2. Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization).
Trauma ini menyebabkan ketika anak sudah dewasa akan memiliki kecenderungan untuk menolak hubungan seksual dengan lawan jenis.
3. Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness).
Anak dapat mengalami rasa takut, mimpi buruk, fobia, kecemasan yang juga dibarengi rasa sakit.
4. Mengalami Stigma (Stigmatization).
Ditandai dengan rasa bersalah, malu, citra diri buruk, sering merasa berbeda dengan orang lain, bahkan marah pada diri sendiri. Ia berusaha menghilangkan ingatan sekaligus rasa sakitnya dengan obat-obatan, alkohol, dan lain-lain.
Langkah Pencegahan
Kita patut mengapresiasi aparat keamanan yang dapat membongkar kasus-kasus kekerasan seksual pada anak. Namun di sisi lain, kita perlu turut andil melakukan langkah-langkah pencegahan sehingga kejadian ini tidak terjadi berulang, termasuk kepada anak-anak, adik-adik, atau orang-orang yang kita sayangi.
Pencegahan ga cukup dilakukan dengan teriak-teriak di medsos. Minta pemerintah bikin aturan ini itu. Minta DPR bikin Undang-Undang ini itu. Inget ga tuh, RUU PKS malah ga dibahas lagi. Kalah penting RUU yang lain. Bahkan dikatakan 'sulit'. Ah.. sudahlah, ga usah berharap terlalu banyak dari anggota DPR yang terhormat.
Bagi kita sekarang, langkah identifikasi sedari dini jauh lebih penting. Jangan sampai sesudah jatuh banyak korban, baru kita tersadar. Identifikasi dini ini mencakup 2 tahap : pencegahan pra dan tindakan pasca kejadian.
Pencegahan pra kejadian, dilakukan dengan menjauhkan anak-anak dari orang-orang yang berpotensi menjadi predator seks. Dilansir dari situs stopitnow.org, terduga predator seks memiliki beberapa ciri khas.Â