Heboh video wawancara Anji-Hadi Pranoto telah membuat banyak pihak gemes. Mulai dari rakyat biasa, nakes, sampai Pemerintah dibuat marah dengan video tersebut. Sayangnya, berbeda dengan saat heboh komentarnya tentang foto mayat covid, awalnya Anji tidak mau minta maaf pada publik. Ia justru menyalahkan Hadi Pranoto atas klaim ngawur 'profesor' itu. Belakangan, Anji minta maaf kepada publik.
(Pada kasus sebelumnya, ia mengomentari foto jenazah covid, hasil jepretan fotogrefer National Geographic. Setelah viral, ia meminta maaf pada warganet dan kemudian menghapus postingan kontroversialnya.)
Di samping itu, baru-baru ini ada lagi postingan dari akun Kementrian Kesehatan yang menarik perhatian warganet. Postingan itu berisi permintaan untuk melakukan 'itikad baik' kepada seorang netizen, yang dianggap melecehkan Menteri Kesehatan. Yang dimaksud dengan itikad baik itu tentulah permintaan maaf. Sudah jelas.
Dari dua kasus ini, kita bisa bilang bahwa minta maaf adalah hal yang begitu penting di peradaban umat manusia. Demi menghindari konflik berkepanjangan, demi menghadirkan harmoni dalam perbedaan, dan tentunya demi meredakan amarah suatu pihak.
Lalu, kalau demikian, mengapa ada orang yang tidak mau atau susah minta maaf? Mengapa Anji berubah sikap? Apa sih susahnya minta maaf?
Bisa jadi, penyebabnya adalah perasaan superior. Perasaan ini terdapat pada semua manusia di bumi ini.
Nah, ngomongin tentang superior, tentunya ga bisa dipisahkan dengan seorang tokoh bernama Alfred Alder. Ia mengatakan, bahwa sebenarnya, seseorang berusaha untuk menjadi sosok yang superior untuk menaklukan dan mengalahkan perasaan inferioritas yang ada dalam dirinya.
Seorang anak yang tidak unggul di bidang pelajaran akademis, akan berusaha menunjukkan kelebihannya di bidang seni, atau olahraga. Seorang yang rendah diri akan berusaha menunjukkan superioritasnya dengan cara berpenampilan sangar di hadapan orang lain. Orang yang pernah melakukan kesalahan, akan berusaha membuktikan orang lain juga bisa salah, agar ia terlihat superior.
Mungkin ini juga yang terjadi pada Anji dan....admin akun Kementrian Kesehatan.
Kesalahan di kasus mayat covid sepertinya membuat Anji inferior dan tertekan, walau tentu saja, tidak ditunjukkan lewat ekspresi mukanya. Ia selalu tersenyum dan beraura positif dalam segala situasi. Anji ingin membuktikan bahwa ia adalah sosok yang 'smart' dan 'sophisticated'.Â
Caranya bagimana? Dengan mengundang seorang tokoh yang smart juga, Profesor Hadi Pranoto. Apa yang dibahas? Tak tanggung-tanggung, penemuan serum pembasmi corona. Keren, bukan?
Sayangnya, belakangan diketahui bahwa profesor Hadi tidak diakui oleh ke'profesor'annya oleh institusi manapun di negeri ini. Khalayak pun ramai-ramai menyerang Anji di medsos.
Sementara, untuk admin akun Twitter Kementrian Kesehatan, ia ingin menjaga marwah Kementrian, gegaranya ada orang yang mengatakan anjing lebih hebat dari Menteri Kesehatan, karena dapat mendeteksi seorang penderita corona.Â
Rasa disakiti dan direndahkan membuat sang admin tak tahan lagi (semoga saja bukan sang Menteri yang memerintahkan) untuk minta pertanggungjawaban dari si pengunggah status. Ia merasa superior karena berada di balik satu institusi bernama Kementrian Kesehatan, yang prestasinya terus dinanti di masa pandemi ini.
Publik tentu saja ramai-ramai menyerang akun Kemenkes RI tersebut. Mereka tidak setuju dengan sikap arogan dari si admin yang entah siapa orangnya itu.
Akhirnya, twit dari Kementrian Kesehatan dihapus, walau tentu saja screenshotnya sudah bertebaran di mana-mana. Anehnya (kalau mau dibilang aneh), setidaknya sampai detik ini, tidak ada penjelasan apapun, apalagi permintaan maaf pada publik.
***
Merasa superior berarti menganggap yang lain lebih inferior. Perasaan ini tidak salah selama ditempatkan pada porsi yang benar. Misalnya, dalam suatu perlombaan, seorang atlet perlu mengembangkan sikap superior berupa percaya pada kemampuan diri sendiri untuk bisa mengalahkan lawan-lawannya.
Namun, bila ditempatkan pada porsi yang salah, superior berpotensi bikin orang lain eneg ketika melihat lagak kita. Belagu, istilahnya.
Di era yang menjunjung kesetaraan kayak sekarang ini, apakah masih bijak untuk berpikir bahwa kita lebih superior dibanding orang lain? Harusnya sih, itu pikiran old school banget.
Kita bisa saja punya kelebihan di satu bidang. Namun, di bidang-bidang lain, ya kita harus mengakui bahwa orang lain yang lebih unggul. Seperti kata Ariel, "kalau bukan ahlinya, mending diem, ga usah ngomong!"
Masalahnya, seringkali sangat sulit bagi kita, untuk mengakui kelebihan orang lain. Pengakuan itu akan dianggap suatu kekalahan. Walhasil, kita justru merasa inferior di hadapan orang lain.
Jika dikembalikan lagi ke teori Alfred Alder, orang yang merasa inferior akan berusaha sekuat tenaga menunjukkan superioritasnya. Ini yang bahaya dan sangat tidak produktif. Apalagi kalau yang melakukannya adalah seorang public figure, atau institusi besar, yang tentunya punya pengaruh besar bagi masyarakat.
Bagi netizenpun demikian, sama saja. Apakah kita masih mengharap permintaan maaf dari Anji? Atau penjelasan dari admin akun Kemenkes?
Kalau toh nanti mereka sudah melakukannya, apakah kita akan merasa lebih superior dari mereka? hehehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H