"Sahabat-sahabat tercinta, setelah puluhan tahun saya di dunia kuliner dan ribuan resep yang sudah saya ciptakan, ini mungkin saat yang tepat untuk gantung panci," demikianlah Ibu Sisca Soewitomo pamit melalui akun instagramnya.
Sabtu pagi, di tahun 1997-2000an, menjadi momen penuh kenangan bagi anak-anak kelahiran tahun 80-90an. Saya termasuk salah satu di antara anak-anak tersebut (duh, jadi ketahuan umurnya berapa). Penyebabnya, saat itu ada acara masak memasak berjudul Aroma di Indosiar, yang dibawakan oleh Ibu Sisca.Â
Saya ingat, masa itu menjadi masa keemasan Indosiar. Banyak program-program keren yang ditampilkan. Contohnya, drama-drama kungfu Mandarin, kartun-kartun keren semacam Dragonball, atau sinetron tersohor berjudul Tersanjung, yang episodenya terus bertambah di saat orang mengira akan tamat. Di masa itu, Indosiar tak perlu menggantungkan rating pada sinetron-sinetron azab, atau liga dangdut, seperti yang terjadi sekarang ini.
Nah, program acara Aroma termasuk yang ditunggu-tunggu oleh penonton masa itu. Musik pembuka sekaligus soundtrack acara ini sangat nyantol di memori saya sampai sekarang. Suara flute yang menjadi lead melody dari musik tersebut menambah suasana ceria di Sabtu pagi.Â
Selepas itu, ibu Sisca mulai membawakan acara. Masih diiringi oleh musik yang sama, ia memperkenalkan bahan dan bumbu yang akan digunakan di hari itu. Kemudian ia akan meracik bahan-bahan tersebut, untuk selanjutnya dimasak sesuai resep masakan yang sudah direncanakan.
Pembawaan beliau sangat tenang. Tidak grusa-grusu, tidak perlu pakai acara bentak-bentak dan ketawa-ketawa keras. Tone suara beliau cenderung berat sekaligus sangat berwibawa, khas ibu-ibu yang level 'keibuannya' tak diragukan lagi. Sangat natural dan tak dibuat-buat.Â
Artikulasinya pun sangat jelas. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Nggak mudah lho, berbahasa dengan benar di dunia masak. Coba saja kalau ga percaya.
Outfit beliau juga sangat sopan. Biasa saja, tidak perlu memakai pakaian yang menonjolkan lekak lekuk tubuh hanya demi memancing 'selera' penonton.
Ilmu masak beliau tentunya tak perlu diragukan lagi. Ini yang menjadi inti acara tersebut. Ketika mendemokan proses suatu masakan, beliau tak hanya menjelaskan cara masaknya bagaimana. Ia juga memberi edukasi seperti, keruntutan langkah yang dipakai, mengapa bahan ini yang digunakan, mengapa alat itu yang dipakai, mengapa harus memakai cara ini dan bukan cara itu. Ditambah lagi, beliau sering menyelipkan bonus berupa tips and tricks yang ciamik.
Ibarat proses membuat tulisan. Kalau sudah ketemu ide tulisan, perlu dipikirkan tentang keruntutan logika, sasaran, kejelasan tutur, tata bahasa, serta tambahan-tambahan 'topping' dan 'punchline'. Halah, sok pinter, ampun suhu.
Wabilkhusus, blio sangat pro masakan nusantara. Sudah ribuan resep masakan nusantara yang dibuat dan dibukukan oleh Bu Sisca. Ditambah lagi, ia berprofesi sebagai guru masak profesional. Jadi, beliau memang benar-benar ahli dan konsisten di bidangnya. Bukan macam orang yang ngomong ngalur ngidul tentang bidang yang bukan keahliannya, viral pula.
Mungkin, itu sebabnya, pada masa itu program acara memasak bersama Bu Sisca sangat dinanti. Bukan hanya oleh ibu-ibu, tapi juga anak-anak. Mereka merasa mendapat sosok 'ibu' yang sedang memasak masakan bagi mereka, sekaligus memberi edukasi bagi para penonton.Â
Masyarakat tak hanya akan mengenang beliau sebagai seorang chef, tapi juga sosok ibu rumahan biasa, yang memastikan dapurnya tetap mengepul. Ibu yang selalu berusaha memberi makan anak-anaknya tepat waktu.
Tak heran, Bu Sisca telah menjadi role model seorang chef impinan di masa itu. Kelak, chef dengan model seperti Bu Sisca akan sangat sulit ditemui.
Lihat saja, program-program kuliner saat ini. Didominasi oleh kompetisi memasak, yang lebih menekankan kecepatan dan aneka drama dalam tiap episodenya. Atau ada juga acara-acara yang hanya mengandalkan tampilan stylish, enerjik, serta kadang kontroversial, dari sang chef.
Tentu saja, zaman sudah berubah. Tidak ada yang menyangkal hal itu. Kultur masyarakat di era post-modern pun sudah berubah. Semua ingin serba cepat, simpel, kalau bisa langsung jadi. Pun demikian dengan urusan masak memasak. Coba tengok cara Gordon Ramsay memasak. Begitu cepat dan menggugah emosi penonton.
Zaman sudah berubah, namun kadang, kita tetap rindu pada sosok chef seperti Bu Sisca. Siapakah yang nantinya dapat menggantikan Ibu Sisca di hati masyarakat?
Ah, memori masa lalu di masa kecil memang begitu indah. Kadang juga bikin baper. Apalagi kalau dihubungkan dengan masakan. Saya yakin, bukan kebetulan tim kreatif Indosiar memberi nama "Aroma" pada program acara Bu Sisca.
Mengutip Rachel Herz, penulis buku The Scent of Desire, "Aroma benar-benar istimewa karena mereka dapat membawa kembali kenangan yang mungkin tidak akan pernah bisa diingat," Itu sebabnya kita dapat secara tiba-tiba terkenang pada seseorang atau suatu kejadian, hanya gara-gara menghirup aroma tertentu. Entah kenangannya indah atau menyakitkan. Jleb.
Jargon-jargon yang blio gunakan sangat membekas di hati. Misalnya : 'kunci sukses memasak adalah ketenangan hati'. Jangan memasak jika hati sedang guondok. Hasilnya tidak akan maksimal.Â
Lalu ada lagi, blio mengatakan bahwa memasak bukan hanya bertujuan menyajikan suatu 'produk' yang bisa dikecap indra perasa saja, namun juga harus sampai nancep di hati dan jiwa. Karenanya, 'memasaklah dengan rasa cinta'. Cieee..
Sekarang, Bu Sisca sudah gantung panci. Ingat selalu senyum dan sapaan beliau, yang selalu membekas di hati para sahabat. Cium aroma dan rasakan nikmat yang dihasilkan dari kenangan tersebut. Tiriskan sejenak setiap kepenatan. Sajikan apresiasi yang sepatutnya pada sang legend di dunia kuliner Indonesia ini.
Bagaimana pemirsa, mudah bukan membuatnya?
Terima kasih, Bu Sisca..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H