang mengingatkan saya pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia di mana bekas pejuang bisa menjadi lawan pemerintah karena merasa sakit hati dan hal itu terjadi pada masa Restorasi Meiji di Jepang. Target Shishio adalah merebut Jepang dengan unjuk kekuatan dengan menyerbu Kyoto.
Cerita bergulir dengan Kenshin Himura tinggal dengan tenang di kediaman keluarga Kamiya (Emi Takei) yang mengelola sebuah dojo. Ibarat pendekar silat yang sudah mengundurkan diri dan ingin hidup tenang, beberapa pejabat pemerintah akhirnya meminta bantuan Kenshin untuk menghentikan niat Shishio dan tentunya tidak mudah. Bukan saja dia dikalahkan oleh anak buahnya Shishio tetapi dia juga nyaris terbunuh ketika mencoba menyelamatkan kawan perempuannya Kaoru.
Kyoto Inferno berlanjut dengan Legend Ends dengan adegan pembuka yang tak kalah menggetarkan sewaktu Kenshin masih kanak-kanak denagn tertatih-tatih menggali kubur bagi mereka yang menjadi korban perang. Perilaku itu menarik perhatian seorang samurai bernama Seijuro Hiko (Masaharu Fukuyama) yang mengajaknya untuk tinggal di rumahnya dan akhirnya menjadi gurunya hingga Kenshin menjadi samurai juga. Adegan ini menyambung ending dari Kyoto Inferno di mana Kenshin terkapar di panati dan ditemukan oleh mantan gurunya.
Dalam Legend of Ends, Kenshin kembali berguru dan menemukan pedang penggantinya. Plot ayng biasa dalam cerita silat Mandarin di mana pendekar yang baik hati berguru untuk mengalahkan tokoh jahat yang tangguh. Kenshin pun harus kembali “turun gunung” menghadapi Shishio dan anak buahnya. Kyoto Inferno mau pun Legend of Ends berbeda dengan animenya, lebih realistis, penuh darah dan kekerasan yang tidak direkomendasikan untuk ditonton anak-anak dan berbeda dengan menonton serial kartunnya.
[caption id="attachment_392891" align="aligncenter" width="300" caption="Adegan Legend Ends (kredit foto themovieclubbers.files.wordpress.com Legend Ends)"]
Secara keseluruhan kedua film ini menurut saya berhasil digarap baik secara sinematografi maupun dari segi cerita. Adegan pertarungannya dibuat spektakuler. Bagi penggemar film laga kedua film ini cukup memuaskan, tetapi bagi saya sendiri lebih suka film samurai yang lebih klasik seperti Seven Samurai Akira Kurosawa (1954) atau yang kontemporer Zatoichi karya Taksehi kitano. Keduanya merupakan film samurai dengan pakem samurai baik lawan samurai yang jahat. Sementara film samurai jenis "pop art" tetap menarik namun sudah bercampur dengan kultur Barat bahkan ada pengaruh Korea.
Judul Film : Rurouni Kenshin : Kyoto Inferno dan Legend Ends (2014)
Sutradara : Keishi Otomo
Bintang : Takeru Sato, Emi Takei, Yosuke Eguchi, Tatsuya Fujiwara, Munetaka Aoki
Rated : ***
Irvan Sjafari
Catatan Kaki
1.http://www.chanpon.org/archive/2005/03/31/02h21m15s diakses pada 22 Janauri 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H