[caption id="" align="aligncenter" width="592" caption="Ilustrasi: GTO (Gardu Tol Otomatis) disediakan sangat terbatas (sumber foto: Swa Online)"][/caption] Setiap kali melewati gardu tol, selalu kuperhatikan antrian kendaraan yang bersiap menunaikan kewajiban membayar tol. Antriannya tak hanya satu atau dua kendaraan. Akibat terlalu banyaknya kendaraan yang menggunakan jalan tol, ada kendaraan yang menghabiskan waktu lebih lama untuk mengantri di gardu tol dibandingkan waktu yang dihabiskan melaju di jalan tol. Ada pemandangan yang umum di setiap gardu tol. Jumlah kendaraan yang mengantri di gardu tol otomatis tak sepanjang antrian di gardu manual, yaitu gardu yang bisa memberikan uang kembalian. Anehnya, gardu yang beroperasi otomatis entah dengan sentuhan atau tanpa sentuhan disediakan sangat terbatas. Mengapa? Logika normal mengatakan, apabila gardu otomatis bisa mempercepat pelayanan sudah selayaknya pengelola jalan tol mengonversi gardu manual menjadi gardu otomatis. Proyek GTO yang telah dimulai sejak beberapa tahun lebih banyak basa-basinya. Berikut alasannya: Pertama, mungkin masih banyak pengendara yang memilih mengantri daripada beralih ke kartu otomatis. Padahal otomatisasi pelayanan pembayaran tol telah diketahui sejak kapan tahu akan mempercepat pelayanan sehingga mengurangi antrian. Hasil evaluasi penutupan pintu tol Semanggi bebeapa waktu lalu juga menyiimpulkan penggunaan GTO akan memperlancar jalan arteri. Dengan demikian alasan pengelola tidak menambah GTO tidak valid dengan alasan ini. Kedua, pengendara mungkin dianggap enggan untuk mempersiapkan kartu otomatis. Padahal otomatisasi disiapkan untuk memperlancar mobilisasi masyarakat. Otomatisasi memerlukan kedisiplinan masyarakat untuk selalu mempersiapkan diri. Fakta bahwa banyak masyarakat yang memilih untuk mengantri daripada mempersiapkan diri tak boleh menjadi alasan untuk mengingkari tujuan otomatisasi dan mengganggu kepentingan umum. Ketiga, pengalihan fungsi gardu manual menjadi gardu otomatis secara otomatis mengurangi SDM yang biasa menerima pembayaran dan mengambalikan recehan. Kemajuan teknologi tak seharusnya dihambat oleh keinginan mengakomodasi kebiasaan primitif. Dilema itu telah lama ditinggalkan, dan penerapan teknologi di semua bidang kehidupan telah menjadi keniscayaan yang tak bis dipungkiri. Keempat, pengelola jalan tol mungkin tak memiliki dana yang cukup untuk menambah GTO. Padahal dengan berfungsinya GTO, pelayanan menjadi lebih cepat, gardu menjadi lebih lancar, pemakai jalan tol juga pasti bertambah. Alasan ini juga absurd! Rasanya, seperti akan melompati peradaban mendengar rencana pemerintah DKI menerapkan ERP yang sejatinya konsepnya lebih maju dibandingkan GTO. Kalau mengelola GTO saja pemerintah belum mampu, apalagi mengelola ERP??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H