Seiring dengan terus bertambahnya kasus positif corona di Indonesia -bahkan beberapa hari ini terus mencetak rekor- maka para kepala daerah di Indonesia perlu sigap mengambil langkah-langkah preventif untuk mencegah semakin menyebarnya virus corona.Â
Bila Ridwan Kamil yang selalu klimis itu memilih menjadi sukarelawan uji vaksin, lalu Khofifah Indarparawansa memakai doa penangkal corona yang membuatnya mendapatkan penghargaan super bergengsi, kemudian Ganjar Pranowo dengan gaya gayeng dan gaulnya mempromosikan gerakan jogo bojo tonggo, eh jogo tonggo, maka Anies memilih gaya yang super berbeda. Ia menangani corona dengan menggunakan instrumen peti mati. Iya, peti mati.
Di provinsi DKI Jakarta, yang kasus penularan covidnya kemarin mencetak rekor, Gubernur Anies Baswedan membangun monumen berupa tugu-tugu peti mati di beberapa titik di Jakarta. Di Jakarta Timur, tugu tersebut dibangun di 10 lokasi. Lalu, di Jakarta Utara, tugu peti mati dibuat di Kawasan Danau Sunter Selatan, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Tak hanya membangun tugu peti mati, Pemerintah Provinsi Jakarta juga menetapkan hukuman masuk peti mati sebagai salah satu sanksi bila ada penduduk yang tidak memakai masker. Tujuannya adalah agar pelanggar dapat merenungkan suasana batin sebagai korban covid-19. Masalahnya, bagaimana jika salah satu pelanggar yang masuk peti itu sudah terpapar covid? Apakah mereka yang nantinya bergantian masuk peti tersebut justru akan ikut terpapar? Ah, tentu saja Anies sudah mengantisipasi hal itu.
Selain itu, di Jakarta Selatan, satgas covid-19 melakukan sosialisasi bahaya corona dengan mengarak peti mati di jalan raya. Lagi-lagi berhubungan dengan peti mati. Para pengguna jalan dihentikan untuk menyaksikan parade orang-orang menggunakan APD lengkap, sambil menggotong peti mati. Ngeri, bukan?
Peresmian tugu mati di Jakarta sempat memicu reaksi negatif dari para netizen.
"Bikin tugu peti mati, katanya untuk memperingatkan bahaya Covid-19, pas peresmian, banyak tuh yang berkerumun"
"ngapain berkerumun gitu masa kalah ama anak sekolahan yg bisa belajar online. bapak malah ngumpul ngumpul gitu"
"itu peti kayu? Kena panas hujan .. lapuk Hilang .. tanpa bekas .. Besoknya bikin anggaran lagi .. Gitu terus .."
Ah, netizen sirik memang suka begitu.
Yah, namanya juga pemimpin, pastilah tidak bisa memuaskan semua pihak, tho. Ada saja kebijakannya yang dikritisi. Tapi, tentu saja sebagai pemimpin bermental baja dan bermuka tebal, Anies bergeming, tak tergoyahkan sedikitpun. Ia tetap kuat seperti batu karang yang tak bergerak walau dihantam ombak sebesar apapun.
Nama Anies memang sering berhubungan dengan hal-hal yang berbau kematian. Hah? Mosok? Coba kita ingat, di Pilkada 2017 yang lalu contohnya.Â
Tim sukses Anies memakai strategi berupa ancaman untuk tidak mensholatkan mayat pemilih pemimpin nonmuslim. Dan betul saja, ia berhasil membuat efek gentar di kampung-kampung seantero Jakarta. Walhasil, saat pemungutan suara diselenggarakan, Ia berhasil mengungguli para kompetitornya dengan ilmu marketing mayat plus ayat. Dahsyat.
Keberhasilan di Pilkada itu rupanya sangat membekas di hati Anies. Maka, ketika saat ini Anies dihadapkan pada berbagai tekanan publik terkait penanganan covid di Jakarta yang dianggap tidak memuaskan, ia perlu mengeluarkan jurus terbaiknya. Setelah gagal memakaikan masker pada patung Jenderal Sudirman, Anies memilih strategi peti mati.
Tujuan penggunaan peti mayat ini jelas, menebar ketakutan dan kegentaran. Ketika ketakutan sudah menyebar, diharapkan orang-orang akan memakai masker dan patuh pada protokol kesehatan. Ketika mereka lupa memakai masker dan kebetulan lewat di tugu peti mati, mereka akan berhenti sejenak, merenung, terharu, kemudian takut mati. Akhirnya mereka akan menggunakan maskernya dengan segera.
Demikian juga dengan hukuman masuk peti mati bagi para pelanggar protokol kesehatan. Diharapkan, dengan masuk ke dalam peti mati berukuran sekitar 2x1 meter itu, mereka akan sadar sesadar-sadarnya tentang arti kehidupan di dunia ini. Kehidupan yang begitu fana, yang begitu sia-sia jika hanya dihabiskan dengan berfoya-foya, seenak sendiri, tanpa mempedulikan bahaya virus corona. Saat itulah, adegan seperti renungan malam di Persami Pramuka akan terjadi. Para pelanggar akan masuk fase terharu, menangis, dan bertaubat, serta berjanji tak mengulangi kesalahannya. Sekeluarnya dari peti mati, ia akan menjadi seorang manusia baru dengan pemahaman baru mengenai bahaya virus corona.
Entah, apakah nantinya strategi peti mati Anies ini akan berhasil. Sebab, memang banyak hal yang lebih menakutkan daripada melihat tugu peti mati. Contohnya saja, suara istri yang minta uang belanja. Itu sangat menakutkan bagi para pekerja yang sedang terancam PHK di negeri ini. Belum lagi chat teman lama yang tiba-tiba sok akrab, namun kita tau bersama, ujung-ujungnya mau minjem uang. Sungguh, itu adalah momen horor yang sebisa mungkin kita hindari. Atau ada lagi suara pacar yang tiba-tiba ingin pinjam HP. Hal tersebut bisa menimbulkan keringat dingin sebesar biji jagung bagi sebagian orang.
Yah, apapun itu, kita patut mengapresiasi langkah Anies. Setidaknya ia telah mengingatkan kita tentang bahaya kematian akibat covid, dengan caranya sendiri yang begitu tak terduga. Ia juga mengingatkan bahwa ujung hidup manusia adalah kematian. Tak ada harta atau kuasa yang bisa dibawa saat kita sudah berada di peti itu.
Saya yakin, sebelum mengambil strategi ini Anies juga telah merenungkan kehidupannya sendiri. Bahwa sehebat apapun jabatan dan tunjangan seseorang, ujung-ujungnya pasti akan mati juga. Tak perlu menghalalkan berbagai macam cara, apalagi menghabis-habiskan anggaran, hanya untuk mencapai suatu tujuan yang sementara saja. Bukan begitu, Pak Anies?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H